Keterlibatan Perempuan dalam Bom Bunuh Diri di Indonesia

0 1.548

Aksi teror masih menjadi ancaman di Indonesia, dan itu terjadi lagi pada Minggu, 28 Maret 2021, di Gereja Katedral, Makassar. Pelaku melakukannya dengan cara meledakkan diri di depan pintu gerbang gereja pada saat jemaat selesai melaksanakan Ibadah Minggu Palma.

Menurut kesaksian, pelaku yang berjumlah dua orang berusaha masuk tetapi dihalau oleh petugas yang ada di depan gereja. Tidak lama berselang, bom diledakkan dengan cara bunuh diri. Mengutip kompas.com, hingga Minggu sore, tercatat 20 orang korban luka-luka akibat bom bunuh diri tersebut.

Setelah kejadian itu, berbagai pihak mulai menyoalkan relasi antara agama dan terorisme. Ada yang sepakat bahwa aksi mereka karena keliru menafsirkan agama, bahkan mabuk agama. Ada yang tidak sepakat, karena agama mempunyai nilai-nilai kemanusiaan dan berupaya melindungi kesucian agama dari aksi-aksi yang tidak manusiawi. Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas persoalan tersebut. Melampaui hal itu, tulisan ini akan membahas tentang partisipasi perempuan dalam aksi bom bunuh diri. Mengapa demikian? Karena selama ini pandangan tentang terorisme begitu patriarkis dan peran perempuan dianggap hanya pelengkap.

Padahal pada 2016, Indonesia sudah dikejutkan dengan penangkapan mantan TKI Dian Yulia Novi yang berencana melakukan bom bunuh diri di istana negara. Dengan demikian, aksi bom bunuh diri di Makassar yang terduga merupakan pasangan suami-istri Lukman dan Yogi Safitri Fortuna, yang juga diduga tergabung dengan Jamaah Ansarut Daulah (JAD), tidaklah baru. Dalam tulisan ini saya akan menjelaskan dua bagian penting, yakni keterlibatan perempuan secara internasional dalam bom bunuh diri dan meningkatnya partisipasi teror bom bunuh diri perempuan di Indonesia.

Aksi Teror Perempuan dalam Skala Internasional

Jauh sebelum partisipasi perempuan Indonesia dalam aksi teror, aksi perempuan di belahan negara lain sudah marak terjadi. Data menunjukkan bahwa aksi-aksi mereka terus meningkat di negara-negara seperti Jerman, Irlandia, Italia, Peru, Rusia, Checnya (wilayah pendudukan Israel/Palestina), Turki hingga Irak dan Yordania. Peran mereka begitu beragam mulai dari mata-mata, perekrut, human shield, bahkan sekadar menjadi pelayan jihadis laki-laki. Mereka juga ikut serta mengelola penerbitan organisasi dan web internet.

Meski keterlibatan mereka tidak secara langsung, kita tidak bisa abai terhadap peran tersebut. Sebab, mereka mulai bertransformasi sejak beberapa dekade terakhir, yakni terlibat aksi-aksi langsung seperti bom bunuh diri alias menjadikan tubuh mereka sebagai senjata mematikan yang ampuh (Bloom, 2011).

Data- data menunjukkan bahwa antara 1985 dan 2006 perempuan dibelahan dunia telah melakukan 220 serangan atau 15% dari jumlah keseluruhan bom bunuh diri (Nava Nuraniyah dan Ihsan Ali-Fauzi, 2017). Menurut Mia Bloom, dari 1985-2010 ada 257 tindakan bom bunuh diri yang dilakukan oleh perempuan yang tergabung dengan jaringan teroris yang berbeda-beda. Sedangkan pada 2015, telah terjadi 70 serangan bom bunuh diri di Afrika.

Serangan tersebut diperankan oleh 120 perempuan termasuk juga anak-anak yang bergabung dengan Boko Haram dan al-Anshar. Sementara data yang rilis pada 2016 oleh Yoram Sceweitzer dan kawan-kawan bahwa pada 2016 telah terjadi 44 aksi bom bunuh diri melibatkan 777 perempuan di delapan negara dan mengakibatkan meninggalnya 200 orang. Di tahun itu, peran mereka semakin merambah ke beberapa negara yang belum beroperasi sebelumnya yaitu Perancis, Austria, Maroko, Libya dan Bangladesh (Nava Nuraniyah dan Ihsan Ali-Fauzi, 2017).

Keterlibatan perempuan di negara-negara yang patriarki pun meningkat. Seperti yang terjadi di Palestina dan belahan negara Timur Tengah lainnya. Di Palestina perempuan yang bernama Wafa Idris, pada 27 Januari 2002 melakukan bom bunuh diri di pusat perbelanjaan kota Yerussalem dan mengakibatkan 131 orang luka-luka dan 1 orang meninggal dunia. Sejak kejadian tersebut hingga masuk 2006, ada 67 perempuan Palestina yang merencanakan bom bunuh diri dan delapan di antaranya berhasil melakukannya (Nava Nuraniyah dan Ihsan Ali-Fauzi, 2017). Bahkan di luar dugaan, publik di sana mengidolakan Wafa dan perempuan lainnya yang melakukan aksi. Bagi mereka aksi tersebut adalah tindakan perempuan dan ibu yang syahid.

Dari Pelengkap Hingga Menjadi Martir Bom Bunuh Diri

Keterlibatan perempuan dalam bom bunuh diri di Indonesia mencuat ke permukaan ketika tertangkapnya mantan TKI Hongkong yang bernama Dian yulia Novi pada 2016 silam. Dian adalah calon pelaku bom bunuh diri yang direncanakan untuk meledakkan istana negara. Kemudian diikuti juga dengan tertangkapnya Ika Puspitasari sebagai calon pelaku bom bunuh diri di Bali (IPAC, 2017).

Sebenarnya sejak beberapa tahun silam perempuan Indonesia sudah terlibat dengan terorisme tetapi keterlibatan mereka hanya sekadar mendukung peran suami untuk melakukan aksi mereka. Seperti Putri Munawaroh dan Munfiatun, dua orang Istri Nurdin M Top, yang melindungi suami mereka saat terlibat peledakkan bom bunuh diri di Hotel JW Marriot Jakarta; Ruqayah binti Husen Luceno membantu menyembunyikan informasi tentang suaminya Umar Patek; Wahyu Cahyaningsih, istri dari Sugeng Waluyo yang berperan membantu bom Cimanggis; Dian Yulia Novi, Ika Puspitasari, keluarga Ita dan keluarga Murtiyono pelaku kasus bom bunuh diri di sejumlah gereja di Surabaya serta kasus terbaru bom bunuh diri di Gereja Katedral Makkassar oleh Lukman dan Yogi Safitri Fortuna.

Fakta di atas menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan secara aktif dari pelangkap aksi teror menjadi martir terdepan untuk meledakkan diri secara langsung. Pertanyaannya adalah, perkembangan apa yang sedang berlangsung hingga meningkatkan keterlibatan mereka sebagai perempuan dalam aksi-aksi tersebut? Menurut Iksan Ali dan Nuraniyah berdasarkan wawancara yang mereka lakukan dengan tahanan terorisme, ada tiga hal penting yang memfasilitasi pekermbangan tersebut: perempuan generasi muda berusaha mencari peran yang lebih aktif dibanding generasi sebelumnya; internet dan media sosial menjadi alat penting untuk melancarkan agenda mereka sebagai soft jihad; dan perjuangan mereka yang unik dan lebih kritis namun tidak lantas mereka merombak struktur patriarki (Nava Nuraniyah dan Ihsan Ali-Fauzi, 2017).

Pertama, Generasi pertama perempuan jihadis yang tergabung dalam jaringan Jemaah Islamiyah, hanya dibatasi sebagai pelengkap dan aktifitas mereka hanya bisa di dalam rumah. Aktiftas di luar rumah bisa sejauh itu mengajar di pesantren perempuan. Generasi pertama juga seringkali dianggap sebagai tukang gosip oleh suami dan tidak bisa menjaga rahasi. Mereka direkrut melalui hubungan keluarga, pesantren serta pengajian. Berbeda dengan generasi selanjutnya yang tergabung dengan ISIS, mereka aktif dan menuntut peran yang lebih besar. Perempuan generasi ini masuk organisasi ekstremis atas kehendak dan dorongan sendiri. Mereka tidak direkrut melalui keluarga, pesantren, atau pengajian-pengajian. Mereka adalah kelas menengah berpendidikan tinggi serta lebih mandiri dan tidak canggung berada dalam ruang publik.

Kedua, internet dan media sosial menjadi alat penting melancarkan agenda perempuan sebagai soft jihad. Generasi ini banyak bergabung melalui internet. Ruang gerak antara generasi selanjutnya dengan laki-laki lebih terbuka. Generasi selanjutnya, mengakali larangan ikhtilat (berkumpul dengan laki-laki) dengan menggunakan internet. Apalagi ketika hadirnya MiRC atau Relay chat tahun 2000-an dan munculnya Twitter, Facebook serta aplikasi media sosial terenskripsi seperti WhatsApp, membuat gerakan perempuan generasi selanjutnya lebih leluasa bereksperimentasi bagaimana peran yang akan dilakoninya dalam aksi teror. Bahkan dorongan Dian untuk melakukan aksi, terdorong ketika dia membaca hadis-hadis yang ada di media sosial ekstremis. Atas tafsiran bacaan diinternet tersebut, Dian pun memutuskan untuk melakukan bom bunuh diri meski digagalkan oleh polisi.

Ketiga, perjuangan generasi selanjutnya unik. Tumbuhnya keinginan kuat dari perempuan generasi selanjutnya untuk berperan secara langsung, mengakibatkan teroris laki-laki mengubah pandangan mereka tentang perempuan–awalnya sangat subordinat, kini menjadi pertimbangan penting untuk melibatkan perempuan secara aktif melakukan bom bunuh diri di Indonesia.

Keterlibatan perempuan dalam bom bunuh diri di Indonesia pada generasi perempuan selanjutnya atas kehendak sendiri membuat generasi ini mempunyai ciri khas. Generasi ini punya cara untuk mengakali bagaimana peran mereka lebih meningkat dan signifkan dalam upaya menciptakan teror. Mereka semakin dipermudah berhubungan antara satu sama lain karena media sosial.

Peningkatan keterlibatan tersebut pada dasarnya akan terus terjadi dan subur. Apalagi ketika teroris mulai mempertimbangkan partisipasi perempuan sebagai celah untuk mengelabui pihak keamanan. Selain itu dalam budaya patriarki, keterlibatan perempuan dalam aksi bom bunuh diri menjadi nilai tambah untuk mendorong kaum laki-laki melakukan aksi yang sama. Hal ini akan berlaku karena ungkapan universal mengenai kuatnya maskulinitas di berbagai kebudayaan “Kalau perempuan bisa, kenapa laki-laki tidak bisa”.

 

Referensi:

Bloom, Mia Bombshells: Women and Terror. Gender Issues (2011).

IPAC. Mothers to Bombers : The Evolution of Indonesian Woman Extremist. Jakarta: Institute of Policy and Anlysisi of Conflict. (2017)

Nuraniyah Nava dan Fauzi Ali Ihsan, Perspektif Gender dalam Studi-Studi Kekerasan Teroris di Indonesia dalam, Kebebasan, Toleransi dan Terorisme di Indonesia. Editor, Ihsan Ali Fauzi dkk, (Jakarta, PUSAD, 2017)

https://regional.kompas.com/read/2021/03/28/191238078/korban-ledakan-bom-di-gereja-katedral-makassar-bertambah-jadi-20-orang

 

Penulis: Rohit Mahatir Manese, Direktur Eksekutif Madrasah Intelektual Ahmad Syafii Maarif

 

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.