Bagaimana Seragam Sekolah Merusak Keberagaman Kita?

0 734

Apakah aturan selalu membuat orang menjadi lebih baik? Apakah sesuatu yang dipaksakan bisa dibenarkan secara moral? Sesungguhnya setiap bentuk paksaan menjauhkan orang belajar dari pengalaman mereka. Ketika jalan ke arah kekeliruan diadang tanpa celah, maka tertutup pula gerbang pengetahuan mereka.

Beberapa hari lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Nadiem Makarim, memberi ultimatum kepada semua pemerintah daerah dan sekolah negeri agar mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut agama. Keputusan ini dikeluarkan lewat SKB 3 Menteri yang ditandatangani oleh Nadiem bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Dengan demikian, sekolah tidak boleh melarang hak siswa berseragam menurut agamanya atau mewajibkannya.

Ini semua berawal dari kasus SMKN 2 Padang, Sumatera Barat, di mana guru memaksa seorang siswi beragama Kristen mengenakan jilbab, namun siswi tersebut menolak. Akhirnya wali murid mendatangi pihak sekolah untuk meminta kejelasan.

Dalam SKB Tiga Menteri, dipaparkan enam poin yang dapat mencegah tindakan-tindakan yang memaksa terkait keyakinan agama di sekolah yakini:

“Poin 1) keputusan bersama ini mengatur spesifik sekolah negeri di Indonesia yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, 2) Peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan berhak memilih antara: Seragam dan atribut tanpa kekhususan agama, atau seragam dan artibut dengan kekhususan agama, 3) Pemerintah Daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama, 4) Pemerintah daerah dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak keputusan bersama ini ditetapkan, 5) Jika terjadi pelanggaran terhadap keputusan bersama ini, maka sanksi akan diberikan pada pihak yang melanggar, yaitu: Pemerintah daerah memberikan sanksi kepada kepala sekolah, pendidik dan atau tenaga kependidikan, Gubernur memberikan sanksi kepada bupati/walikota, Kementerian dalam negeri memberikan sanksi kepada gubernur, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan sanksi kepada sekolah terkait BOS dan bantuan pemerintah lainnya, 6) Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari Keputusan bersama ini sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh.”

Sekolah dan Nilai

Enam poin di atas didasarkan pada asas bahwa sekolah memiliki peran penting dan tanggung jawab dalam merawat eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.

Pada prinsipnya, negara sudah tepat mengambil keputusan tersebut. Sebab, sekolah adalah wadah kunci untuk menjaga ekosistem berbangsa yang menjunjung hak dan perbedaan dalam masyarakat. Anak-anak mestinya mendapatkan nilai-nilai itu agar tumbuh tanpa membawa borok yang dapat merusak prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Kita di Indonesia sudah cukup lama bergulat dengan kasus intoleransi yang tak sedikit menelan korban. Sebagian pihak merasa bahwa mereka berhak mengatur dan memaksa yang lainnya. Orang mungkin akan protes, itu kan cuma seragam. Persoalan hak tak mengenal jenis kasus besar atau kecil, selama ada hak yang dirampas maka secara moral itu tidak dibenarkan.

Belum lagi, ketika semua siswa memahami pemaksaan seragam itu absah, maka ketika mereka dewasa semua jenis pemaksaan akan dibenarkan. Ini sesungguhnya lebih berbahaya karena mengendap dalam pikiran seseorang sejak ia kecil—menjadi pengetahuan hingga bagian dari pandangan hidupnya. Ada berapa banyak pemaksaan yang bakal mereka lakukan dalam hidup?

Jika demikian, guru dan sekolah tentunya berperan di sini. keduanya membekali siswa dengan nilai yang bertentangan dengan prinsip dasar kemanusiaan juga bernegara. Sebab, siswa (apalagi masih di tingkat sekolah dasar) belum benar-benar menjadi subjek yang bisa menentukan benar dan salah. Mereka belum punya cukup perangkat untuk itu. Maka ada benarnya kata orang, kualitas murid bergantung pada kualitas gurunya.

Pada dasarnya siswa bukan konsumen fakta dan doktrin. Mereka adalah pencipta pengetahuan yang aktif dan dinamis. Sekolah juga tak sekadar bangunan fisik, sekolah adalah tempat pembelajaran seumur hidup. Dan yang paling penting, menjadi guru adalah pilihan yang terkait erat dengan kesehatan sosial, budaya, dan ekonomi suatu bangsa. Jika sekolah dan tenaga pendidik menyumbang karakter dan nilai yang buruk kepada siswa, maka kesehatan sosial dan budaya kita juga ikut terganggu.

Mengajar dengan Kesadaran

Secara tradisional, mengajar adalah kombinasi dari penyebaran informasi dan mengasuh anak. Di sini, sekolah adalah pabrik pendidikan di mana orang dewasa dibayar per jam, diupah harian, atau bulanan untuk mengajar anak-anak yang duduk manis di dalam kelas.

Guru diberi tahu apa, kapan, dan bagaimana mengajar. Mereka diwajibkan mendidik setiap siswa dengan cara yang persis sama dengan apa yang dilakukan sebelumnya. Dan biasanya, mereka tidak bertanggung jawab atas banyaknya siswa yang gagal dalam pelajaran. Oleh karena itu, banyak guru hanya berdiri di depan kelas, bahkan pula ada yang hanya memberi tugas mencatat materi pelajaran di sebuah buku panduan lalu raib.

Mestinya, guru didorong untuk beradaptasi dan mengadopsi praktik baru dalam mengajar, tidak dibiarkan berdiam dalam kungkungan sistem. Idealnya, guru memahami bahwa inti dari pendidikan adalah hubungan erat antara orang dewasa yang berpengetahuan serta peduli dan seorang anak dengan potensi dan motivasinya. Artinya, guru memahami bahwa peran pentingnya dalah mengenal setiap siswa sebagai individu dengan segala kebutuhan unik, bakat, dan latar belakang sosial mereka. Dengan begitu, peran esensial seorang guru untuk merawat tatanan dan keberagaman sosial terpenuhi dengan baik.

Menemukan kembali peran guru, dapat menghasilkan sekolah yang jauh lebih baik dan siswa yang lebih berkarakter. Demikian pula, memahami siswa sebagai individu, memberi mereka kesadaran betapa perbedaan adalah hal yang pantas dan harus mereka haragai di mana pun mereka berada. SKB 3 Menteri yang baru dikeluarkan itu, hanya memberi tahu kita bahwa pengharagaan terhadap manusia lain berlaku dalam keadaan apa pun, dan hal itu lebih baik secara moral ketimbang memaksakan sesuatu di luar kehendak mereka. Intinya, jangan sampai urusan seragam merusak tenun keberagaman kita sebagai bangsa yang kaya budaya dan tradisi.

 

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.