Merenungkan Nasib Pendidikan di Masa Covid-19
BERANDA KOTA-
Sampai hari ini, sekolah masih ditutup karena pandemi Covid-19. Semua yang kita kenal tentang pendidikan formal nyaris berubah total. Kita dipaksa untuk beradaptasi hampir di semua lini kehidupan.
Tapi menarik untuk bertanya pada anak-anak kita yang sedang menempuh pendidikan saat ini, baik di tingkat paud sampai pada tingkat perguruan tinggi: apa yang hilang dari kehidupan belajar mereka?
Anda mungkin bisa membeberkan beberapa di sini, misal–kegembiraan bersama teman saat pergi dan pulang sekolah dalam bus, kehilangan uang jajan, hubungan langsung guru-murid dalam kelas, bahkan kisah-kasih di sekolah.
Beberapa bulan lalu, ramai beredar di media sosial foto-foto siswa sedang menjawab soal ujian. Foto-foto itu dibagikan orang tua mereka saat melaksanakan ujian sekolah dari rumah. Mereka tetap memakai seragam namun sendirian mengerjakan soal dalam ruang lengang. Suatu pemandangan yang baru dan aneh.
Dikatakan baru dan aneh sebab belum pernah ada pendidikan formal yang demikian dengan segala sumber daya digital yang menyertainya–via zoom, WhatsApp, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, pendidikan berjalan jarak jauh namun tetap ditopang oleh teknologi canggih yang ada di genggaman kita saat ini.
Bagi saya, ada dua tantangan yang diciptakan oleh pandemi Covid-19 pada dunia pendidikan. Pertama, Covid-19 menuntut setiap guru untuk memaksimalkan penggunaan teknologi agar kualitas pendidikan tetap terpenuhi. Kedua, guru dan orang tua siswa dituntut untuk berbagi peran dalam proses pembelajaran selama pandemi.
Pertama, guru di masa pandemi seperti sekarang, harus memanfaatkan teknologi dengan baik agar kualitas belajar-mengajar tetap terjaga walau belajar dari rumah. Sebab, mengingat ketidakpastian berakhirnya pandemi, peralihan pola pendidikan harus tetap diperhatikan. Ini akan menjadi starting point bagi sistem pendidikan kita berbasis teknologi untuk berhadapan dengan kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Dengan demikian, pemerintah perlu memperhatikan kebutuhan seperti itu, yakni bagaimana melibatkan teknologi penunjang pendidikan selama belajar dari rumah.
Seperti yang dilacak oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) di Perancis tentang solusi teknologi inovatif untuk memberikan pengajaran dan pembelajaran yang berkualitas–telah menciptakan platform digital Ma classe à la maison (my classroom at home) yang bisa digunakan oleh siswa menggunakan komputer, tablet atau ponsel, hanya dengan mengakses akun individu yang menyediakan empat minggu kursus dengan konten pedagogis.
Selain di Perancis, Jepang juga memiliki platform yang memberi peluang pembelajaran digital. Platform ini ditawarkan oleh perusahaan swasta secara gratis bagi siswa yang dirumahkan. Kemitraan publik-swasta juga meningkat di banyak yurisdiksi, termasuk bekerja dengan penyedia telekomunikasi nasional untuk memungkinkan akses broadband gratis untuk tujuan pendidikan. Selain itu, platform besar, seperti Google dan Microsoft, juga bekerja untuk membantu memperluas penawaran alat digital mereka untuk pendidikan dan juga pekerjaan.
Apakah ini bisa dikatakan sebagai model awal pendidikan kita di masa depan? Entahlah.
Namun, tidak bisa dipungkiri. Lebih banyak sekolah ditutup, kita juga harus memerhatikan mereka yang paling rentan, baik fisik, akademis maupun psikologis.
Ketika sistem secara besar-besaran pindah ke e-learning, kesenjangan digital dalam konektivitas, akses ke perangkat, dan tingkat keterampilan menjadi lebih berat. Sebagai contoh, siswa yang beruntung cenderung memiliki orang tua dengan tingkat keterampilan digital yang lebih tinggi, yang mana dapat mendukung pembelajaran siswa yang dirumahkan. Sedangkan siswa dari keluarga kurang mampu cenderung berkebalikan, yang berarti mereka berisiko semakin jauh tertinggal. Ini bisa ada di negara manapun, baik di Indonesia maupun di tingkat lokal seperti di Kotamobagu.
Kita sedang berhadapan dengan krisis, salah satu guncangan yang diprediksi oleh para pemikir masa depan. Segera kita akan melihat ke belakang dan merenungkan apa yang dapat dipelajari dari pengalaman ini dan bagaimana kita dapat melakukan hal yang lebih baik di masa depan. Dalam jangka pendek, kita semua harus bekerja bersama untuk menjaga komunitas dan sekolah kita tetap sehat dan aman.
Kedua, orang tua dituntut lebih banyak waktu di rumah demi mengontrol proses pembelajaran anak dari rumah. Seperti mengerjakan tugas, mengingatkan jadwal mata pelajaran, mengawasi dari awal sampai berakhirnya pelajaran dan lain sebagainya.
Jangan seperti pengalaman sastrawan Eka Kurniawan yang ia tulis di twitter-nya minggu lalu. Ia melihat seorang anak dipakaikan seragam SD dan dipotret ibunya kemudian dikirim ke guru. Ini foto presentasi, kata ibunya. Kemudian anak itu melepaskan seragam dan pergi bermain lagi.
Kesulitan yang dihadapi banyak orang sekarang tidak dapat diabaikan. Pendekatan ini tidak memungkinkan bagi mereka yang menghadapi kehilangan pekerjaan dan sakit, atau bagi mereka yang tidak mampu berada di rumah bersama anak-anak mereka.
Tapi bagi anda yang mampu, ada pelajaran sederhana namun bernilai untuk diajarkan selama di rumah. Anda mungkin bukan ahli fisika, ahli matematika, atau ahli mesin. Tapi anda bisa ajarkan kepada mereka memasak, berkebun, menjahit, melipat baju, dan lain-lain. Ini penting dan mengingat anak memiliki banyak waktu luang selama di rumah.
Namun, jika mereka tidak menyukai apa yang anda kehendaki, maka dukunglah apa yang menjadi bakat dan keinganan mereka selama itu masih pada batas-batas yang wajar. Kita mungkin tidak tahu apa yang akan mereka pelajari dari krisis ini, namun buatlah mereka tidak kehilangan banyak hal penting dalam hidup mereka untuk menghadapinya.