Selamat Hari Puisi Indonesia, Ini Puisi Keren Wajib Baca di Novel Joko Pinurbo, Srimenanti

0 711

BERANDAKOTA— Ketika seorang penulis puisi menulis cerita, akan terasa berbeda dan spesial. Wajar bila akhirnya puisi mendapat tempat terhormat di dalam jalinan kata-kata dan kalimat yang terangkai dalam cerita. Hal itu yang jelas terlihat di novel perdana Joko Pinurbo alias Jokpin yang berjudul Srimenanti.

Ceritanya dimulai oleh sebuah puisi, dan di sepanjang cerita bait-bait puisi dikutip di sana-sini. Bahkan ada momen tokohnya membaca puisi atau dalam bahasa Jokpin: menunaikan ibadah puisi.

Nah, berikut lima puisi yang terdapat di novel Srimenanti. Tidak semua puisi di novelnya karya Joko Pinurbo. Hal ini justru bagus. Pertanda novel ini bukan arena pamer puisi penulisnya, maupun bukti kemalasan si penulis hanya mengembangkan cerita dari puisi-puisi milik sendiri.

Berikut Puisi ke-empat penyair terbaik yang dimiliki oleh bangsa ini:

 

1. “Hujan dalam Komposisi, 1″ karya Sapardi Djoko Damono

Pada salah satu rasa kangen, diceritakan Srimenanti merindukan rumah dan ibunya. Ia mengingat momen ketika sang ibu bercakap-cakap dengan hujan. Apa yang diujarkan ibu merupakan petikan puisi Sapardi. Berikut ini puisinya.

Apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari
daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela?
Apakah yang kautangkap dari bau tanah, dari ricik air yang
turun di selokan?

Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan
hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan
yang berulang.

“Tak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di
balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa
pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik
air menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau
memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu
tidur.”

 

3. “Kangen” karya WS Rendra

Jangan mengaku pecinta sastra Indonesia bila tak kenal WS Rendra. Penyair yang dijuluki Si Burung Merak ini salah satu penyair terbesar yang pernah mewarnai jagat sastra kita lewat puisi-puisinya.

Salah satunya dipinjam Jokpin di novel Srimenanti. Puisi ini di novel dibacakan di tengah jalan, diiringi gitar, di tengah kemacetan. Berikut puisinya.

Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta

Kau tak akan mengerti segala lukaku
karna cinta telah sembunyikan pisaunya.

Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.

Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi

Itulah berarti
aku tungku tanpa api.

Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta

Kau tak akan mengerti segala lukaku
karna cinta telah sembunyikan pisaunya.

Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.

Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi

 

4. “Doa Seorang Pesolek” karya Joko Pinurbo

 

Seperti adegan di dalam novel, puisi buah tangan penulis novelnya ini paling pas dibaca sambil berdandan. Berikut ini puisinya.

Tuhan yang cantik,
temani aku
yang sedang menyepi
di rimba kosmetik.

Nyalakan lanskap
pada alisku yang gelap.

Ceburkan bulan
ke lubuk mataku yang dalam.

Taburkan hitam
pada rambutku yang suram.

Hangatkan merah
pada bibirku yang resah.

Semoga kecantikanku
tak lekas usai dan cepat luntur
seperti pupur.

Semoga masih bisa
kunikmati hasrat
yang merambat pelan
menghangatkanku

sebelum jari-jari waktu
yang lembut dan nakal
merobek-robek bajuku.

Sebelum Kausenyapkan warna.

Sebelum Kauoleskan
lipstik terbaik
di bibirku yang mati kata.

5. “Sajak yang Tersesat” karya Shinta Febriany

 

Shinta Fabriany seorang penyair asal Sulawesi Selatan. Ia telah menerbitkan buku puisi Aku Bukan Masa Depan dan yang teranyar terbit 2017 lalu, Gambar Kesunyian di Jendela.

Di novel Srimenanti, Shinta muncul sebagai cameo bersama sastrawan lain. Tokoh utama di novel teringat petikan puisi milik Shinta saat bertemu. Berikut puisi lengkapnya.

semula sajak ini hendak berkisah
perihal alismu yang tebal
aroma kretek yang tertinggal di bibirmu
yang membuatku betah mengulumnya.

sajak ini ingin sekali merekam tubuhmu
yang jangkung dan ranum
yang menderu ketika tersentuh jariku.

di kaki gunung merapi kala itu
bulan juli terasa lembap
kemurungan berkelebat cepat.

kau bilang
gelap hanya ada di malam hari
dan itu singkat, tak melukai.

seperti melihat film pendek
mungkin menyakiti mata tapi ringkas
tak melewati tiga puluh menit.

kau bilang
segala yang dapat menjelma kesedihan
mesti segera dipadamkan.

jangan biarkan ketel berbunyi panjang,
lekas matikan api.

kau kian lihai membelakangi kenyataan
tak ada masa silam dan masa depan
di peta hidupmu.

sajak ini tersesat
setelah kau menunjukkan
arah tetap hatimu.

(Redaksi berandakota.com/Nanda Hadiyanti/GramediaBlog)

 

 

 

 

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.