Satu-satunya Tugas Dalam Hidupmu

0 451

BERANDAKOTA—Tentu saja aku tahu bahwa pada diri makhluk-makhluk kelas atas ada semacam ‘snobisme spiritual’ yang membuat mereka tidak percaya bahwa orang butuh uang untuk bahagia. Itu konyol, itu keliru, dan, sampai taraf tertentu, itu hanyalah perkataan seorang pengecut,” demikianlah Mersault berkata pada Zagreus.

Kedua tokoh ini berdebat tentang uang, waktu, dan kebahagiaan. Ada yang berpendapat bahwa uang merupakan tujuan paling rendah, waktu adalah kebijaksanaan, dan kebahagiaan adalah paling bajik. Tokoh yang lain berpendapat sebaliknya.

Kedua tokoh ini seumpama dua tubir yang dibelah jurang, masing-masing berdiri dalam kondisi kontras berbeda: Mersault percaya bahwa hal-hal manis dalam kemiskinan tak lebih mulia dari pesona kekayaan dan Zagreus yang terperangkap dalam tubuh cacatnya percaya bahwa uang adalah kenyataan paling hina dan kebahagiaan adalah karunia paling agung.

Mereka ketemu, terlibat dalam satu adegan kontemplatif, tenggelam dalam percakapan paling palung yang tak menemui ujung kecuali dengan bantuan kematian. Dalam novel Albert Camus itu, La Mort heureuse (karya yang tak pernah Camus publikasikan semasa hidupnya), Zagreus mesti menemui malaikat ajal melalui moncong revolvernya sendiri tepat di bagian kanan pelipis.

Peluru itu tak berdosa, tapi Mersault yang menarik pelatuk itu tahu persis, ketika ia menutup mata di hadapan teman ngobrolnya, dalam detik itu, dalam kepungan jerit senjata itu, roh seseorang baru saja lepas dari sangkar tubuh.

Setelah insiden tersebut nama Mersault tak pernah terlacak kepolisian. Dengan membawa serta uang curian dari rumah Zagreus ia berkelana ke Wina dan Praha. Dalam kembara, ia disergap kesepian dan nurani yang lebam. Barangkali kata-kata Zagreus masih menghantui dirinya: “Dan kau Mersault, dengan badanmu, satu-satunya tugas dalam hidupmu adalah berbahagia.”

Dan kebahagiaan itu, dalam satu dan lain cara, merupakan hal yang terbatalkan dalam diri Mersault.

Kita tentunya mahfum bahwa Mersault menghendaki hidup bahagia. Hanya saja ia anggap uang sebagai satu-satunya anak tangga ke tujuan itu. Mersault memiliki satu hal vital yang tak dimiliki Zagreus; ia punya kaki yang kokoh untuk berjalan. Tapi mereka yang membaca La Mort heureuse tahu bahwa Zagreus memiliki mata dan telinga yang mampu menangkap keindahan di tiap pojok dunia paling halus.

Sampai sang maut menanam jenazah Zagreus, Mersault tidak juga mencerna tugas paling penting itu, yakni kebahagiaan –barang mahal yang tak pernah sanggup ditukar dengan bercarik-carik kertas.

Mereka yang hidup dalam kondisi Mersault bisa dengan gampang menganggap uang sebagai penebus kegembiraan hakiki. Namun Akira Kurosawa berpendapat lain; ia malah anggap para bangsawan sebagai orang-orang bernasib sial. Mereka jarang disentuh penderitaan sejati. Karenanya, mereka tak menyadari bahwa kemalangan mengajarkan kita kebenaran.

Lewat Ikiru (Ada, Untuk Hidup), Kurosawa sang sineas Jepang itu memperkenalkan seorang protagonis yang divonis menderita kanker perut yang hidupnya akan habis dalam waktu 6 bulan. Tokoh utama ini namanya Watanabe. Sepanjang 30 tahun ia terperangkap dalam sangkar birokrasi; ia habiskan waktu tanpa benar-benar menjalani hidup.

Pegawai-pegawai di kantor menjulukinya zombi tua. Seolah sama sekali tak ada perbedaan antara dirinya dan kertas-kertas yang ia beri cap setiap hari: sama-sama benda mati yang berfungsi sebagai mesin birokrasi yang dingin, kaku, dan beku.

Dalam rumah sakit yang menguarkan kengerian bagi orang tua, ia lalu mengetahui bahwa ia mengidap penyakit mematikan yang setara dengan hukuman mati. Lalu dia menembus malam. Dalam hitam-putih musim dingin, di jalanan perkotaan, dia menggali sisa-sisa jejak ingatan tentang apa yang ia korbankan dan apa yang ia sia-siakan.

Ia saksikan satu entakan peristiwa berputar sebagai kenangan yang membanjiri kepalanya. Lalu pada sebuah bar yang sunyi ia menyadari bahwa ketika jarak kita teramat dekat dengan kematian, dunia (harus) tampak menjanjikan keindahan –momen yang sama ketika sepucuk revolver mengecup kening Zagreus.

Watanabe membawa uang 50.000 yen (jumlah yang cukup besar di Jepang pada tahun 1950-an). Tapi sebagai tua bangka yang menjalani nyaris setengah usia sebagai zombi birokrasi, ia tak tahu cara terbaik untuk menghabiskannya.

Berkat seorang kawan yang bekerja sebagai penulis novel –yang mungkin adalah personifikasi Akira Kurosawa, sang otak film ini– ia akhirnya dituntun mengenali satu wajah kebahagiaan yang tak pernah dicicipi Watanabe: membeli sake mahal yang tak pernah ia teguk sebelumnya, mengundi nasib di mesin slot, menyesap minuman di kafe, membeli topi baru, menari dengan gairah Nietzsche, menonton seni striptis, mabuk-mabukan, karaoke, dan mengencani wanita muda.

Anak dan menantu Watanabe pun heran dengan perubahan spontan yang menimpa ayah mereka. Hanya dalam waktu satu malam laki-laki tua itu tampak begitu berbeda. Dari jendela mereka melihat Watanabe digandeng wanita muda dengan senyum gembira sepolos anak kecil. Pria paruh baya dan perempuan muda itu menuju entah ke mana.

Dan, di antara semua cara menguras 50.000 yen itu, satu-satunya hal yang mengikat erat tokoh protagonis kita adalah daya magis yang tersembunyi di balik gadis muda itu –yang bukan karena pengaruh hormonal di darah lelaki tua bangka, namun didorong oleh rasa iri. Watanabe cemburu pada perempuan muda itu yang sanggup menyalakan gairah hidup meski untuk hal-hal sepele sekalipun.

Barangkali untuk enam bulan kehidupan yang tersisa, ia ingin bertukar hidup dengan perempuan itu barang satu hari saja.

Di sini kita saksikan sebuah lompatan perspektif atas konsep eudaimonia (standar kebahagiaan), dari etika hedonisme menuju etika Aristotelian. Kebahagiaan hedonisme adalah upaya mereguk kenikmatan ragawi semaksimal mungkin; menolak penderitaan sampai taraf paling minimal. Jamaknya kita kenal dengan upaya berburu harta, takhta, dan Anya Geraldine.

(Etika hedonistik ini kerap kita asosiakan dengan Epicurus, meskipun sebenarnya ia membatasi kenikmatan dengan sesuatu yang lebih mulia, yakni kedamaian).

Sedangkan dalam etika Aristotelian, kebahagiaan hanya bisa dicapai setelah melewati jalan terjal menanjak yang dijejali penderitaan. Bagi mereka yang gemar mendaki gunung, kelelahan serta deras peluh hanya bisa ditebus oleh tajam silau matahari di puncak gunung. Dalam momen itu kita menyadari, terdapat ruang hampa yang tercipta dari pengorbanan panjang, ruang yang cukup lapang untuk ditembus kegembiraan serta kedamaian.

Lewat perempuan muda itu, Watanabe menyadari rahasia magis yang melingkari kebahagiaan tertinggi. Kanker di perutnya cuma petunjuk perihal kutukan atau mukjizat yang mendesak untuk ditentukan nasibnya. Bila ia memilih yang pertama, maka Watanabe hanya perlu duduk di depan meja membosankan bersama ribuan kertas tak bernyawa hingga maut merenggut fungsi otaknya.

Bila ia memilih yang kedua, ia harus memutus mata rantai individualitasnya dan mengurusi tumpukan daging bernama manusia yang tak pernah sekalipun dilirik birokrasi Jepang.

Apabila kata-kata Zagreus terngiang sebagai hantu bagi Mersault, justru dari telinga Watanabe ia terdengar sebagai bisik malaikat cahaya: “Dan kau…satu-satunya tugas dalam hidupmu adalah berbahagia.”

Dalam Ikiru, kebahagiaan itu muncul ketika seseorang menjemput maut dengan kewajiban yang terlaksana; setelah taman bermain kanak-kanak menyingkirkan tanah kumuh penuh sampah, setelah dedikasi membangkitkan mayat birokrasi dari pusaranya, dengan keyakinan bahwa kebahagiaan tak pernah berarti tanpa ditularkan, dengan vitalitas hidup yang sia-sia tanpa tanggung jawab sosial.

Pada ujung Ikiru, kita lihat tokoh protagonis kita sedang bermain di ayunan yang ia bangun selama setengah tahun. Ia bernyanyi satu lagu dari masa kanak-kanaknya yang jauh, Life is Brief. Sedangkan Mersault yang ada di Wina atau di Praha barangkali tak pernah mengerti cara berbahagia selain membandingkan diri dengan orang lain yang lebih tidak berbahagia dari dirinya. Di sana Mersault menjalani “hidup seorang pengecut” yang pernah ia serapahi di depan Zagreus.

Di bawah lembut salju musim dingin, Watanabe gugur bersama penyakitnya. Dia ada untuk hidup; dia mati, untuk bahagia.

Oleh: Tyo Mokoagow aktif di Komunitas Literasik Totabuan, Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.