Pilu dalam Pemilu
Oleh Dicky Gobel
Bicara soal pemilihan umum (pemilu), mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sebab, pemilu sudah menjadi hal yang receh di negeri “+62” ini dan sudah sering dilaksanakan. Pemilu juga menjadi konsekuensi dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi.
Untuk menentukan seorang pemimpin, maka harus menempuh jalur-jalur konstitusi, salah satunya pemilu.Tapi apakah sistem pemilu yang ada di Indonesia saat ini sudah sesuai dengan asas-asas demokrasi? Dan apakah benar jika pemilu di Indonesia erat kaitannya dengan praktik politik uang atau pembelian hak suara?
Indonesia menganut sistem demokrasi dengan Pancasila sebagai asas kenegaraannya, dan tidak terpisahkan dengan pemilu. Sebab pemilu merupakan bagian dari sarana demokrasi yang menjamin setiap warga negara berhak menggunakan hak suaranya. Seperti dalam pengertian Suryo Untoro tentang pemilu bahwa, “Suatu pemilihan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih untuk memilih wakil-wakilnya yang duduk dalam badan perwakilan rakyat”.
Akan tetapi, dalam mekanisme penyelenggaraan pemilu, masih sering kali ditemukan kendala bahkan masalah. Terlihat dengan maraknya sengketa pemilu hingga politik uang (money politics), yang tetap eksis di tengah masyarakat saat ini.
Praktik money politics terus menghantui bahkan telah menggerogoti asas-asas demokrasi dalam pemilu di Indonesia. Ini terlihat ketika pemilu yang dilangsungkan sejak 2014. Saat itu, kisaran jumlah penduduk yang melakukan jual beli suara sebanyak 47 hingga 62 juta dari 187 juta pemilih yang terdaftar. Adapun sumber dana yang menjadi masalah dalam praktik seperti ini, berasal dari berbagai sumber. Misalnya dari para cukong, pinjaman/utang, bantuan sosial (bansos), hingga kompensasi hasil perizinan dan setoran pejabat. Maka tidak heran jika Indonesia berada di tiga peringkat teratas dalam praktik politik uang di dunia (Ferry Daud Liando; Politik Uang).
Anomali politik di atas tidak serta-merta tanpa sebab, tapi berangkat dari beberapa alasan yang mendasarinya.
Kendala Regulasi
Pemilu serentak di Indonesia kemarin, membuat catatan penting dalam tata regulasi pelaksanaannya. Tahun lalu, banyak terjadi kesalahan di lapangan hingga merenggut ratusan nyawa anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Kesalahan itu kemudian menjadi cerita kelam dalam proses penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Ini bukan tanpa sebab, melainkan kurang adanya kesiapan serta konsep yang matang dalam regulasinya.
Tampak di sini seolah-olah dipaksakan, tetapi tidak memikirkan dampaknya. Minimnya fasilitas yang memadai menciptakan sengketa antarpendukung, konflik elektoral, hingga kurangnya pengawasan terhadap praktik politik yang tidak sehat lainnya. Ini mengharuskan kita untuk segera menata dan memperbaiki ulang setiap kendala dalam regulasi pelaksanaan pemilu, agar kejadian kelam tidak kembali terjadi.
Moralitas Calon
Tak bisa dipungkiri apabila dalam pertarungan politik selalu melahirkan kekalahan dan kemenangan. Tapi bukan itu tujuannya, melainkan siapa pun yang menjadi pemenang dalam kompetisi ini, bisa mewujudkan apa yang telah diamanatkan oleh undang-undang.
Ironisnya, masih banyak calon pemimpin yang tidak menyadari akan hal ini. Terbukti dari adanya beberapa kasus jual beli jabatan politik, hingga penyalahgunaan program pemerintah daerah oleh petahana, guna memuluskan langkah ‘politik praktisnya’. Belum lagi dengan adanya angka korupsi yang melibatkan sejumlah kepala daerah, menunjukkan bahwa nilai moralitas sebagai seorang pemimpin masih bermasalah.
Pragmatisme Pemilih
Pragmatisme pemilih dalam pemilu menjadi satu mata rantai dengan praktik politik uang. Di mana orientasinya adalah kepentingan.
Pragmatisme pemilih terjadi akibat hilangnya kepercayaan pemilih terhadap calon, eksistensi pemilih dalam lingkungannya, desakan ekonomi serta permainan kotor antarpemilih dengan calon. Dalam bentuknya, pragmatisme pemilih bisa diklasifikasikan menjadi empat macam: bentuk permintaan kompensasi uang secara kolektif, bentuk permintaan kompensasi uang secara individu, dan bentuk permintaan kompensasi barang secara inividu maupun kelompok.
Dalam sejarahnya, pemilu di Indonesia bukan barang baru. Pemilu telah diterapkan sejak era 50-an, yaitu pada saat pemilihan anggota- anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tepatnya 29 September 1955, lewat amanat Undang-undang No. 7 Tahun 1953. Proses pemilihan ini masih diberlakukan sampai sekarang, walau ada beberapa dalam mekanisme maupun landasan hukumnya yang diubah. Aturan-aturan yang terus diubah itu bukan tanpa alasan, melainkan guna mengupayakan agar sistem pemilihan berjalan sesuai harapan.
Pada 2020 ini, masyarakat Indonesia yang ada di beberapa wilayah sedang mempersiapkan diri dalam menyambut pelaksaan pemilu atau biasa dikenal dengan pemilihan kepala daerah (pilkada). Tak ayal, dalam kesiapannya banyak menciptakan kelas-kelas politik. Mulai dari pertarungan antarkubu dari pasangan calon, hingga institusi yang menjadi wasit dalam penyelenggaraan ini. Dengan jumlah puluhan bahkan ratusan yang mencalonkan diri untuk berkompetisi, ditambah lagi dengan angka yang tidak sedikit dari penyelenggara itu sendiri, maka kompetisi ini tidaklah main-main. Mengapa demikian? Karena banyak menguras tenaga, pikiran, sampai anggaran tentunya.
Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa pemilu yang akan dilaksanakan di tahun ini bisa berjalan dengan baik, karena semakin diperketat dengan adanya rambu-rambu yang sudah disiapkan oleh penyelenggara dalam memfasilitasi kompetisi politik ini. Namun belum tentu, karena permasalahan yang sebenarnya muncul juga dari mereka (oknum-oknum penyelenggara) yang telah menjadi bagian dari ‘politik praktis’ bagi si pasangan calon. Artinya, pemilu yang diidam-idamkan, dengan nilai demokrasi yang menjunjung tinggi asas kejujuran, keadilan, dan bebas-rahasia itu, tidak mudah lagi untuk dicapai. Sebab, intervensi politik itu semakin leluasa mewabah, bahkan masuk sampai ke modus menjadi penyelenggara.
Berbagai institusi dimainkan. Segala unsur yang berpotensi memuluskan ‘politik praktis’ ini digandeng, termasuk peran media dan gerakan pemuda yang tidak luput dari aksi-aksi pragmatis ini. Organisasi-organisasi mahasiswa pun mulai terkooptasi dan gagap dalam menyikapinya. Dengan legitimasi atas nama senioritas dan dalih kepentingan bersama, seakan ini hal yang lumrah bahkan menjadi sebuah keharusan. Bila sudah seperti ini, maka rusaklah sudah harapan bangsa.
Pada dasarnya, politik memang tidak bisa dipisahkan dari yang namanya intervensi. Sebab, politik adalah siasat atau strategi untuk mencapai suatu tujuan. Itu artinya butuh keterlibatan orang lain ataupun intervensi. Tetapi, intervensi yang bisa merusak asas demokrasi dalam pemilu ialah ketika dalam proses pelaksanaannya, hak suara mulai dimanipulasi oleh unsur-unsur dalam pemilu itu sendiri. Dan itu bisa dimainkan oleh pasangan calon hingga penyelenggara sebagai eksekutor dalam permainan ini. Pada ujungnya, kedaulatan rakyat yang dipertaruhkan.
Permainan hak suara (baik jual beli suara hingga menukar hasil akhir kotak suara) bukan hal yang tabu dalam penyelengaran pemilu di Indonesia. Dengan berbagai motif, maka cara apa pun ditempuh guna mencapai tujuan, yakni kekuasaan. Praktik-praktik bias demokratis ini dilanggengkan dan sudah terlihat dari awal persiapan penyelenggaraan. Misalnya, pada saat perekrutan pelaksana penyelenggara, di mana lebih mengutamakan hal-hal yang berbau nepotisme hingga kolusi, yang pada gilirannya melahirkan pemerintahan yang berdasar pada kekuasaan oleh segilintir orang atau pemerintahan oligarki.
Cara-cara yang bisa diartikan tidak produktif ini, tidak hanya sekadar permainan hasil jual beli suara dan manipulasi yang dilakukan penyelenggara pemilu saja. Akan tetapi, aktor-aktor politik yang telah memainkan perannya yang sungguh epik, dengan isu dalam wacana politik yang dibawanya. Misalnya isu politik identitas menjadi satu hal yang selalu digaungkan pada saat pertarungan politik, dan seolah-olah sudah menjadi hal yang lazim bagi setiap politikus sebagai strategi politiknya.
Politik identitas menciptakan polarisasi di tengah-tengah masyarakat. Ini membuat masyarakat terkotak-kotak dan saling menghakimi antara satu dengan yang lain. Musababnya tidak lain adalah isu Suku, Agama, Ras, dan Antar-Golongan (SARA) yang terus dimainkan. Maraknya frame etnis suku, ras, hingga agama tertentu, sering digunakan sebagai alat guna mengajak masyarakat memilih pemimpin yang sama dengan latar belakangnya. Iming-iming saudara bahkan surga, membuat pesta demokrasi menjadi arena yang kental dengan hujatan bahkan saling tuding.
Pemilu yang sesungguhanya bisa mengindahkan hal-hal yang lebih produktif dalam penyajian politiknya–mengedepankan gagasan ketimbang cara-cara curang. Mungkin saat ini hal seperti itu sangat sulit untuk ditemukan. Kondisi ini lebih diperparah lagi dengan pasangan calon yang tidak mempunyai kapasitas maupun kapabilitas, atau hanya berangkat dari modal kantong semata. Tentu ini akan membuat citra buruk dalam dunia politik maupun pemilu di Indonesia yang kini tidak pernah beranjak ke mana-mana.
Selain itu, kita tahu bersama, bahwa sebelum riuhnya pesta politik di penghujung tahun ini, masyarakat Indonesia pun masih dalam suasana melawan penularan wabah Covid-19. Dengan angka kasus tertular yang masih sangat tinggi, kita tetap dipaksa untuk melaksanakan pemilu. Apakah ini sebuah keharusan? Atau jangan-jangan karena jumlah anggaran pilkada 2020 yang mencapai Rp 24 triliun lebih ini, hingga kita menafikan keselamatan orang banyak? Dan manakah yang lebih bermoral? Hal ini terus menjadi perdebatan di akar rumput sembari para elite (pemangku kekuasaan) terus gencar dalam wacana surganya.
Berangkat dari hal di atas, segala permasalahan yang ada di dalam sistem pemilu di Indonesia saat ini, akan memberikan dampak yang sangat luar biasa jika dibiarkan saja. Hilangnya kedaulatan rakyat menjadi hal yang potensial. Tata kelola pemerintahan yang lahir dari calon terpilih yang buruk, akan sangat terasa. Di mana menjadikan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) sebagai proyek utama, sembari memainkan skenario politik selama kurun waktu lima tahun dengan para cukong-cukongnya.
Permasalahan pemilu begitu kompleks di negara ini, dan tentu ini harus segera dibenahi. Benahi kelembagaan partai politik dan segala institusi yang terlibat dalam penyelenggaraannya. Benahi pula akal sehat serta moralitas di dalam diri setiap warga negara, agar tercipta manusia politik yang paham akan makna politik. Mengevaluasi serta memberi solusi sudah menjadi tugas bersama. Dan tetap ke depankan hak kebebasaan sebagai inti sari dari demokrasi itu sendiri, agar bisa membawa pemilu ke arah yang lebih ideal. (*)
Dicky Gobel pemenang Esai Terbaik Kategori Umum di Kelas Kapitulis.