Pembubaran FPI: Bagaimana Nasib Minoritas?
Desember menjadi bulan yang kelam bagi Front Pembela Islam (FPI). Ormas Islam yang lahir dari rahim reformasi ini, secara resmi dibubarkan oleh pemerintah Indonesia.
Pembubaran dan pemberhentian terhadap FPI dikeluarkan lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang larangan kegiatan penggunaan simbol dan atribut serta pemberhentian terhadap kegiatan FPI.
SKB yang merupakan kesepakatan bersama ini ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Hukum HAM (Menkumham), Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri), serta Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT). SKB tersebut dibacakan langsung oleh Eddy Hiariej, Wakil Menteri Hukum dan HAM.
Kejadian ini menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat, tidak ketinggalan tanggapan dari para aktivis demokrasi dan HAM di Indonesia. Sebagian menolak pemberhentian karena tidak sejalan dengan semangat kebebasan berekspresi dan berorganisasi yang kemudian mencederai nilai-nilai demokrasi di Indonesia.
Sebagian juga ada yang menerima, karena kehadiran FPI di Indonesia bagi mereka sering meresahkan masyarakat. Namun yang hilang dari diskursus pembubaran dan pemberhentian FPI adalah hubungannya dengan kelompok minoritas di Indonesia. Kenapa kelompok minoritas menjadi diskursus yang sangat penting dalam pembubaran FPI?
Minoritas di Indonesia sejak periode reformasi, terus mengalami intoleransi, diskriminasi dan ujaran kebencian. Ada dua hal penting bagi saya perihal hubungan FPI dan kelompok minoritas di Indonesia: pertama, tekanan terhadap kelompok minoritas semakin nyata di era reformasi dan berbeda dengan sebelumnya. kedua, FPI lahir di era reformasi dan implikasi kelahirannya adalah virgilantisme atau main hakim sendiri–menciptakan tekanan yang mewujud pada intoleransi, diskriminasi, subordinasi hingga ujaran kebencian terhadap minoritas di Indonesia.
Minoritas ini adalah sebuah konsepsi untuk melihat bagaimana kondisi tertentu dari kelompok yang berada di tengah mayoritarianisme. Bukan penekanan pada angkanya, karena ada juga minoritas di Indonesia yang secara angka besar, namun terpinggirkan di Indonesia.
Mengacu pada definisi yang diberikan oleh Louis Wirth tentang konsep tersebut, minoritas adalah mereka yang secara objektif menempati posisi yang tidak menguntungkan dalam masyarakat. Secara sederhana minoritas adalah mereka yang mengalami subordinasi di masyarakat meskipun jumlah mereka besar (Ahmad Najib Burhani 2020).
Di Indonesia kita menemukan fakta objektif berdasarkan definisi itu, bahwa kelompok yang menjadi sasaran adalah kelompok keagamaan seperti Ahmadiyah, Syiah dan Penghayat Kepercayaan.
Pascareformasi, sesuai dengan kelahiran FPI, tekanan demi tekanan terhadap minoritas terus merebak di Indonesia. FPI adalah aktor yang menyumbang tekanan-tekanan itu. Pada 2008, muncul ceramah yang berisi tentang ujaran kebencian. Seperti ceramah yang direkam kamera dan telah tersebar di Youtube berbunyi “Perangi Ahmadiyah. Bunuh Ahmadiyah, di mana pun mereka berada. Bunuh, bunuh, bunuh Ahmadiyah”.
Ceramah tersebut disampaikan oleh salah seorang pimpinan FPI, Sobri Lubis pada 2011, di Cikeusik, Jawa Barat. Jemaah Ahmadiyah diserang dengan batu, bambu dan senjata tajam mereka sambil meneriakkan “kafir! kafir!”. FPI merupakan kelompok yang melakukan penyerangan terhadap Ahmadiyah. Tiga orang Ahmadiyah dipukul dengan batu dan diinjak hingga meninggal.
Tindakan FPI juga menyasar kelompok yang mendukung dan memihak kepada minoritas. Pada 2008 di Monas, FPI menyerang Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan dan Berkeyakinan (AKKBB). Aliansi untuk membela kebebasan beragama dan berkeyakinan serta minoritas ini, diserang oleh FPI dan beberapa ormas intoleran.
Sebelum aksi dimulai, para militan FPI dan anggota ormas telah mempersiapkan diri mereka dengan pentungan dan bambu runcing. Alhasil, 70 orang dari AKBB mengalami cedera. Di Jawa Barat pada 2013, FPI melakukan perjanjian dengan pemerintah daerah untuk melarang Ahmadiyah.
Dalam laporan yang diberikan oleh Setara Institute, penekanan terhadap minoritas terjadi pada 2010, yakni 216 kasus serangan, 244 kasus pada 2011 dan 264 kasus pada 2012. Sementara pada 2017 Setara Institute mengeluarkan laporannya bahwa 21 peristiwa telah terjadi pada kelompok minoritas membuat mereka menjadi korban intoleransi, penyesatan, penggerebekan, diskriminasi, intimidasi, penyegelan rumah ibadah, pembubaran kegiatan keagamaan, pembekuan, penyerangan, provokasi, ujaran kebencian, larangan ibadah, dan pembiaran.
Fakta dan data di atas menunjukkan bagaimana perlakuan FPI terhadap minoritas di Indonesia. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh FPI tersebut menyerang langsung jantung dari prinsip berbangsa dan bernegara. Selain FPI, negara juga menjadi penyumbang tindakan diskriminatif dan intoleransi bagi minoritas. Dua powerfull ini saling kait kelindan untuk mengeksklusif minoritas dari ruang publik Indonesia.
Sikap pemerintah dapat kita lihat dari kebijakannya yang membuat minoritas sulit mendapat tempat di Indonesia, padahal secara fisik Indonesia adalah plural. Dengan kebijakan mengakui enam agama resmi yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha serta Konghucu, namun hanya Islam menjadi prototype-nya. Kebijakan ini membuat pluralitas di Indonesia menjadi terbatas (delimited pluralism).
Prototype terhadap agama yang diakui menjadi favoritisme yang berujung pada intoleransi dan pembiaran. Implikasi dari itu adalah tekanan yang dihadapi oleh minoritas seakan didukung secara tidak langsung oleh pemerintah; kemudian banyak juga tindakan intoleran yang tidak terjamah oleh hukum. Seharusnya, dengan melihat langkah atas pemberhentian dan pembubaran FPI, mestinya menjadi berita besar dan mendamaikan bagi minoritas di Indonesia.
Kalau salah satu dari aktor besar penekan minoritas telah dilarang, dan itu tidak diikuti dengan langkah bagaimana menjunjung tinggi kebebasan beragama dan berkeyakinan serta melindungi minoritas di Indonesia, maka kebijakan pembubaran dan pemberhentian FPI hanya menjadi motif politik pemerintah. Dan kebijakan tersebut adalah sebuah eufemisme karena pemerintah tidak membumihanguskan akar dari masalah yang ada.
Pemerintah dan masyarakat butuh komitmen bersama untuk menghilangkan budaya yang kejam ini yang entah datang dari mana. Ini semacam penggabungan antara top down dan bottom up dalam menciptakan kultur yang toleran dan menghargai hak warga negara untuk memilih dan menjalankan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Apa yang menjadi penyulut intoleransi terhadap minoritas harus benar-benar dibumihanguskan agar kita merasakan bagaimana kehidupan yang menghargai hak warga negara dan saling menerima adanya pluralitas.
Referensi:
Ahmad Najib Burhani, 2020 ORASI PENGUKUHAN PROFESOR RISET AHMAD NAJIB BURHANI AGAMA, KULTUR (IN)TOLERANSI, DAN DILEMA MINORITAS DI INDONESIA.
Penulis:
Rohit Mahatir Manese
Direktur Eksekutif Madrasah Intelektual Ahmad Syafii Maarif