2021: Akan Terang atau Kelam?
Selamat datang di dunia 2021. Tahun di mana rasa cemas masih bergema meski vaksin Covid-19 telah diciptakan dan disebarluaskan; meski Trump berada di ujung kekuasaan; meski keluarga anda seolah-olah lupa bertanya kapan anda menikah.
Memasuki 2021, kita berharap melihat setitik cahaya di depan sana, namun yang terlihat adalah cahaya yang hampir redup. Tak bisa disangkal, tahun ini adalah babak baru dengan sejumlah prediksi masa depan yang agak gelap.
Sebelumnya, Covid-19 telah melumpuhkan ekonomi dunia. PDB global mengalami penurunan paling tajam sejak akhir 2020, jutaan orang menganggur dan cuti, dan pemerintah memompa triliunan dolar untuk mereka demi mencegah kerusakan yang lebih besar.
Seperti diketahui, ekonomi Cina pulih kembali setelah beberapa bulan mengalami krisis akibat pandemi. Tapi 2021 sangat tidak pasti, ia memanjang ke depan dengan kejutan-kejutan di luar kendali manusia. Banyak negara terkaya di dunia mungkin tidak sepenuhnya pulih hingga 2022. Dan lebih mengkhawatirkan lagi, itu diperpanjang dengan penanggulangan pandemi yang keliru.
Seperti yang ditulis Steve Schifferes dalam artikelnya di The Convertation, World economy in 2021: here’s who will win and who will lose, “Pemenang besar kemungkinan adalah negara-negara seperti China dan Korea Selatan yang berhasil menekan Covid-19 lebih awal. Perekonomian China diproyeksikan tumbuh pada 2021 sebesar 8%, dua kali lipat dari negara-negara Barat paling sukses bahkan sebelum pandemi.”
Tak bisa dipungkiri, China melihat peluang di balik gejolak ekonomi dunia di tengah pandemi. Ekonomi China sebenarnya diuntungkan dari lockdown di negara-negara Barat. Permintaan Barat untuk layanan seperti hiburan dan perjalanan mungkin telah menurun, tetapi permintaan barang-barang konsumen rumah tangga dan persediaan medis telah meningkat. “Ekspor China ke AS telah mencapai level rekor,” tulis Schifferes.”Meskipun ada tarif tinggi yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump.”
Namun kesulitan terlihat di tempat lain. Untuk negara-negara kaya seperti AS, Inggris dan negara-negara di daratan Eropa, gambarannya kurang cerah. Setelah pemulihan singkat di musim panas 2020, ekonomi mereka mengalami stagnasi. Ditambah lagi oleh gelombang kedua pandemi dan bayang-bayang gelap lockdown.
Di atas mungkin ancaman makronya. Tapi bagaimana dengan ancaman mikronya, dalam hal ini kondisi konkret di masyarakat?
Dampaknya bervariasi di seluruh masyarakat. Mereka yang bekerja penuh waktu dari rumah dan bergaji tinggi, mungkin dapat memliki tabungan yang cukup besar karena gaji yang dibelanjakan lebih sedikit. Ini adalah fenomena ekonomi di bawah rezim pandemi. Mereka yang punya pendapatan tinggi biasanya memiliki pengeluaran yang tinggi. Tapi karena pandemi, belanja mereka menurun karena beberapa sektor seperti perhotelan dan tempat wisata yang sering mereka tuju ditutup atau dibatasi.
Sebaliknya, banyak orang yang kehilangan pekerjaan atau bisnis atau cuti, akan berjuang untuk mendapatkan pekerjaan baru atau kembali ke tingkat pendapatan mereka sebelumnya, terutama karena sektor berupah rendah seperti ritel dan perhotelan tidak mungkin pulih sepenuhnya setelah pandemi. Kelompok ini mencakup banyak orang yang lebih muda.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sejak 2020, penanganan dampak pandemi Covid-19 menghasilkan beberpa program. Pemerintah sudah menyiapkan anggaran program pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp 695,2 triliun. Hingga 14 Desember 2020, realisasi penyerapan anggaran PEN ini baru mencapai Rp 481,6 triliun atau 69,3 persen berdasarkan pagu anggaran PEN.
Anggaran ini kemudian diharapkan oleh pemerintah dapat mendongkrak daya beli masyarakat, yang pada gilirannya meningkatkan peluang usaha dan bisnis baru demi memenuhi permintaan yang ada.
Di satu sisi, Dana Moneter Internasional (IMF) melakukan revisi ke bawah untuk proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2021. Pada Oktober lalu, IMF memperkirakan ekonomi Indonesia bakal tumbuh di kisaran 6,1 persen. Namun, pada awal tahun ini, IMF memperkirakan laju perekonomian Indonesia akan tumbuh di kisaran 4,8 persen.
Proyeksi IMF tersebut sejatinya lebih rendah dari target pemerintah yang berada di kisaran 5 persen. Proyeksi ini pada dasarnya mengikuti penanganan pemerintah atas laju penyebaran virus di masyarakat. Sebab, meski proses distribusi vaksin tahap awal memberikan dampak positif, tetapi bila ditunda, dapat menyebabkan krisis berlarut hingga berisiko memperlambat pemulihan ekonomi. Dengan demikian, tak ada yang lebih tabah dan menyiksa ketika itu terjadi.
Kesehatan dan Ekonomi Saling Terkait
Untuk meningkatkan laba dan produktivitas, tentu diperlukan kesehatan sebagai syarat utama. Itu adalah pilar dasar dari semua bangunan institusi sosial. Lihatlah bagaimana Corona menerobos dunia kita yang sudah terhubung satu sama lain, belum lagi di tahun ini, ketidakpastian ekonomi dan politik semakin merajalela.
Seperti yang dicatat oleh World Economic Forum, total biaya pandemi ekonomi global tidak sepenuhnya jelas, tetapi perkiraan awal tahun ini memperkirakan biayanya sebesar 8% dari PDB riil. Apa yang kurang diketahui adalah bahwa kesehatan penduduk yang buruk merugikan ekonomi dua kali lipat, karena kematian dini dan kehilangan tahun-tahun produktif. Dalam dunia pasca-Covid-19, kesehatan perlu direposisi sebagai investasi, bukan hanya biaya. Sebab, ini dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi di tahun-tahun mendatang.
Apa yang dibutuhkan untuk berhadapan dengan 2021 dan tahun-tahun mendatang?
Masih sama. Fakta dunia global memungkinkan kerja sama global. Zizek memberi analogi yang baik tentang fakta ini yang jika diparafrasekan, “Kita sedang berada di atas perahu yang sama. Jika perahunya bocor, kita akan tenggelam bersama”.
Seperti yang telah kita saksikan dan alami secara langsung, virus tak melihat perbatasan. Masalah global seperti pandemi membutuhkan solusi global, dan merupakan tanggung jawab setiap negara untuk memprioritaskan kesehatan masyarakat untuk kepentingan umat manusia.
Bahkan di tataran lokal, kelambanan penanganan dapat memengaruhi kesehatan global. Oleh karena itu, standar global untuk sistem kesehatan adalah keniscayaan untuk proses peninjauan dan penelitian. Ini penting demi mencegah hal-hal yang berpotensi disalahgunakan di masa mendatang.
Belum lagi jika melihat krisis berlapis yang diprediksi semakin meningkat di negara-negara miskim karena gejolak pandemi. Hal ini sebagaimana pantauan The 2021 Emergency Watchlist berdasarkan rilis The International Rescue Committee (IRC), bahwa dunia sedang menghadapi keadaan darurat kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya — serta krisis politik karena kelambanan para pemimpin dunia.
Pada 26 Desember lalu (IRC) telah merilis daftar kondisi darurat 2021, yakni 10 daftar negara krisis kemanusiaan yang diperkirakan akan memburuk selama 2021. Ancaman itu berupa peningkatan konflik, perubahan iklim, dan COVID-19 yang mendorong krisis di hampir semua negara. Negara-negara itu adalah Mozambik, Venezuela, Nigeria, Sudan Selatan, Burkina Faso, Ethiopia, Republik Demokratik Kongo, Suriah, Afghanistan, dan Yaman.
Seperti kata presiden dan CEO IRC, David Miliband, bahwa 2020 memang adalah tahun paling bergolak dalam sejarah, tetapi 2021 menjadi tempat di mana semua itu dikenang: mengenang bagaimana kita membantu atau berpaling dari mereka yang paling menderita.
Dengan demikian, hasil pantauan The 2021 Emergency Watchlist harus berfungsi sebagai seruan untuk para pembuat kebijakan, pemimpin pemerintah, dan warga yang peduli di seluruh dunia tentang biaya pengabaian krisis kemanusiaan akibat Covid-19.