Resensi Buku Money: Hikayat Uang dan Lahirnya Kaum Rebahan
Judul: Money, Hikayat Uang dan Lahirnya Kaum Rebahan
Penulis: Yuval Noah Harari
Tahun Terbit: 2018
Terbit Ulang: Global Indo Kreatif, 2020
Penerjemah: Haz Algebra
Ketebalan: 166 hlm. 13 x 19 cm
ISBN: 978-602-53696-8-1
Bagaimana uang diciptakan? Mengapa sekarang uang memiliki arti yang begitu penting dalam kehidupan kita? Apakah uang membuat kita lebih bahagia atau tidak bahagia? Dan apa yang akan terjadi pada uang di masa depan? Dengan pemaparan yang ciamik nan epik, Yuval Noah Harari membawa pembaca dalam perjalanan sejarah dari koin pertama hingga ekonomi abad ke-21 dan menunjukkan kepada kita bahwa kita semua, suka atau tidak, sedang berada di ambang sebuah revolusi.
Money: Vintage Minis (judul asli) yang kemudian diterjemahkan Money: Hikayat Uang dan Lahirnya Kaum Rebahan merupakan buku mini yang diekstrak dari dua buku fenomenal Harari: Sapiens dan Homodeus. Kedua buku ini tidak hanya membuat kaum intelektual di dunia kampus terpukau pada narasi-narasi liar Harari. Tokoh-tokoh besar seperti Bill Gates, Mark Zuckerberg, dan Barack Obama juga merekomendasikan kedua buku ini untuk digemari oleh para penikmat literatur sains.
Secara garis besar buku ini menyajikan tiga bagian. Pertama, tentang hikayat uang yang tidak hanya menjadi alat transaksi, tapi juga menjadi bagian paling melekat dan urgen dalam kehidupan manusia. Bagian kedua, Harari membedah bagaimana uang diciptakan dari suatu ketiadaan dalam bentuk kredit dan saham hingga kemudian menjadi cikal bakal munculnya kapitalisme, sampai pengaruhnya terhadap sendi-sendi kehidupan manusia. Bagian ketiga, Harari meramal masa depan umat manusia yang tabu akan ancaman teknologi algoritma dan Big data serta kecanggihan Artificial Intellegence atau kecerdasan buatan.
Hikayat Uang
Dalam sejarahnya, sistem tukar menukar barang atau yang kita kenal barter adalah sarana untuk melakukan transaksi sejak 6000 tahun jauh sebelum masehi. Sebuah metode klasik dengan cara menukarkan barang yang kita miliki dengan barang yang dimiliki orang lain menjadi alternatif unggulan dalam melakukan transaksi pada zaman itu. Namun, seiring berjalannya sejarah, barter mengalami keterbatasan. Bagaimana tidak, jauh sebelum munculnya uang, tukang roti dan tukang sendal hanya bisa melakukan tukar menukar barang apabila sama-sama saling membutuhkan: tukang roti membutuhkan sendal dan tukang sendal juga membutuhkan roti. Apabila keduanya tidak saling membutuhkan, maka barter tidak akan sampai pada titik kesepakatan. Tidak hanya itu, barter juga tidak menjadi alat tukar yang efektif disebabkan nilai harga dari suatu barang yang sangat fluktuatif. Misalnya, harus butuh berapa roti untuk ditukarkan dengan sepasang sendal? Dan apakah jumlah roti yang ditukarkan benar-benar harga yang pas untuk sepasang sendal?
Tentu hal di atas menjadi perkara panjang pada manusia masa itu. Perkara-perkara seperti nilai dari suatu barang serta ketidakpastian harga membuat barter kerap terbengkalai. Barter kemudian ditinggalkan. Orang-orang mencari alternatif lain untuk dijadikan sarana transaksi pembayaran. Logam mulia, kulit kerbau, kerang, rokok, bahkan biji-bijian pernah digunakan sebagai alat untuk transaksi. Aneh dan konyol memang, tapi begitulah awal mula uang berkembang sebagai bagian dari sejarah peradaban manusia.
Seiring berjalannya sejarah, orang-orang berkali-kali menciptakan alat transaksi dengan beragam jenis di banyak tempat. Koin dan uang kertas kemudian diciptakan, dan itulah yang hari ini kita kenal dan yakini sebagai uang. Akan tetapi, yang diciptakan sejatinya bukan uang sebagai materi untuk sarana transaksi, tapi konsep tentang realitas uang itu sendiri.
Selama ini mungkin kita menganggap uang adalah materi. Namun, boleh percaya boleh tidak, uang yang selama ini kita kejar, kita cari, kita puja, dan kita agung-agungkan, sejatinya adalah fiksi dan ilusi. Kita boleh saja banting tulang demi mendapatkan uang; bahwa benar segala masalah dapat terselesaikan dengan uang. Tetapi setuju atau tidak, uang adalah fiksi yang termaterialkan melalui kertas berwarna yang diberi angka-angka. Uang hanyalah sekadar imajinasi tanpa nilai intrinsik sama sekali. Dan ketika konsep itu diimani oleh banyak orang, maka itulah yang disebut dengan realitas intersubjektif–imajinasi yang kita yakini bersama-sama. Sehingganya, uang hanya memiliki nilai di dalam imajinasi kita. Tidak ada nilai intrinsik yang melekat pada struktur materi kertas baik warna, maupun bentuknya.
Dengan kata lain, uang bukanlah realitas material, melainkan sebuah konstruksi psikologis. Uang bekerja dengan mengubah materi menjadi imajinasi atau sebatas pikiran. Uang hanyalah kertas berwarna yang diberi angka-angka, dia tidak memiliki nilai dan guna sama sekali. Akan tetapi, karena kita semua mempercayainya sebagai sistem transaksi pembayaran maka di situlah letak kegunaannya.
Dengan segala kecerdasan homo sapiens, imajinasi kolektif ini menjadi konsep canggih yang sangat membantu kehidupan manusia. Dan hebatnya, realitas intersubjektif ini hanya dimiliki oleh spesies manusia, sedangkan spesies lain hanya memiliki realitas objektif atau realitas materi, tidak dengan realitas intersubjektif atau kemampuan imajinasi secara kolektif. Sebagai contoh: Monyet yang memiliki pisang tidak akan pernah mau menukarkan pisangnya dengan uang sebanyak apa pun. Sebab, monyet hanya melihat uang sebagai realitas materi, apa yang dia lihat itulah yang ada di benaknya. Dia melihat uang hanya sekadar kertas berwarna yang tidak memiliki nilai apa-apa, apalagi untuk di makan. Monyet yang stay cool–yang pisangnya akan dibayar oleh manusia–mungkin akan berkata, “ah, apa-apaan ini, pisang saya kok ditukar dengan kertas tak berguna? Dasar manusia!”.
Monyet tidak akan pernah bersepakat dengan uang, alih-alih meyakininya sebagai sistem transaksi pembayaran. Hal demikian terjadi karena monyet tidak memiliki imajinasi tentang nilai yang terkandung di dalam uang kertas, monyet tidak memiliki imajinasi kolektif, monyet tidak memiliki realitas intersubjektif. Semua perangkat imajinasi itu hanya ada dan dimiliki oleh spesies manusia.
Dengan demikian, konsep semacam itu bisa berhasil ketika diterapkan dalam kehidupan manusia, karena manusia punya imajinasi dan konsep yang sama terhadap uang. Meski begitu, kita menyadari, bahwa uang hanyalah kertas berwarna yang diberi angka-angka, tidak memiliki nilai dan guna sama sekali. Semua karena kita mempercayainya sebagai sistem pembayaran, maka di situlah letak nilai dan gunanya. Uang adalah sistem kepercayaan yang paling universal dan paling efisien yang pernah diciptakan. Apalagi, dengan didukung oleh adanya stempel otoritas raja atau pemerintah–yang menjadi legitimasi dari uang, serta dengan adanya proses jalinan relasi politik, sosial, budaya, ekonomi dan peradaban yang rumit dan panjang di seluruh belahan dunia–sistem kepercayaan terhadap uang tercipta dengan sendirinya.
Kutipan Adam Smith pada cover buku ini yang mengatakan “Semua uang adalah soal kepercayaan” adalah manifestasi dari keberadaan uang itu sendiri. Kenapa kita percaya pada kertas berwarna itu? Karena saya percaya, anda percaya, keluarga dan tetangga kita percaya, teman dan musuh kita percaya, pendeta dan imam percaya, raja atau pemerintah percaya. Kita semua percaya. Dan ketika sistem kepercayaan itu dilegalisasi dengan stempel otoritas pemerintah, kita semua wajib percaya tanpa alasan apa pun. Bahkan siapa yang melanggar otoritas raja itu akan mendapatkan hukuman dari negara karena dianggap mencidrai reputasi raja, melanggar kedaulatan raja, dan melawan kekuasaan raja. Itulah sebabnya pemalsuan uang dianggap kejahatan yang lebih kejam ketimbang kejahatan penipuan lainnya.
Pada halaman 24 Harari berkata, “Selama ribuan tahun, para filsuf, pemikir, dan nabi mencela uang dan menyebutnya sebagai sumber kejahatan. Boleh setuju, boleh tidak, akan tetapi, uang juga adalah puncak toleransi manusia. Uang lebih bersifat terbuka ketimbang bahasa, hukum negara, norma budaya, keyakinan agama, dan kebiasaan sosial. Uang adalah satu-satunya sistem kepercayaan manusia yang bisa menjembatani hampir setiap jurang kultural, pun tidak mendiskriminasi berdasarkan agama, gender, ras, usia, bahkan orientasi seksual”.
Harari bermaksud bahwa kita semua boleh saja berbeda sudut pandang, kita boleh saja berbeda dalam hal bahasa, idiologi, agama, suku, budaya, bahkan Tuhan, tapi di hadapan uang kita semua tertunduk pada satu keyakinan yang sama, keyakinan tunggal atas nama uang. Atas keyakinan yang sama itulah, uang mampu mendobrak batas-batas identitas dan kultural–yang sejatinya adalah fiksi-fiksi lain yang terbangun sejak berabad-abad silam.
Namun demikian, dibandingkan dengan fiksi-fiksi yang pernah diciptakan manusia (seperti negara, hak asasi manusia dan identitas lainnya), uang adalah fiksi paling toleran yang mampu menciptakan jalinan kerja sama antar manusia dibandingkan suku, bangsa dan agama. Jika suku, bangsa, agama dan identitas lainnya mampu membuat manusia terpecah-belah dan terkotak-kotakan, maka uang mampu merajut keterpecahan itu menjadi satu jalinan kerja sama yang romantis. Kita semua seperti saling mengenal satu sama lain di hadapan uang; kita semua tampak akrab di hadapan uang. Di hadapan uang kita semua tampak terbebas dari embel-embel identitas yang senantiasa menjadi dikotomi, jurang pembatas antara ‘aku’ dan ‘kamu’, ‘kita’ dan ‘mereka’. Kita semua melebur dalam kesamaan di hadapan uang, tanpa sekat, tanpa syarat.
Namun demikian, kita perlu mengingat bahwa uang juga punya dua prinsip mendasar: uang sebagai perantara dan uang sebagai alkemis. Uang boleh saja menjadi perantara jalinan kerjasama antarmanusia. Tetapi di sisi lain, uang juga sebagai alkemis. Ketika kepercayaan manusia bergantung pada uang, hal-hal yang tidak dapat ternilaikan seperti kehormatan, kesetiaan, moralitas dan cinta, semuanya usang di hadapan uang. Uang mampu menembus batas-batas keistimewaan itu. Uang mampu membuat orang tua tega menjual anaknya demi kehidupan anaknya yang lain; uang mampu membuat wanita menjual kehormatannya demi menghidupi keluarganya; uang mampu membuat nasionalis menjual tanah adatnya demi kepentingan pribadi; uang mampu membuat pemeluk agama yang taat menjual ketaatannya demi kebahagiaan sementara; politisi mampu meraih kemanangan dengan uang; semua rela dikorbankan demi uang dan semua bisa didapatkan dengan uang. Uang mampu meruntuhkan bangunan kokoh kemanusiaan, agama, dan negara serta menjadikan pasar dan ekonomi modern selayaknya tarian sirkus yang mengerikan.
Kapitalisme
Uang sudah menjadi hal yang begitu esensial di dalam sejarah perkembangan ekonomi modern dan peradaban manusia. Satu kata tunggal yang menjadi kesepahaman bersama dalam sejarah ekonomi modern adalah “pertumbuhan”. Bahwasanya, ekonomi modern terus bertumbuh seiring berjalannya sejarah. Sekitar 500 tahun yang lalu produksi global barang dan jasa sekitar $ 250 miliar, kini angkanya melonjak $ 60 triliun. Lebih gila lagi, 500 tahun lalu, produksi per kapita tahunan rata-rata $ 550, sementara saat ini, setiap laki-laki, perempuan, dan anak-anak, menghasilkan rata-rata $ 8.800 per tahun. Apa yang menyebabkan pertumbuhan menakjubkan ini?
Ekonomi dapat bertumbuh secara menakjubkan karena adanya kepercayaan pada masa depan. Manusia modern percaya bahwa ada pertumbuhan di masa depan, para bangkir dan segenap ekonomi mempercayai bahwa hari esok akan lebih baik ketimbang hari ini. Lalu apa yang mereka lakukan? Memberikan pinjaman kepada rakyat, pengusaha, negara, dan segenap pelaku ekonomi untuk mengelola dan mengakumulasikan modal yang dipinjamkan, dan kemudian menaruh kepercayaan kepada mereka, bahwa di masa depan para peminjam akan sukses mengelola modal dan akan membayar utang beserta bunganya. Dari situlah perputaran pertumbuhan ekonomi berlangsung. Sistem ini kini kita kenal sebagai “kredit”.
Munculnya revolusi industri dan saintifik memberikan juga harapan besar pada pertumbuhan ekonomi modern. Ide kemajuan kemudian digaungkan di berbagai tempat. Bahwasanya, siapa yang percaya pada ide kemajuan maka percaya bahwa investasi terhadap sumber daya, riset, penemuan teknologi, dan pengembangan ilmu pengetahuan, adalah keniscayaan menuju kekayaan manusia. Segenap pelaku ekonomi modern menaruh harapan besar pada ide kemajuan yang dijual pada masa itu. Dengan harapan, seluruh jalinan perekonomian akan bertumbuh secara global. Ide kemajuan sejatinya meyakinkan orang-orang untuk menempatkan lebih banyak kepercayaan pada masa depan. Kepercayaan inilah yang membuat sistem kredit terus tercipta di banyak tempat dan terus berlangsung hingga hari ini.
Kapitalisme dibangun atas keyakinan bahwa laba dari hasil produksi harus diinvestasikan kembali untuk akumulasi produksi di masa depan. Sebagaimana tesis Adam Smith dalam The Wealth of Nations, “seorang tuan tanah, penenun atau tukang sepatu yang memiliki laba lebih dari kebutuhan keluarganya harus diinvestasikan kembali demi akumulasi modal yang lebih besar dan mempekerjakan tenaga kerja yang lebih banyak”. Yang terjadi kemudian adalah bahwa peningkatan laba pribadi merupakan basis untuk peningkatan kemakmuran kolektif. Apa yang dikatakan Adam Smith sesungguhnya adalah keserakahan itu penting, ketika kita memperkaya diri sendiri maka kita akan membawa kemakmuran dan manfaat kepada banyak orang. Semakin serakah kita, semakin banyak orang yang mendapatkan manfaat dari kita. Inilah yang disebut Adam Smith sebagai egoisme yang altruistik.
Kini, kapitalisme terus bertumbuh dan menjalar ke berbagai wilayah di dunia hingga munculnya imperialisme Eropa. Imperialisme Eropa inilah yang pertama kali menciptakan sistem kredit kapitalis. Penjajahan dan ekspansi di berbagai wilayah di dunia terjadi atas nama kapital. Dalam bab ini pembaca disuguhkan dengan kisah-kisah cikal bakal kaum kapitalis Eropa memegang penuh kekuasaan ekonomi dunia. Bagaimana ekspedisi Christopher Columbus yang berjalan karena adanya sistem kredit yang diberikan oleh ratu Isabella; bagaimana Belanda dan VOC-nya memperkosa kekayaan alam Indonesia; bagaimana kasus Mississippi Company; Opium War China dan Inggris; hingga gambaran kaum kapitialis Eropa yang begitu beringas memperkosa kekayaan alam negara-negara Asia dan Afrika. Semua diceritakan begitu epik oleh Harari. Apa yang menjadi dalil Adam Smith dalam bukunya, alih-alih terciptanya kemakmuran secara kolektif, keserakahan justru memunculkan kesengsaraan yang menimpa hampir seluruh manusia di bumi. Inilah yang dikritisi oleh Karl Marx: “Uang adalah alasan kita berkelahi.”
Lahirnya Kaum Rebahan
Pada akhirnya sampailah kita di era revolusi industri 4.0. Era di mana kecerdasan (intelligence) sedang dipisahkan dengan kesadaran (consciousness). Sejauh ini mungkin kita tahu, kecerdasan selalu beriringan dengan kesadaran. Bagaimana mobil dikendalikan oleh pengemudi yang sadar, bagaimana catur dimainkan oleh pemain dalam keadaan sadar, dan bagaimana dokter mendiagnosis penyakit dalam keadaan sadar. Semua tugas-tugas yang membutuhkan kecerdasan hanya mampu dilakukan oleh spesies yang memiliki kesadaran. Namun hari ini, manusia sedang mengembangkan kecerdasan nonsadar yang mampu menyelesaikan tugas-tugas itu lebih baik dan lebih unggul dari manusia.
Entah, sebuah kemajuan peradaban atau justru tragedi bagi manusia, yang jelas sistem transportasi hanya butuh kemampuan membawa penumpang dari titik A ke titik B dengan cepat, aman dan murah, dan tanpa perlu adanya kesadaran. Sistem militer hanya membutuhkan pertahanan keamanan dan kemampuan tembakan yang tepat tanpa memerlukan kesadaran. Penyakit akan dapat didiagnosis dan diketahui penawarnya dengan tepat oleh mesin-mesin cerdas. Informasi akan dapat kita temukan dengan sangat telanjang lewat mesin-mesin pencarian yang cerdas. Semua tugas-tugas yang bisa dilakukan dengan kecerdasan, dapat dilakukan dengan mudah oleh mesin-mesin tanpa kesadaran.
Suka atau tidak, kita sedang berada di ambang sebuah revolusi penting. Mobil swa-kemudi sedang dikembangkan perusahaan sekelas Google dan Tesla, mesin kebenaran melalui pembacaan pola-pola emosi wajah sedang disempurnakan, bahkan sudah pernah digunakan untuk membaca wajah presiden Indonesia Joko Widodo saat berpidato. Watson yang terkenal dari IBM sedang dipersiapkan untuk mendiagnosis penyakit. Sejak 2011 robot sudah mulai menggantikan pekerjaan apoteker, pelayan restoran, asisten rumah tangga, dan banyak pekerjaan lainnya. Guru sedang dalam revolusi digitalisasi, Arificial Intellegence sedang marambah ke bidang pertanian, mulai dari deteksi hama hingga rekomendasi tanaman yang tepat dan obat-obatan yang pas. Bahkan, dibidang seni pun telah digerogoti oleh Artificial Intellegence. Sebagian dari kita mungkin belum mengenal EMI (Experiments in Musical Intellegence) sebuah cipataan dari David Cope, seorang profesor musikologi di University of California. Dalam sebuah festival di Santa Cruz para penggemar yang hadir memuji dan sangat antusias menjelaskan betapa musik itu telah menyentuh relung jiwa mereka yang paling dalam. Mereka tidak tahu bahwa musik itu digubah oleh Mesin Cerdas–bukan manusia. EMI terus diperbarui, dan belajar meniru Beethoven, Chopin, Rachminov dan Stravinsky hingga sekarang.
Telah disepakati, hampir segala lini pekerjaan manusia sudah mulai diambil alih oleh kecerdasan buatan. Sebagian pengamat percaya bahwa dalam satu atau dua dekade saja, miliaran orang akan menjadi mubazir secara ekonomis. Segenap ekonom memprediksi bahwa cepat atau lambat, manusia yang kualitasnya tidak ditingkatkan akan benar-benar menjadi manusia tidak berguna, inilah yang diejawantahkan oleh penerjemah dengan istilah ‘kaum rebahan’. Lantas, apa yang akan kita lakukan, berusaha keras menjadi pelaku sejarah, atau justru join bersama kaum rebahan?
Kita tidak pernah tahu bagaimana pasar kerja akan tampak pada 2030 atau 2040 mendatang, kita hanya bisa memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang tak berkesudahan. Sebagian besar dari apa yang kita dan anak-anak kita pelajari di sekolah saat ini kemungkinan akan menjadi tidak relevan lagi di masa yang akan datang. Ancaman demi ancaman yang tak diterka hari ini, punya kemungkinan untuk terjadi di masa yang akan datang. Percaya atau tidak pengikisan tenaga kerja manusia sedang dan akan terus berlangsung. Jika kita terus terlelap dan menjadi kaum rebahan maka harapan, mimpi dan apa yang kita cita-citakan untuk kehidupan mendatang, akan benar-benar usang. Satu-satunya cara agar manusia tetap berada dalam permainan peradaban adalah dengan tetap belajar sepanjang hayat, dan meng-upgrade diri secara berulang kali, tanpa nanti, tanpa henti.
Penulis: Dody Mamonto