Ghosting dalam Perspektif Levinas
Etika dalam perspektif Levinas mengacu pada pengalaman paling sederhana tapi dampaknya begitu luas: perjumpaan antara aku dan orang lain (liyan atau l’autrei).
Kita cenderung tak peduli pada meja atau kursi dalam ruangan. Namun begitu kita menyadari keberadaan orang lain dalam ruangan, sikap dan tingkah laku kita pun berubah. Kita barangkali memperbaiki cara duduk, mengucap selamat datang, mengukir senyum sebagai tanggapan atas kehadiran orang lain.
Kehadiran orang lain seolah-olah tak dapat diabaikan sebagai momen etis. Kehadiran orang lain secara pasif mendesak aku untuk menanggapi kehadirannya–bahkan tidak mengacuhkannya juga merupakan tanggapan.
Dengan menyematkan gagasan abstrak, kita punya pengetahuan tentang orang itu, dan mengetahui berarti menguasai. Dalam pengetahuan itu, diam-diam kebencian bisa menyelinap, dan pengetahuan bisa merasionalisasi segala sesuatu. Semisal perang dan kekerasan.
Yang menjadi masalah, kita atau “Aku” dalam perjumpaan tersebut, cenderung ingin mengendalikan atau mendominasi atau mereduksi orang lain. Aku menyematkan gagasan abstrak kepada orang lain berupa identitas atau nama. Orang yang hadir itu mungkin akan aku sematkan identitas “Orang Mongondow”, yang mereduksi individualitasnya ke ratusan ribu orang beretnis Mongondow. Ia lantas tak hadir bersama keberlainannya di hadapan kita.
Dengan menyematkan gagasan abstrak, kita punya pengetahuan tentang orang itu, dan mengetahui berarti menguasai. Dalam pengetahuan itu, diam-diam kebencian bisa menyelinap, dan pengetahuan bisa merasionalisasi segala sesuatu. Semisal perang dan kekerasan.
Yang hendak Jenderal Sudirman bunuh dalam medan perang bukan manusia melainkan gagasan abstrak bernama “penjajah” yang melekat pada manusia. Yang hendak dibantai Hitler dalam holocaust bukan manusia tapi gagasan abstrak bernama “Yahudi” yang melekat pada manusia. Salah seorang penjagal Nazi yang tugas sehari-harinya mengarahkan orang-orang ke kamar gas, ternyata bisa menangis ketika mendengar musik Schumann. Secara paradoks, penjagal itu bisa terharu oleh musik klasik tapi tak berbelas kasih kepada orang-orang yang mati itu karena terhalangi oleh gagasan abstrak “Yahudi”.
Untuk berjumpa dengan wajah orang lain, sang Aku mesti mengisolasi (epoché) gagasan abstrak yang hendak dilekatkan kepada orang lain. Perjumpaan langsung dengan wajah orang lain menginterupsi kita untuk bertanggung jawab. Wajah orang lain seolah-olah berkata: “jangan bunuh aku.”
Gagasan abstrak menghalangi sang Aku untuk berjumpa dengan “wajah” orang lain. Wajah di sini bukan sekadar daging dan tulang belulang yang terbungkus kulit; wajah tak bisa dicangkup, dilihat, diraba, ditampung, dipahami–wajah selalu lebih dari apa yang kita pikirkan. Wajah hadir sebagai penolakan untuk ditundukkan. Tetapi penolakan itu terjadi bukan karena orang lain lebih hebat dari Aku. Sebaliknya, penolakan wajah terjadi dalam ketidakberdayaannya; perlawanan dari apa yang tak punya perlawanan.
Untuk berjumpa dengan wajah orang lain, sang Aku mesti mengisolasi (epoché) gagasan abstrak yang hendak dilekatkan kepada orang lain. Perjumpaan langsung dengan wajah orang lain menginterupsi kita untuk bertanggung jawab. Wajah orang lain seolah-olah berkata: “jangan bunuh aku.” Imbauan etis itu muncul lebih dulu dalam benak kita sebelum kita menimbang kategori-kategori moral dan rasional. Lewat wajah kita menyadari bahwa orang lain juga merupakan manusia yang punya harapan dan kecemasan, kegembiraan dan duka, yang dicintai dan mencintai.
Dalam perjumpaan langsung itu, kehadiran orang lain mengusik sang Aku, seakan-akan wajah orang lain tak boleh diabaikan. Kita memang tak nyaman berhadapan dengan orang lain. Dalam perjumpaan tatap muka, sang Aku seperti tak leluasa, seperti terdesak untuk menjawab sesuatu. Pada titik ini, berlangsunglah subtitusi atau pertukaran posisi. Sang Aku yang pada mulanya subjek lantas menjadi objek dari orang lain, dan orang lain yang mulanya objek kemudian menjadi subjek. Sang Aku menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Satu-satunya prioritas adalah orang lain sebab sang Aku telah terdesentralisasi.
Wajah akhirnya tampil sebagai nir-kekerasan. Alih-alih menyerang kebebasan Aku, wajah justru mengundang Aku untuk bertanggung jawab kepadanya lewat imbauan “jangan membunuh” yang tersirat lewat wajah. Ketidakberdayaan yang agresif itu pun mengikat sang Aku untuk bertanggung jawab. Sang aku terikat kepada orang lain, bahkan sebelum Aku menyadari bahwa Aku disandera orang lain–sekali lagi, “aku yang merasa” selalu mendahului “aku yang bernalar”.
Berhadapan dengan wajah orang lain memang tidak nyaman karena wajah itu selalu mengisap kita untuk bertanggung jawab kepadanya. Itulah kenapa koruptor menghindari konferensi pers, atau kita menghindari memberi kabar duka secara langsung, atau seseorang menghindari gebetannya dengan cara ghosting.
Ghosting
Ghosting adalah istilah ketika seseorang tiba-tiba menghilang ketika sedang PDKT tanpa meninggalkan penjelasan apa pun. Namun lebih dalam daripada itu, ghosting sebenarnya upaya melarikan diri dari kerentanan sang Aku yang tak sanggup lagi memikul tanggung jawab dari orang lain. Ghosting merupakan ketidaksanggupan sang Aku untuk mengucapkan adieu (selamat tinggal) kepada orang lain yang sebelumnya pernah sang Aku prioritaskan kepentingan hidupnya lebih dari kepentingan hidup Aku sendiri.
Keterusikan inilah yang membuat sang Aku menghindari orang lain tersebut. Sang Aku mau jauh-jauh dari wajah orang lain yang hendak mengimbau “jangan ghosting aku!” agar sang Aku tidak dihinggapi sengatan rasa bersalah dalam tanggung jawabnya kepada wajah orang lain. Ghosting diilustrasikan dengan baik dalam kalimat Levinas ini: “Kebebasanku yang sewenang-wenang, mengeja aibnya sendiri dalam mata yang memandangku.”
Penulis: Tyo Mokoagow