Bolaang Mongondow Raya: Janji Politik dan Ironi Pendidikan di Tanah Harapan
Oleh: Rinaldi Potabuga
Di tanah yang subur penuh harapan, Bolaang Mongondow Raya (BMR), salah satu kamar terpenting di bangunan yang bernama Sulawesi Utara, sayangnya justru terasa seperti ruang yang terpinggirkan.
Wilayah yang kaya akan sumber daya alam ini, dari perut bumi hingga lautnya yang tak pernah kehabisan janji, terbelenggu oleh realitas pahit: kualitas pendidikan.
Pendidikan, yang seharusnya menjadi alat untuk mengangkat derajat dan memaksimalkan potensi masyarakat BMR, justru menjadi barang langka yang—tampak kurang—bahkan tidak diprioritaskan oleh pemangku kepentingan.
Potensi luar biasa di BMR terhalang oleh satu problem mendasar yang terus menghantui, yakni, ketiadaan perguruan tinggi negeri. Seperti denyut jantung yang kian melemah, luka terbuka ini terus dibiarkan menganga, menandai ketidakpedulian para pemimpin yang lebih terfokus pada janji-janji manis ketimbang realitas yang ada.
Dalam konteks pembangunan, ketiadaan institusi pendidikan tinggi negeri di BMR menjadi sebuah ironi, mengingat kekayaan alam yang melimpah, seolah menjadikan potensi tersebut sebagai janji kosong yang tidak pernah terwujud.
Kegelisahan ini berangkat dari realitas yang memprihatinkan. Di tengah setiap pidato pembangunan, pendidikan di BMR lebih sering menjadi bayang-bayang, hanya disebut di sela-sela janji-janji yang dibungkus dengan bumbu politik. Para politisi seolah hanya—terkesan memanfaatkan isu pendidikan sebagai alat untuk meraih suara—memikat hati rakyat, tanpa niat tulus untuk memperbaiki kondisi yang ada.
Keputusan untuk mengabaikan pendidikan merupakan wujud kebijakan jangka pendek yang lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik—jalan, jembatan, gedung-gedung megah—daripada pembangunan manusia yang membutuhkan visi dan kesabaran.
Padahal, di bawah permukaan segala proyek besar tersebut, terdapat kebutuhan mendesak untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) unggul yang akan memajukan BMR secara berkelanjutan. Dalam jangka panjang, pendidikan yang baik akan membentuk masyarakat yang kritis, inovatif, dan mandiri. Namun, jika perhatian terus teralihkan ke proyek infrastruktur yang glamor, harapan untuk membangun generasi masa depan yang berkualitas akan terus terkubur.
Di sinilah pertanyaan mendasar perlu kita lontarkan kepada para kandidat calon gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Utara. Apakah mereka benar-benar memiliki visi untuk membawa perubahan, atau sekadar melanjutkan tradisi retorika tanpa realisasi?.
Keresahan ini tentu menjadi semakin mendalam ketika kita mempertanyakan keberanian mereka untuk memperjuangkan sebuah universitas negeri di BMR, yang sangat dibutuhkan sebagai jantung intelektual—sekaligus harapan kawula muda di wilayah ini.
Secara geografis politik, BMR bukanlah wilayah yang terisolasi. Letaknya yang strategis seharusnya menjadi peluang besar untuk membangun pusat pendidikan tinggi yang dapat menarik potensi dari dua provinsi, Sulawesi Utara dan Gorontalo. Namun, kebijakan yang—terkesan meminggirkan wilayah ini membuatnya tampak terputus dari arus utama pembangunan. Masyarakat BMR seolah hanya menjadi penonton, terasing di tengah janji-janji yang tak kunjung dipenuhi.
Dari sudut pandang teori ekonomi politik, tampak kontras, ke wajah kebijakan di BMR memperlihatkan ketimpangan yang memprihatinkan. Kekayaan alam yang dimiliki BMR belum mampu menciptakan nilai tambah bagi rakyatnya, karena ketiadaan/kekurangan SDM yang bisa mengelola dan memaksimalkan potensi tersebut.
Tanpa universitas negeri yang memadai, banyak anak muda BMR terpaksa merantau jauh, mencari pendidikan yang layak di luar daerah, bahkan ke luar pulau. Dan sayangnya, tak sedikit dari mereka yang memilih untuk tidak kembali, meninggalkan BMR dengan kekosongan intelektual yang semakin mengkhawatirkan.
Inilah kegelisahan terbesar kita—menurut saya. Di balik setiap janji pembangunan yang dilontarkan para kandidat, pendidikan di BMR tampaknya selalu menjadi nomor dua, bahkan sering kali diabaikan sama sekali. Pertanyaan besar pun muncul: apakah para pemimpin ini hanya perpanjangan tangan elit pusat yang tidak memahami atau peduli pada nasib rakyat BMR? Di mana visi mereka untuk menciptakan sebuah universitas negeri yang bisa menjadi benteng intelektual bagi masa depan generasi muda di tanah ini?
Jika kita ingin membangun BMR menjadi wilayah yang mandiri dan maju, pendidikan harus berada di garis depan. Kita tidak bisa terus menerus terjebak dalam lingkaran setan politik pembangunan yang elitis, di mana keputusan-keputusan penting diambil tanpa melibatkan suara rakyat.
Setiap tahun, anggaran pendidikan seharusnya mendapatkan porsi yang memadai, namun kenyataannya tidak demikian. Anggaran lebih sering dialokasikan untuk proyek infrastruktur yang tidak berkelanjutan, sementara pendidikan tetap terabaikan.
Oleh karena itu, para calon gubernur dan wakil gubernur harus disadarkan akan tanggung jawab mereka. Mereka harus memiliki keberanian untuk mengubah arah kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan banyak orang—terutama aspek pendidikan di BMR. Apakah mereka memiliki keberanian untuk memprioritaskan pembangunan perguruan tinggi negeri di BMR, sebuah institusi yang bukan hanya akan mendidik, tetapi juga memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk berkontribusi dalam pembangunan daerah tercinta?
Kita berhak mempertanyakan komitmen mereka dalam merealisasikan visi yang lebih besar. Pendidikan tidak bisa dianggap sebagai proyek jangka pendek yang hanya mengejar hasil instan. Jika BMR ingin tumbuh dan bersaing di tingkat nasional, pendidikan harus menjadi pilar utama yang menopang segala aspek pembangunan. Setiap kandidat harus menunjukkan konkretisasi visi mereka dan membuktikan bahwa mereka berani mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki keadaan.
Di saat yang sama, masyaraka—terutama kaum muda dan mahasiswa juga harus terlibat aktif dalam mendesak perubahan. Keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan politik adalah langkah penting untuk memastikan bahwa pendidikan menjadi prioritas utama. Kesadaran akan hak dan tanggung jawab sebagai warga negara harus dijadikan kekuatan untuk menuntut kebijakan yang berpihak kepada pendidikan.
Dengan demikian, kita menunggu jawaban dari para kandidat gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Utara. Apakah mereka akan terus terjebak dalam politik yang mengejar keuntungan sesaat, ataukah mereka akan berani melakukan terobosan demi masa depan yang lebih cerah bagi Sulit dan khususnya BMR?
Semoga kegelisahan ini tidak hanya menjadi deru suara yang terabaikan, tetapi menjadi sebuah gerakan kolektif untuk menyuarakan hak setiap anak muda di BMR untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Perlu untuk kita suarakan harapan ini dengan keyakinan bahwa BMR, suatu hari nanti, akan mendapatkan apa yang pantas diterimanya—sebuah pendidikan yang berkualitas, sebuah universitas negeri yang mampu memfasilitasi potensi besar masyarakatnya, dan sebuah masa depan yang lebih cerah bagi generasi mendatang. Hanya dengan demikian, kita bisa berharap melihat BMR bangkit dari ketertinggalan dan melangkah menuju kemajuan yang sesungguhnya.
Sehingga, dalam bangunan yang bernama Sulawesi Utara, BMR tidak hanya menjadi ruang dapur saja.