Refleksi Sumpah Pemuda: Menyemai Semangat Perjuangan dalam Diri Pemuda BMR*

0 60

Oleh: Rinaldi Potabuga (Penggerak Literasi Jejak Nalar BMR)_

Pemuda sering disebut sebagai harapan bangsa, penentu arah masa depan. Namun, dalam hiruk-pikuk modernitas yang semakin penuh dengan kebisingan informasi, masihkah gelar itu layak disandang? Apakah pemuda Indonesia saat ini benar-benar menyadari peran dan tanggung jawabnya di tengah krisis multidimensional yang terus membayangi? Tidak cukup hanya bergantung pada retorika klise tentang “harapan bangsa” tanpa menelisik realitas yang ada.

Sumpah Pemuda yang lahir pada 1928 dari nyala semangat kolektif, telah lama menjadi inspirasi bagi generasi-generasi yang datang kemudian. Namun, di era digital yang didominasi kapitalisme global, apakah janji persatuan itu masih hidup di hati pemuda masa kini? Di tengah dunia yang semakin terpecah oleh arus globalisasi dan digitalisasi, banyak pemuda justru terjebak dalam identitas yang kabur dan tercerai-berai.

Pemuda hari ini dihadapkan pada dilema antara mengikuti arus atau tenggelam dalam kebingungan identitas. Generasi yang dulu menjadi penggerak perubahan kini banyak yang terseret dalam rutinitas banal, lebih sibuk mengejar popularitas di media sosial daripada memikirkan perubahan sosial yang nyata. Mereka yang seharusnya menjadi aktor perubahan justru kerap terperangkap dalam kenyamanan virtual dan budaya konsumerisme yang semakin dominan.

Fenomena ini semakin nyata jika kita melihat pemuda di Bolaang Mongondow Raya (BMR). Wilayah yang kaya akan sejarah perjuangan ini kini menghadapi ironi ketika banyak pemudanya memilih bersikap apatis. Pemuda BMR, yang seharusnya menjadi pendorong kemajuan daerah, tampak kehilangan semangat kolektif yang dulu memicu pergerakan pemuda Indonesia. Mereka lebih memilih mengikuti tren konsumerisme dan budaya populer, daripada menyuarakan kepedulian terhadap masalah sosial yang ada di sekitar mereka.

Krisis ini berakar pada masalah yang lebih mendasar, yakni krisis literasi. Ini bukan hanya masalah kurangnya minat baca, tetapi juga kegagalan untuk berpikir kritis dan reflektif. Literasi sejatinya bukan hanya tentang kemampuan membaca, tetapi juga tentang kemampuan memahami, menganalisis, dan merumuskan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi. Sayangnya, ruang-ruang diskusi yang dulu subur kini semakin langka, dan seminar-seminar intelektual semakin tergantikan oleh acara hiburan.

Akibat dari krisis literasi ini, daya kritis pemuda semakin tumpul. Mereka yang kurang terbiasa membaca dan berdiskusi mudah terperangkap dalam narasi populis yang dangkal. Mereka menjadi mangsa empuk bagi elite politik yang tidak peduli pada kesejahteraan rakyat, melainkan hanya sibuk mempertahankan kekuasaan. Pemuda yang kehilangan kesadaran kritis akan mudah dibentuk, dipengaruhi, dan akhirnya menjadi alat bagi kepentingan pragmatis yang sempit.

Sikap pragmatisme inilah yang kini banyak menggerogoti pemuda BMR. Mereka lebih tertarik mengejar keuntungan pribadi daripada memperjuangkan kepentingan kolektif. Di tengah krisis sosial dan politik yang melanda, mereka lebih memilih untuk diam dan mengikuti arus, alih-alih menjadi aktor perubahan yang sejati. Sikap ini berbahaya, karena tanpa pemuda yang kritis dan berani mengambil tindakan, masa depan daerah dan bangsa ini akan terus terpuruk.

Namun, situasi yang suram ini tidak berarti kita harus menyerah. Potensi perubahan masih ada, dan kuncinya terletak pada keberanian untuk berpikir dan bertindak di luar zona nyaman. Pemuda BMR harus mulai menggugah kembali semangat juang yang pernah ada. Literasi harus dijadikan fondasi utama dalam proses kebangkitan ini. Dengan literasi yang kuat, pemuda akan mampu melihat dunia secara lebih jernih dan memahami kompleksitas masalah yang dihadapi.

Di era digital, alat untuk membawa perubahan ada di tangan kita. Dengan akses informasi yang melimpah dan platform sosial yang tersedia, pemuda memiliki peluang besar untuk menghidupkan kembali gerakan intelektual dan sosial yang bermakna. Namun, alat-alat ini hanya akan bermanfaat jika digunakan dengan kesadaran kritis dan komitmen terhadap perjuangan kolektif. Pemuda BMR harus menyadari bahwa mereka tidak bisa terus-menerus hidup dalam keheningan apatis.

Kritik ini adalah panggilan untuk bangkit. Pemuda BMR masih memiliki potensi besar untuk menjadi motor perubahan, namun mereka harus mulai bergerak sekarang. Tidak ada ruang bagi sikap apatis di tengah krisis yang terus memburuk. Pemuda harus mengambil peran aktif, menolak kenyamanan pragmatisme, dan memperjuangkan masa depan yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih bermartabat.

Perubahan tidak akan datang dari luar; perubahan harus dimulai dari kesadaran diri. Literasi dan kesadaran kritis adalah jalan menuju kebangkitan ini. Pemuda BMR harus memimpin perubahan yang mereka dambakan, bukan sekadar menjadi penonton dalam drama besar yang menentukan nasib bangsa dan daerah mereka.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.