Review Getah Semesta, Kumpulan Puisi Karya Sigidad
Getah Semesta, judul buku puisi yang mungkin paling puitis dan filosofis yang pernah saya temui di rak toko buku. Tak sekadar dua kata yang bertemu membentuk frasa nomina, judul ini seperti ungkapan takjub seorang ilmuan astronomi yang tak lagi mampu berteori tentang inti dasar alam semesta.
Namun ungkapan ketakjuban itu tidak datang dari seorang ilmuan astronomi, tetapi dari seorang lelaki yang setiap hari bergumul dengan belantara kata, mengingat penulis adalah seorang jurnalis garis keras dalam pengertian ideologis.
Sinopsis dari buku ini menjelaskan judul itu, dan betapa filosofisnya seorang Sigidad mengurai maknanya, yang jika diparafrasekan, segala sesuatu atau apa yang ada ‘being” terhubung satu sama lain lewat jaring perbedaan dengan matafora “getah”.
Selain itu, pembatas pada buku ini terpampang sebuah puisi pendek yang mencuri perhatian saya. “Aroma buku seperti kembang di pemakaman ibuku,” demikian puisi itu menyala di dada dengan tiba-tiba.
Namun, apakah judul buku ini merepresentasikan puisi-puisinya?
Getah Semesta adalah buku kumpulan puisi karya Sigidad, nama pena dari Kristianto Galuwo, yang diterbitkan pada 2025 oleh penerbit Bulandu, penerbit lokal yang berada di Bolaang Mongondow.
Sigidad berprofesi sebagai redaktur di media daring jubi.id yang bernaung di bawah PT Media Jubi Papua yang beralamat di Kota Jayapura. Ia juga adalah seorang padepokawan militan sekaligus salah satu pendiri Padepokan Puisi Amato Assagaf (PaPuAA).
Pertama kali saya mendengar nama Sigidad yakni dari cerita langsung penyair terkenal Sulawesi Utara sekaligus pengampu PaPuAA, mendiang Amato Assagaf. Kak Amato, begitu sapaan akrab saya kepada beliau, menceritakan lelaki kelahiran Kotamobagu, 12 April 1983 ini, menjalani profesinya sebagai jurnalis yang kerap menolak kompromi dan kritis terhadap kekuasaan.
Kak Amato bercerita bahwa jurnalis yang masih memegang teguh prinsip dan kode etik seperti ini, terbilang langka di Sulawesi Utara, bahkan mungkin di Indonesia.
Setelah mengenal lebih jauh dan membaca sejumlah tulisan dan status-status di media sosialnya, pikiran subjektif saya mengatakan bahwa orang ini cukup berisik dan keras kepala, dalam arti suka mengkritik kekuasaan dan kawan-kawan seprofesinya yang menodai diri dengan pragmatisme.
Saya juga punya pengalaman berinteraksi dengannya semenjak dipercayakan menjadi penulis esai di media online Berandakota.com pada 2021 silam, di mana ia sebagai redaktur, telah banyak berbagi pengetahuan perihal kerja-kerja jurnalistik lengkap dengan tata cara menulis yang baik dan benar.
Dan kepada wartawan lapangan, ia sangat keras dalam mengkritik ketika mendapati kesalahan berulang dalam menulis berita. Mental serapuh tisu mungkin tak akan bertahan selama dirinya yang memasak di dapur redaksi.
Sigidad telah berada di jalur yang sebetulnya tidak asing ketika ia–yang berkarier sebagai jurnalis–menulis puisi dan sajak. Kita mengenal sejumlah penyair terkenal Indonesia mulai dari Sitor Situmorang, Goenawan Mohammad, hingga Mustofa W. Hasyim, yang sebelumnya adalah seorang jurnalis.
Mereka adalah orang-orang yang berada di bawah kekuasaan pengetahuan yang menuntut untuk jujur dalam merekam kenyataan, kemudian melompat ke kedalaman batin tempat bermukim kerinduan, cinta, dan luka.
Raungan Batin Seorang Sigidad
Setelah membaca puisi-puisi karya Sigidad, saya merasakan raungan batinnya dengan lanskap perasaan-perasaan tersebut. Ada semacam kerinduan yang tulus terhadap kenyataan yang tak bisa lagi direngkuh. Ini merupakan kesadaran eksistensialis yang bermain-main dengan kondisi kefanaan manusia.
Semisal salah satu puisi pendeknya yang membuat kerinduan kembali bocor hingga menyeret ingatan saya kepada orang-orang tercinta yang pernah ada. Puisi tersebut berjudul Dua Pusara.
Dua Pusara
Di matamu ada dua pusara
satu bertulis ibu
satu bertulis ayah
Masing-masih pusara hilang
setiap kali ada yang pulang
lalu tumbuh lagi
ketika ada yang pergi
Passi, 2020
Dalam puisi ini, terdapat isyarat yang kuat tentang arti kehilangan, dan kita sebagai manusia hanya bisa tengadah, lalu beberapa biji kehilangan datang lagi.
Sementara itu, puisi pembuka dalam buku ini merupakan yang paling menghentak kesadaran dan imajinasi saya. Judul puisi tersebut adalah Kelahiran, puisi persembahan Sigidad kepada mendiang Amato Assagaf.
Puisi ini bagi saya sedikit banyak telah berhasil menangkap suasana atau dalam istilah Gen Z, vibes, seorang penyair yang dengan khusyuk merapal takdir di atas meja setiap kali pentas. Kita akan mendapati pengulangan frasa dalam puisi ini, atau refrain, yang memukau karena pilihan metafora yang digunakan. Berikut baris frasa tersebut, “Bersila seorang lelaki dengan janggut dua warna: perak pagi dan emas senja”. Tampak seorang Sigidad begitu piawai dalam meracik kata menjadi frasa yang indah.
Namun yang menghentak adalah pada bait kedua dan seterusnya, terdapat sejumlah lompatan imajinasi penyair yang menyalahi kemungkinan-kemungkinan atau possibility. Seperti larik “ia menyeret gulita pada keheningan yang merinding”. Mungkin Kak Amato akan menyebut ini ketakterhinggaan dalam kesadaran ruang, sementara saya akan menyebutnya ketidakmungkinan (impossibility) dalam imajinasi penyair yang menolak pretensi makna.
Secara keseluruhan, tampak puisi-puisi Sigidad berada dalam atmosfer eksistensialis dengan penggunaan simbolisme yang padat. Puisi dengan gaya seperti ini sangat dipengaruhi oleh puisi modern Indonesia secara umum, di mana kerap mengeksplorasi tema-tema sosial dan eksistensial dengan gaya yang bebas.
Dan sebagai bentuk rasa hormat dan kerinduan abadinya, Sigidad telah mengawetkan ingatan terhadap seorang guru, tokoh intelektual, dan penyair Sulut mendiang Amato Assagaf, dengan memuat sejumlah puisi dan prosa beliau di bagian akhir buku ini.
Salah satu prosa Kak Amato yang ia abadikan berjudul Sigi. Sigi adalah nama putri satu-satunya Sigidad, yang merupakan bagian dari gabungan nama penanya: “Sigi” dan “dad”.
Dalam prosa tersebut, Sigi menjadi pusat rotasi imajinasi dan ide Kak Amato, yang dikenal sebagai unsur ekstrinsik dalam puitika. Unsur tersebut memancar lewat kehadiran nama-nama filsuf besar dunia yang berdialog dengan batin penyair yang mencintai Sigi tanpa tahu alasan dan pertanyaan perihal cinta itu sendiri. “Sigi adalah anaku yang dicuri takdir,” begitu yang pernah dikatakan Kak Amato kepada Sigidad.
Sebagai kesimpulan yang mungkin tak benar-benar tersimpul, Getah Semesta karya Sigidad ini mengajak kita mengalami puisi secara langsung lewat perspektifnya atas dunia dan bumi tempat ia berdiri. Dengan demikian, Anda mungkin tak akan menemukan satu warna atau satu suasana dalam bait-bait puisinya. Sebab pada akhirnya, meminjam ungkapan Goenawan Mohamad, “kita bukan cuma sebuah jendela yang menangkap satu lanskap di luar sana”.
Penulis Suhendra Manggopa adalah salah satu padepokawan di Padepokan Puisi Amato Assagaf (PaPuAA)