DARI KATA TURUN KE HATI
untuk Amato Assagaf
Puisiku mengembara mencari
makna mara dan plasenta.
Lalu bait demi
bait berlabuh, lalu
larik demi larik
merekah:
dari kata turun ke hati.
Kau temukan peta serta arah
di sepasang pipi perempuan yang
senyumnya melukis bunga surga
matahari pada pagi bulan Juni.
Sejak jatuh hati pada puisi pertama itu, semua kata-
kata manis dalam kamus bahasa Indonesia bekerja
sama memahat makna apa pun yang bisa membuat
hati seorang perempuan mekar seribu musim bunga.
Puisiku menyiangi bunga-bunga itu
dengan hujan yang tak tercipta dari air matamu,
dari masa depan
dengan getir dan takdir yang tak tercipta dari air matamu,
dari masa depan
dari derai dera luka yang tak tercipta dari air matamu,
dari masa depan
dari derai derai dunia yang tak tercipta dari luka hatimu,
dari masa depan
agar
kelak mata itu sudah sebegitu kemarau
untuk sedih pada segala hal yang kau kesali
dari satu-satunya diri yang barangkali bakal
menjadi segala sesuatu yang kita punyai.
Sebab kita senantiasa punya cadangan tawa atas
hal-hal sederhana. Karena cinta hanya kegilaan
yang selalu patut kita rayakan dengan omong
kosong yang paling masuk akal
dan
bersahaja.
Puisiku selalu sudah merumah sejak pertama sekali
kata-kata kita bersahutan setelah lebaran membaptis
aku sebagai penyair di mata papamu, atau ketika mamaku
memutrikan seorang perempuan di layar foto yang
telah menjantungi hati anak laki-lakinya yang ketiga
pada dapur dengan aroma udang dan garam dan
ketimpangan Piketty pada abad ke-21
ketika berkata bahwa Perancis pernah menjadi
kapitalisme tanpa kapitalis sesaat sebelum
Carl Jung membelai belahan dada Bellucci.
Puisiku mengembara mencari-cari
cara merakit makna di antara
mara dan plasenta hingga
akhirnya ia dapati
cara jadi abadi:
dari mata turun ke mati.
Amor fati.
Tyo Mokoagow adalah salah satu penulis dari Bolaang Mongondow Timur