New Normal tanpa New

0 706
(Sumber foto: Suara Jabar)

KOPI-Konon, kita sedang menyambut New Normal, namun kita memaksakan diri untuk segera menjadi normal. Kita lupa bahwa kita dianjurkan untuk beradaptasi, bukan keluar rumah setiap hari dan kumpul-kumpul ngopi. Jika dilihat, seperti ada keinginan dalam lubuk hati kita terdalam untuk melepaskan segala hasrat yang tertampung sejak karantina yang hampir empat bulan lamanya.

Tapi mesti bagaimana? Kita belum punya semacam aplikasi digital yang bisa menggantikan insting dan kebutuhan untuk memeluk orang yang kita cintai, mencium dahi orang tua kita, menghadiri pesta pernikahan, dan melakukan perjalan liburan. Tidak hanya insting individual seperti itu, tatanan ekonomi nasional dan global bahkan ikut anjlok dan nyaris belum menemukan solusi yang tepat karena makhluk yang bernama Covid-19 ini.

Jenis virus ini membuat kita memikirkan kembali tatanan masyarakat yang kita hidupi sejak lama. Dan ketika entitas  tak berkesadaran ini tiba di hadapan kita, sekejap tatanan itu terbalik dan membuat semua orang merasa takut, kecewa, bahkan kesepian.

Kita tahu beberapa ancaman bencana besar dalam sejarah manusia abad 21–senjata pemusnah masal yang paling kuat, bencana alam yang paling dahsyat, dan serangan teroris paling ganas—semuanya gagal menghancurkan manusia. Tapi virus ini, benda kecil tak kasat mata yang melayang bebas di udara dan bisa bertahan beberapa jam di permukaan benda mati, telah dan sedang menghancurkan kita.

Hanya dalam empat bulan, virus ini telah memusnahkan ribuan tahun tradisi dan adat-istiadat sosial kita. Memaksa kita berdiam dan bersembunyi di rumah-rumah yang lebih seperti gua di abad modern. Meskipun gua yang kita tinggali lebih aman bahkan ber-AC dan dipasangi wifi.

Dampak paling nyata ketika orang-orang dirumahkan adalah pendapatan ekonomi mereka. Tak mengenal apakah itu perusahan besar atau kecil, semuanya meratap di hadapan pilihan nyawa atau ekonomi. Tapi adakah pilihan itu? Ketika kita berhenti bekerja bukankah kita juga berhenti makan, yang berarti nyawa kita juga terancam?

Dengan kerumitan semacam itulah, negara-negara di dunia mulai memilih untuk New Normal dengan pertimbangkan tetap pada protokol kesehatan yang ketat. Jokowi sendiri, pada 26 Mei lalu mengeluarkan kebijkan New Normal setelah meninjau pasar belanja modern. Jokowi kemudian menyuruh pembantunya untuk melandaikan kurva pandemi dan menambahkan kebijakan dengan diksi yang agak menghibur, “Berdamai dengan Corona”.

Tapi kita tahu, perdamaian itu hanya sepihak. Sebab hanya manusia yang berdamai, dan virus itu tetap bekerja. Buktinya pada tanggal 9 Juli lalu, adalah kali pertama kasus harian tertinggi selama empat bulan terakhir di Indonesia, yakni 2.657 kasus.

Jika anda melihat situasi saat ini, anda akan melihat bahwa hanya mental kita yang berubah, Covid-19 masih tetap pada kodratnya. Apakah ini yang disebut perdamaian sepihak dengan virus? Upaya ini sebenarnya bukanlah perdamaian. Tak ada perdamaian yang mengandaikan manusia dengan entitas non manusia. Perdamaian hanya mungkin antara manusia dengan manusia lainnya, antara satu kelompok orang dengan kelompok lainnya.

Perdamaian dalam konteks Covid-19 di sini bagi saya tidak lain adalah “survival of the fittest”. Sebuah frasa yang digunakan untuk menggambarkan proses evolusi makhluk hidup. Proses dimana setiap makhluk, seperti manusia, beradaptasi dengan seleksi alam demi bertahan hidup.

Maka, dalam konteks kini, mereka yang akan selamat adalah mereka yang pailing baik beradaptasi dengan lingkungan terdekatnya, yakni lingkungan yang ditinggali oleh virus Corona. Dan di sinilah kesalahan kita, kita akan menuju New Normal dengan sikap normal. Padahal, New Normal adalah tatanan normatif baru, yakni cara kita hidup dengan aturan baru dalam berelasi dengan orang lain. Jangan sampai kita ingin menjadi normal malah menjadi abnormal.

Maka ada benarnya ketika juru bicara pemerintah untuk Penanganan Corona (Covid-19), Achamad Yurianto mengklarifikasi diksi new normal yang digunakan selama pandemi. Ia mengatakan itu saat menjadi pembicara di peluncuran buku ‘Menghadang Corona: Advokasi Publik di Masa Pandemi’ karya anggota DPR dari Fraksi PAN, Saleh Daulay, pada tanggal 10 Juli, 2020 lalu.

Diksi yang benar baginya adalah “adaptasi kebiasaan baru”. Diksi new normal bagi dia telah membuat orang-orang merasa kembali ke situasi normal. Artinya, mereka pelan-pelan meninggalkan protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. “tak pernah berhenti gaung new normal di mana-mana,” kata Yuri, “dan kemudian bukan dikedepankan new-nya, tapi normal-nya”.

Saat ini, kita punya banyak ilmuan dan alat medis yang canggih. Pandemi kali ini datang di saat kita telah menemukan banyak alat dan pengetahuan untuk bertahan hidup. Berbeda dengan wabah pes seperti di abad ke-6 yang terjadi di Bizantium di bawah pemerintahan Justinianus I yang telah menewaskan 30 hingga 50 juta orang. Penyakit ini telah menciptakan gejolak dalam pemerintahan dan melemahkan perdagangan.

Maut Hitam atau Black Death juga demikian, telah menimbulkan dampak yang kelam terhadap populasi Eropa pada abad ke-14. Penyakit ini mengubah jutaan orang tidak hanya menjadi mayat, tapi juga mengubah mereka menjadi jahat. Orang Yahudi pada waktu itu diburu; pengemis dan penderita lepra dibunuh. Seperti yang ditulis oleh Giovani Boccaccio, “Maut Hitam membuat orang-orang merasa hidup mereka hanya untuk hari ini, maka mereka melakukan apa saja untuk bertahan hidup”.

Memandang sejarah pandemi seperti yang dikemukakan di atas, harusnya membuat kita sedikit bersabar sambil mendengarkan anjuran ilmuan dan pemerintah. Jangan sering keluar gua (rumah), atau keluarlah di saat-saat yang penting saja. Atau kalau anda punya perusahaan, toko, atau kedai, gunakanlah protokol kesehatan dengan ketat.

Kebijakan New Normal bukan kebijakan yang meberitahukan kepada kita bahwa virus Covid-19 sudah tidak ada, itu hanyalah perasaan atau keyakinan kita saja. Perasaan dan keyakinan memang akan selalu berubah, bahkan kadang kita tidak ingin memercayai sesuatu karena kita menghendakinya. Dulu kita begitu panik ketika Covid-19 baru mulai merebak, dan itu karena kita mempercayai keberadaannya. Tapi sekarang kita nyaris tidak memercayainya, dan sialnya, virus itu tidak peduli. Ia bisa tetap ada bahkan tanpa kita memercayainya.

Redaksi

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.