Ironi Musik Indie dan Fenomena Kopi-Senja
“Usap terus keringatmu
Jangan gugur dan terbunuh
Argumentasi dimensi
Terbakar hingga sendiri
Sendiri, Sendiri”
Demikianlah potongan lirik lagu dari grup band indie Fourtwnty. Puitis dan bergelimang sendu. Budaya indie sendiri bercorak unik dan estetik. Dan itu bisa kita identifikasi terutama lewat musik dan—entah ada hubungannya atau tidak—efek budayanya pada cara berpakaian hingga foto-foto senja berbalut sepi dan kopi.
Tapi apa sih, makna indie?
Kata indie sendiri bermakna independensi, yang membedakan dirinya di hadapan arus utama dalam dunia musik. Demikian pula, indie memayungi satu kecenderungan cita rasa ekslusif terhadap sesuatu, seperti musik, misalnya. Artinya ingin menjadi beda menurut selera sendiri.
Kalau menurut maknanya tersebut, maka kata indie bisa disematkan di bidang apapun selama ia beda dan diperjuangkan sendiri, dan tentunya, melawan arus utama. Sebagaimana slogannya, “Do It Yourself (DIY)”. Tapi bagaimana ini bisa berkembang dan membuat para pendengarnya menjadi kopi-senja-kopi-senja?
Muasal Kata Indie
Jika ditinjau secara historis, asal mula kata indie sebenarnya merujuk pada sebentuk gerakan subkultur musik pop underground di Inggris yang berevolusi dari era punk hingga post-punk selama periode antara 1977 hingga 1986. Penggunaan kata tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan anak-anak muda Inggris pada waktu itu yang suka memotong kata agar mudah diingat. Semisal distribution menjadi distro, british menjadi brit, dan independent menjadi indie.Dikatakan subkultur karena ia adalah kultur kecil di dalam kultur yang lebih besar. Di baliknya, terdapat pandangan bahwa bermusik tidak harus selalu berdasar kepentingan industri dan menjadi komoditas industri, yakni kultur besar atau dominan.
Jadi, sesuai latar historis, indie berakar dari musik punk menuju jalur pop dan menentang stereotype bahwa musik pemberontakan harus selalu identik dengan musik rock’ n ‘roll. Di sinilah evolusi post-punk menuju prototype-indie dan menemukan karakternya sebagai indie.
Oleh karena itu, dengan memilih jalan ninja, musikus indie menolak terikat label besar dan melakukan banyak kegiatan dalam bermusik secara mandiri—distribusi, konser, marketing, dan sebagainya—semuanya dilakukan sendiri. Dengan demikian, budaya indie adalah semacam gerakan anti mainstream (counter culture) dalam konteks bermusik.
Di Indonesia sendiri, musik indie kian populer di kalangan anak muda. Pada pertengahan tahun 1990, para penikmat musik Indonesia lebih mengenal istilah indie sebagai underground. Salah satu band indie pada era 90-an adalah Pas Band, yang pada waktu itu berhasil menjual album mereka sebanyak 5000 keping. Dari kesuksesan Pas Band inilah kemudian bermunculan band-band baru, mulai dari yang metal hingga rock.
Hari ini, salah satu yang begitu digemari adalah grup musik indie folk asal Jakarta, Fourtwnty. Selain itu, ada Efek Rumah Kaca, Mocca, dan masih banyak lagi. Uniknya, anak-anak muda yang menikmati lagu mereka cenderung soliter dan ingin terus terpapar senja. Tapi mengapa demikian? Mengapa bukan gerimis mengundang gempa?
Mazhab Indie Angkat Suara
Kecenderungan ini mungkin karena dalam lirik setiap lagu indie memuat nilai-nilai atau pesan-pesan kemanusiaan dengan nuansa puitis dan begitu apa adanya, sehingga kita merasa harus duduk sendirian di pantai atau di hadapan jendela menunggu matahari terbenam. Seolah kita sedang mencari tempat paling sepi di dunia untuk bersedih dan menangis. Mereka yang paham dengan filosofi indie pun angkat suara demi meluruskan kesesatan-kesesatan semacam ini.
Seperti yang ditulis Zein Sakti dalam artikelnya di mojok.co: “Jadi begini ya orang-orang yang mengaku sebagai anak Indie, musik folk Indie yang kalian dengar mungkin memang musik indie, tapi indie sebenarnya bukan tentang lagu folk sendu, kopi dan senja seperti menurut keyakinan kalian selama ini—ya tapi nggak apa-apa sih kalau kalian yakinnya seperti itu walaupun sebenarya sesat. Indie itu bukan genre atau kategori—namun Indie adalah label rekaman. Sekali lagi saya tekankan Indie adalah tentang label rekaman—LABEL REKAMAN!!1!!1!!!”
Tapi tak bisa dipungkiri, konsumen menikmati apa saja dengan cara mereka sendiri, seperti mereka menikmati musik indie, misalnya. Dan ini telah marak di Indonesia. Suatu ironi yang—semula minor—menjadi tampak mayor. Artinya, budaya yang pada dasarnya berakar dari gerakan anti arus utama, sedang berevolusi menjadi arus utama; gerakan anti selera pasar ternyata menciptakan pasarnya sendiri. Apakah itu artinya, musik indie yang anti pasaran pada akhirnya juga akan menjadi pasaran? Entahlah.
Ari, Nuwi, dan Roots, tiga personel Fourtwnty, mungkin bisa membatasi diri mereka dalam bermusik sebagai band indie sejati, tapi mereka tak bisa membatasi jumlah dan perilaku fans-nya. Jadi jangan heran banyak pemuda sekarang yang gemar mengambil foto diri sendiri di hadapan jendela bersama sepi dan kopi rasa senja.