Mencari Diri di Antara Meme dan Nietzsche
Nyaris semua orang mengira diri adalah sebuah inti. Semua gagasan dan keyakinan adalah unik bagi masing-masing—”aku” bukanlah dia dan dia bukanlah aku. Benarkah demikian? Apa itu aku? Apakah aku pada masing-masing subjek individu membawa serta ke-aku-annya sebagai aku murni? Adakah yang disebut aku?
Kesadaran tunggal manusia yang disebut diri telah menjadi perdebatan sengit dalam sejarah filsafat. Pembedaan ontologis seperti jiwa-tubuh dari Platon hingga Descartes mencoba mengatasi hal itu, meskipun tetap menyisakan jejak trace sebagaimana dalam metafisika Derridean–setiap jenis oposisi esensial adalah fondasi bagi dekonstruksi yang tak terhingga. Tetapi mungkinkah kita hidup tanpa menetapkan diri—entah itu tubuh atau jiwa—sebagai referensi dalam menjalani hidup?
Anda barangkali dengan tenang dan bangganya mencari apa yang disebut jati diri. Seolah cita-cita terindah dan terpenting dalam hidup adalah memperoleh diri yang sempurna. Kita harus mempertanyakan itu meski mengganggu: bagaimana jika itu hanya ilusi? Atau hanya sekadar kumpulan informasi dan gagasan yang kita terima dari masyarakat untuk kemudian mengatakan bahwa “diriku” adalah “aku”?
Manusia merupakan entitas paling kompleks sejagat raya. Ia tak cukup hanya dipahami lewat kerangka sains belaka. Itulah mengapa muncul pendekatan fenomenologi, heurmenetika, dan postrukturalisme dalam tradisi humaniora. Namun tetap saja, para ilmuan mencoba menatap budaya pada tataran gejala biologis. Sebagaimana pada makhluk lain, manusia dilihat menyesuaikan dirinya secara morfologis, fisiologis, dan etologis, sebagai organisme terhadap lingkungannya. Tetapi bagaimana para ilmuan ini menjelaskan perihal kemampuan manusia beradaptasi melalui pengubahan lingkungan seperti yang kita sebut peradaban? Tidak seperti makhluk lain melalui reproduksi genetik yang sangat lambat, manusia dengan keunikan dan akalnya melakukannya dengan sangat cepat.
Richard Dawkins merespons para ilmuan reduksionis semacam itu dengan kecewa. Menurutnya, mereka terlalu cepat mengambil kesimpulan terhadap fenomena budaya. Dalam bukunya The Selfish Gene, Dawkins mencetuskan konsep “meme”, sebuah analog kultural dari konsep “gene” sebagai penyebab satu-satunya evolusi manusia.
Seperti halnya gene, menurut Dawkins, meme adalah sebuah replikator, yakni entitas yang memperbanyak diri. Jika gene diturunkan melalui reproduksi biologis, maka meme melalui proses pembelajaran budaya, atau peniruan. Meme sebagai unit transmisi kultural, seperti halnya gene sebagai unit transmisi biologis—mengalami mutasi, kombinasi, dan seleksi alam. Contoh yang mencakup meme antara lain lagu, gagasan, agama, istilah populer, busana dan arsitektur. Semua unsur kultural ini berada dalam otak manusia, seperti juga gene dalam sel organisme. Mengikuti Dawkins, konon meme melompat dari satu otak ke otak lainnya melalui proses imitasi. Sampai di sini, apakah yang kita sebut “diri” juga bekerja seperti meme dalam otak?
Daniel Dennett, seorang neo-darwinisme asal Inggris, sepakat dengan hal itu. Mengikuti mesin meme dari Dawkins, Dennett mengklaim bahwa “diri” berada di tengah belantara meme dalam otak manusia. Diri manusia, menurutnya, adalah komputer virtual sekuensial yang bekerja dalam komputer paralel bernama otak manusia.
Dalam bukunya Consciousness Explained dan Darwin’s Dangerous Idea, Dennett mendekontruksi konsep kesadaran tunggal yang kita sebut substansi diri. Baginya, “aku” sekadar kumpulan meme yang beredar dalam otak manusia. Kita adalah, kasarnya, monyet yang kejangkitan banyak meme.
Otak kita konon adalah wadah bagi sirkulasi meme—tempat di mana terjadi permainan antar-replikator. Berbeda dengan Dawkins yang mengatakan cara meme melompat dari otak ke otak, bagi Dennett meme juga bergerak dan bermain dalam otak masing-masing orang. Dengan demikian, meme sebagai unit budaya berubah menajdi unit psikologis. “Aku” adalah satu dari banyak kompleks meme yang saling menyesuaikan diri. Dennet menyebutnya, meme-plex.
Demikianlah nasib manusia, terjerat dalam dua mesin besar, mesin informasi biologis dan mesin informasi sosiologis. “We are built as gene and cultured as meme machines, but we have the power to turn against our own creators,” tulis Dawkins menutup bukunya The Selfish Gene.
Namun, terlepas dari konsep diri sebagai meme yang bekerja seperti halnya gene, prioritas metafisis masih berlaku di dalamnya. Biologi lebih tinggi ketimbang sosiologi. Artinya, tidak ada pikiran, budaya, negara, uang, filsafat, bahkan diri tanpa tubuh. Tubuh adalah muasal dari semua keributan sosial manusia sepanjang sejarah. Tubuh melampaui cita-cita asketis yang mengutamakan jiwa atas tubuh, pikiran atas indra, tugas atas hasrat, realitas atas penampilan, yang abadi atas temporal. “Ada terdapat lebih banyak kebijaksanaan di balik tubuhmu …,” kata Nietzsche. “… daripada filsafat terdalammu.” Dengan demikian apakah diri adalah tubuh itu sendiri dengan segala kehendak dan nalurinya? Tidak sesederhana itu. Penolakan Nietzsche berangkat dari sejarah filsafat dan agama yang membayangkan bahwa tubuh selalu berada di bawah kaki jiwa dan pikiran.
Nietzsche bukan seorang Darwinis, tetapi ia dengan kuat menekankan pada sifat instingtual manusia dan tidak disibukkan dengan tipologi moral baik dan buruk. Ia melihat tubuh sebagai hidup sekaligus dimensi esensial dari kreativitas. Dia mengejek gagasan bahwa manusia dapat mencapai eksistensi tanpa tubuh. “Mata yang tidak diarahkan ke arah tertentu …,” tulisnya, “… adalah absuditas dan omong kosong.” Segala yang transenden adalah tidak mungkin tanpa yang imanen. Yang di sini, di dalam sejarah ini.
Nietzsche barangkali menjadi justifikasi atas metafisika di balik gagasan evolusi Dawkins dan Dennet. Meskipun jika konsisten, Nietzsche akan mencurigai keduanya sebagai orang-orang yang memikul beban ketakutan untuk hidup. Mereka adalah orang-orang sakit yang menetapkan fondasi untuk realitas dengan kemampuan jaring laba-laba mereka yang rapuh. Anti-fondasionalisme Nietzschean tidak memandang bulu. Segala yang berbau fondasi, entah itu agama, filsafat, dan sains, termasuk dalam kritik.
Jika demikian, bagaimana Nietzsche melihat realitas meme? Berdasarkan padangannya atas tubuh, meme bisa dibenarkan sejauh ia tidak menetap. Artinya meme di dalam otak manusia harus terus mereplikasi diri dengan intensitas tinggi. Meme harus terus berubah dalam otak manusia, jika tidak ia termasuk orang-orang yang tidak mengafirmasi hidup. Meme positif bagi Nietzsche barangkali adalah meme Amor Fati—love of one’s fate.