Mengefektifkan Kampanye di Masa Pandemi
BERANDAKOTA- Kampanye merupakan bagian inheren dalam setiap perhelatan pemilihan umum. Sebagai medium informasi, kampanye merupakan cara paling efektif bagi kandidat dalam pemilihan umum untuk menyampaikan visi, misi, program serta informasi lain untuk meyakinkan calon pemilih. Di sisi lain, kampanye juga dituding sebagai salah satu penyebab mahalnya ongkos politik yang merupakan salah satu pintu masuk politik uang. Selama proses kampanye, dalam rangka memenangkan suara voter, berbagai upaya dilakukan para calon dari berbagai partai politik yang semuanya didasarkan pada ilmu “marketing” untuk mengarahkan preferensi pemilih.
Hadirnya pendekatan marketing dalam dunia politik dituding sebagai salah satu penyebab mahalnya ongkos pemilu yang pada akhirnya bermuara pada tampilnya “demokrasi borjuis”. Penggunaan marketing approach yang berlebihan dalam dunia politik akan melahirkan komersialisasi politik dan menyempitkan arti politik menjadi sekedar proses transasksi uang yang akan menjauhkan masyarakat dari ikatan ideologis sebuah partai dengan pendukungnya (O. Soughnessy. 2001).
Namun demikian, pasca merebaknya covid-19, tantangan besar dihadapi oleh penyelenggara maupun peserta dan kandidat dalam pemilihan kepala daerah. Salah satunya adalah model kampanye yang harus menyesuaikan dengan protokol covid-19. Pembatasan sosial akan berakibat pada menurunnya jumlah tatap muka antara kandidat dan konstituen.
Di era pandemi covid-19, menjelang pilkada serentak pada Desember 2020, KPU telah menetapkan PKPU tentang pelaksanaan pemilihan kepala daerah dalam kondisi bencana non-alam. PKPU nomor 6 tahun 2020 tersebut diantaranya mencakup pengaturan tahapan kampanye. Pada pasal 2 ayat (2), disebutkan bahwa tahapan diselenggarakan dengan mengutamakan prinsip kesehatan dan keselamatan, berpedoman pada protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Setidaknya ada 3 persoalan terkait pengaturan kampanye di masa pandemi. Pertama, seberapa efektifkah kampanye di tengah pembatasan sosial. Ini terutama berkaitan dengan kepentingan para calon kepala daerah untuk memastikan pesan tersampaikand bagi konstituen. Kedua, penentuan strategi kampanye di era new-normal. KPU telah menetapkan aturan yang ketat dalam setiap tahapan di masa pandemic, termasuk pengaturan kampanye. Apakah para kandidat mampu menyesuaikan strategi kampanye tanpa bertabrakan dengan protokol covid-19. Terakhir, bagaimana KPU sebagai penyelenggara memastikan tahapan kampanye tidak melanggar protokol covid-19 sebagaimana yang telah ditetapkan dalam PKPU pelaksanaan pilkada di tengah pandemic covid-19.
Seberapa efektif ?
Salah satu pasal dalam PKPU 6 tahun 2020 adalah pengaturan untuk pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka dalam kampanye. Pada pasal 58, disebutkan Pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka dan dialog dilaksanakan dengan ketentuan membatasi jumlah peserta yang disesuaikan dengan kapasitas ruangan tertutup. Bahkan dalam ayat ke (2) pada pasal yang sama, disebutkan bahwa Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye mengupayakan metode Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Media Daring.
Ini menyisakan persoalan bagi tim kampanye. Pembatasan jumlah peserta kampanye akan mengurangi skala penyampaian vis, misi dan program bagi lebih banyak masyarakat. Visi, misi dan program hanya bisa disampaikan pada kelompok terbatas dengan persebaran demografis pemilh yang cenderung heterogen. Sementara kampanye bertujuan untuk meyakinkan dan mengarahkan preferensi pemilih sebanyak mungkin, pembatasan kerumanan dalam kampanye menjadi hambatan bagi tim kampanye untuk menjangkau lebih banyak pemilih.
Oleh sebab itu, tim kampanye harus menentukan strategi yang tepat untuk mengakomodir pemilih yang tidak dapat dijangkau dengan kampanye fisik yang melibatkan banyak peserta. Salah satu strategi kampanye ini adalah dengan menggunakan media sosial sebagai sarana penyampaian program serta visi misi kandidat.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2018 terhadap pemilih, menunjukkan sebanyak 88% pengguna Facebook merasa bahwa aplikasi tersebut membantu pengguna untuk terlibat dengan masalah yang penting untuk mereka setujui dalam pemilihan umum (36%) atau agak setuju (52%). Demikian pula, para responden berbagi bahwa media sosial merupakan sarana yang baik dalam membawa perspektif baru bagi diskusi tentang pemilihan umum dan politik dengan 40% responden yang setuju dan 49% yang cukup setuju dengan gagasan itu. Sementara itu, sebagian kecil merasa bahwa media sosial membantu orang mempelajari seperti apa kandidat yang akan berkompetisi (26%) dan (51%) menjawab cukup baik. Tanggapan ini menunjukkan bahwa meskipun ada nilai negatif pada diskusi politik lewat media sosial, para pengguna tampaknya mampu melihat sisi positif dari media sosial dalam hal fungsinya. Fungsi – fungsi tersebut terutama sebagai media informasi dan penyaluran perspektif bagi pengguna maupun bagi kandidat (Sukmayadi dan Effendi: 2018).
Sebanyak 42 persen pemilih terdaftar untuk pemilu 2019 di Indonesia berusia 17 hingga 35 tahun. Pemuda ini, atau kaum muda, mendominasi lanskap media sosial di negara ini, membentuk 66 persen dari 150 juta pengguna media sosial dan menghabiskan rata-rata 3 jam dan 26 menit online per hari. (Digital 2019 Indonesia).
Dalam hal ekspresi sentimen politik, platform milik Facebook mendominasi lanskap media sosial di Indonesia. Indonesia memiliki sekitar 130 juta pengguna Facebook dan lebih dari 60 juta pengguna Instagram, yang mengerdilkan 20 juta pengguna Twitter di negara ini. Twitter lebih populer di kalangan pengguna pria (sekitar 65% pengguna Twitter Indonesia adalah pria). Sebaliknya, 51 persen pria dan 49 persen wanita adalah pengguna Instagram. Indonesia juga merupakan pasar Instagram terbesar di Asia Pasifik, dengan 70 persen penggunanya berusia 18 hingga 34 tahun. Singkatnya, jumlah pengguna Instagram yang tinggi dan distribusi jender mereka yang seimbang membuat platform ini berguna dalam mempelajari bagaimana anak muda Indonesia memahami situasi sosial dan politik saat ini (Jakarta Globe: 2017).
Dalam kondisi politik di tengah pandemic, gambaran statistik di atas bisa menjadi pertimbangan untuk mengalihkan model kampanye kepala daerah 2020 ke dunia digital dengan memanfaatkan platform media sosial yang kini tersebar hampir merata di seluruh wilayah. Persoalannya, apakah tim Kampanye cukup kreatif dan inovatif dalam meramu materi-materi politik yang menarik agar bisa dengan mudah diakses oleh pengguna.
Memantau kampanye di media sosial
Kampanye melalui media sosial dan internet menjadi satu-satunya pilihan bagi kandidat dalam meyakinkan pemilih bahkan mengarahkan preferensi politik pemilih. di tengah pembatasan sosial dan penerapan protokol covid-19, penggunaan media daring memungkinkan kandidat atau pun tim kampanye menjangkau lebih banyak orang dan menawarkan visi, misi dan program tanpa harus terbatasi oleh model kampanye konvensional berupa pertemuan terbuka.
Berbeda dengan pola kampanye konvensional yang mengandalkan komunikasi tatap muka yang interaktif, model kampanye lewat media sosial memberikan ruang lebih luas bagi tim kampanye untuk menyampaikan pesan politik yang singkat dan mudah dimengerti. Penggunaan grafik, gambar dan materi-materi kampanye yang didesain semenarik mungkin, menuntut kreativitas tim kampanye agar program kandidat dapat disampaikan dengan efektif. Ada 2 keuntungan penggunaan media sosial dalam kampanye di masa pandemi. Pertama, dari segi biaya kandidat atau pun tim kampanye dapat menekan anggaran kampanye yang biasanya membludak dalam kampanye tatap muka. Kedua, media sosial memungkinkan setiap tim kampanye membuat puluhan bahkan ratusan akun tak terbatas demi menjangkau pemilih dari berbagai segemen.
Disinilah KPU sebagai penyelenggara perlu menetapkan batas-batas kampanye media sosial. Mengingat jangkauan media sosial yang luas serta penggunaan akun dalam jumlah yang besar, menyulitkan untuk memantau batas-batas materi kampanye media sosial. Membludaknya informasi dan akses informasi yang lebih terbuka, menciptakan arus informasi yang tak terbendung antara penyampaian visi, misi dan program di satu sisi, serta kampanya hitam, hoax dan propaganda di sisi yang lain.
Mendekati masa kampanye pilkada 2020, KPU harus melibatkan pihak lain, seperti Bawaslu maupun para ahli di bidang teknologi digital dan merumuskan aturan yang tepat terkait kampanye di era pandemi. Penanangan dan penetapan batas-batas kampanye media sosial penting, agar kualitas pilkada 2020 dapat terjamin dan mampu mendorong kita selangkah lebih maju dalam mewujudkan demokrasi pada pemilihan di masa mendatang. []
Penulis: Muhammad Iqbal Sagan
Tenaga Ahli KPU Provinsi Sulut