Satu Kematian adalah Tragedi, Seribu Kematian Adalah Statistik

0 1.107

BERANDAKOTA—Perpisahan, entah kenapa, tak lagi akrab ketika menjelma angka. Sebab kian dewasa, angka semakin dingin. Ia tak seseru dahulu ketika kamu masih berseragam putih dan celana merah kirmizi. Saat itu, angka-angka masih semenyenangkan “berapa jumlah apel di papan tulis” atau “berapa buah jeruk milik Budi”. Kamu mungkin pernah gunakan jari jemari mungil itu sebagai kalkulator. Dengan jari yang sama, kau menghitung seisi rumah: “Ibu … bapak … kakak … adik … dan, kamu.” Kamu menghitung seisi rumah seraya membayangkan wajah mereka yang berseri-seri. Lalu waktu bergerak menggilas segala ingatan, tubuhmu diseret ke tahun paling berantakan. Hari ini di sisi lain negeri kamu, ada seseorang yang anggota keluarganya tak lagi segenap dahulu. Covid-19 merenggut satu per satu hitungan itu, salah satu isi rumah itu.

Lenin jauh hari berkata: “Kematian satu orang adalah tragedi. Namun kematian seribu orang hanya statistik.” Di Indonesia, tragedi itu dimulai pada 2 Maret; kasus Covid-19 pertama terendus publik. Lalu mobilisasi virus menyebar cepat. Awal April ia sudah berlipat ganda di angka 1.790 kasus. Bulan depannya, awal Mei, angka itu meningkat sepuluh kali yakni 10.843. Awal Juni, PSBB dilonggarkan dan aktivitas bandara mulai normal, statistik berlari ke angka 28.818 pada tanggal 4 Juni. Tanggal 4 Juli menjadi 62.142. Sampai ketika tulisan ini dibuat, tanggal 29 Juli, angka itu mencapai 104.432 nyawa. Singkatnya begini: sejak “new (ab)normal” diserukan, jumlah kasus meningkat 200% hanya dalam satu bulan dan mencapai 400% dalam dua bulan.

Lalu angka-angka itu semakin dingin dan bisu. Lenin cukup tepat di sini, epidemi kian menjadi statistik, tak lagi sepersonal ketimbang pertama kali ia mengejutkan Indonesia lima bulan silam. Barangkali rakyat juga makin jenuh dengan berita itu. Banyak yang megafirmasi bahwa kita memang harus hidup dengan pandemi ini. Tapi pandemi ini bukan istri kita, yang tega mendesak untuk segera mengambil opsi: mati kelaparan atau mati terjangkit penyakit. (Teman saya, Nero, berkata bahwa perbandingan itu hanya apologi kelas menengah yang terusik di tengah pandemi.)

Pemerintah pusat pun menelan pil pahit dari keputusan mereka. Pelonggaran kuncitara (lockdown) sebelum pandemi terkendali, berimbas pada peningkatan 400% kasus kurang dari dua bulan. Ini pukulan telak. New normal sudah menjadi kartu mati yang tak dapat dimainkan lagi. Kartu selanjutnya adalah “gelombang kedua”, yang kita tahu, hanya akan membuat para epidemolog terpingkal-pingkal. Secara teknis, bangsa kita sebenarnya belum lolos dari gelombang pertama—gelombang itu justru baru akan menanjak.

Sementara pemerintah pusat sibuk membikin klarifikasi, residu dari new normal mulai terasa. Komunikasi politik, kita tahu, tidak hanya mempertimbangkan aspek semiotika namun juga psikologi publik. Daya persuasi new normal memberi ilusi dalam diri kita bahwa dunia memang sudah normal kembali. Dalam psikologi perilaku ini disebut bias ketersediaan (availibility biases).

Semakin sering kita dapati istilah new normal di layar kaca dan media sosial, semakin ilusi itu terasa nyata. New normal memang dapat mengelabui operasi mental kita dan semua orang bisa memutar kembali roda ekonomi seolah dunia sudah baik-baik saja. Sayangnya, new normal tidak dapat mengelabui gerombolan virus ini.

Lalu Nero, teman saya, berseloroh di kuping kiri saya: “Jangan-jangan Covid 19 sangat berterima kasih dengan kebijakan new normal ini. Berkatnya, kewaspadaan orang makin menurun dan mobilisasi virus kian terbangun.”

Menuju Sulawesi Utara 

Angka seratus ribu membuat saya khawatir dengan teman-teman di kampung halaman. Baru saja dua minggu lalu saya menelepon kawan di BMR. Dengan percaya diri dia bilang Corona hanya konspirasi elit penguasa. New normal bukan hanya memproduksi ilusi bahwa dunia sudah membaik, tapi juga apati. Lalu saya ingat operasi angka dengan kalkulator di jemari saya. Saya tidak menghitung berapa jumlah apel atau jeruk. Saya hendak menghitung seberapa cepat Corona menjalar di Sulawesi Utara.

Tragedi pertama di provinsi Tinutuan dimulai 26 Maret. Sejak itu, Sulut sanggup menahan penyebaran Corona sampai di angka 339 selama dua bulan. Namun pergulatan sebenarnya dimulai sejak kuncitara (lockdown) dibuka dan bandara Sam Ratulangi beroperasi kembali, yakni 1 Juni. Setelah tanggal itu, mobilisasi virus kian meningkat. Awal Juli, ia sudah mencapai angka 1.129. Tanggal 29 Juli kemarin, angka itu meningkat pesat menjadi 2.415 nyawa.

Ringkasnya begini: sejak “new (ab)normal” diserukan di Sulawesi Utara, jumlah kasus meningkat 300% dalam sebulan dan meningkat sebanyak 700% dalam dua bulan.

Sulut tidak baik-baik saja. Bermodal data 2.415 kasus positif bila kita bandingkan dengan total populasi Sulut berjumlah dua juta lima ratus ribu penduduk, maka kita bisa dapati bahwa setidaknya dari seribu orang terdapat satu yang positif Corona (belum terhitung dengan kasus yang tak terdeteksi). Perbandingannya 1 : 1000.  Sekilas, risiko individualnya memang terkesan sepele, kita bisa berharap menjadi bagian 999 orang yang beruntung tak positif sampai hari ini. Dengan nalar seperti ini, kita dapat memahami kenapa orang bisa apati bahkan setelah mengetahui data resmi.

Satu banding seribu (1 : 1000) memang kerdil di mata kita. Satu orang yang berkeliaran di ruang publik tanpa masker dan jaga jarak sudah pasti selamat. Tapi seribu orang yang berkeliaran di ruang publik telah menciptakan setidaknya satu orang yang positif. Dan bila satu orang yang positif itu—katakanlah—tidak memakai masker sebagai pertahanan diri, sebuah mata rantai baru akan menjalar dalam diam. Pakar risiko dan statistik, Nasim Nicholas Taleb, berkata bahwa cara paling sederhana bertahan pada hari-hari segenting ini adalah masker.

Tujuan utama masker bukan melindungi diri sendiri, tapi mencegah penularan kesepuluh orang potensial lain yang dapat mencegah penularan ke seratus orang potensial lain yang dapat mencegah penularan ke seribu orang potensial lain—dan efek berantai ini bermula dari satu orang positif yang cukup cerdas untuk percaya bahwa Corona adalah konspirasi elit global.

Sulawesi Utara harus memperketat waskita. Mendekati pesta demokrasi di pucuk Desember sama artinya membuka mobilisasi sosial besar-besaran yang hanya akan ikut meningkatkan mobilisasi Corona. Bahkan sebelum Pilkada Sulut (baik pemilihan gubernur maupun bupati) benar-benar dimulai, angka kasus Covid telah meningkat 700% dalam waktu dua bulan sejak PSBB dibuka. Apabila institusi penyelenggara demokrasi belum menemukan simulasi ideal beserta protokol yang ketat serta tak bisa menjamin masyarakat bisa berpartisipasi dengan disiplin, maka opsi paling rasional adalah mempersiapkan skenario terburuk. Kita tidak mau pandemi ini menyusup untuk ikut berpesta dalam demokrasi kita.

Di daerah asal saya sendiri, Bolaang Mongondow Raya, tampaknya Corona sudah “ilang begal” (tidak semengerikan dahulu). Beberapa kawan ada yang mengira bahwa Corona cuma mitos, beberapa sudah tak peduli soal jaga jarak dan masker, beberapa tahu Corona ada tapi yakin seribu persen bahwa dia tidak akan tertular. Meskipun kasus covid sudah terdeteksi di BMR, tapi semuanya dinyatakan sembuh dan belum ada korban jiwa sama sekali. Kita dapat memahami kenapa masyarakat BMR masih bisa bernapas lega sampai saat ini: wilayah ini belum menyaksikan dan mengalami dampak terburuk dari pandemi secara langsung.

Baru-baru ini, ketika kalimat ini sedang ditulis, kawan dari BMR menanyakan kapan saya pulang. Saya tidak tahu bagaimana kondisi di sana, tapi penilaian subjektif saya, tampaknya BMR merasa biasa-biasa saja. Tidak ada yang gawat. Semua tampak stabil. Namun, sekali lagi menurut Taleb, perasaan bahwa situasi sedang stabil dan baik-baik saja justru lebih berbahaya karena melemahkan kewaspadaan. Hal-hal tak terduga akan berdampak berkali-kali lipat kepada mereka yang merasa dunia sedang stabil-stabil saja. Yang membuat peristiwa 9/11 mengiris hati korban dan keluarga mereka adalah karena Pentagon merenggut nyawa korban di luar rencana dan pagi sebelumnya keluarga korban masih melepas orang yang mereka cintai keluar rumah dengan senyum seolah dunia masih ada besok hari.

Satu-satunya pilihan terbaik adalah mengambil untung dari ketidakpastian masa depan (l’avenis) dengan menyambut skenario terburuk daripada berharap akan ada skenario terbaik dalam jangka waktu dekat—setidaknya sampai kita benar-benar tahu kapan gelombang pertama berakhir.

Justru di zona paling hijau, langkah pencegahan harus lebih digalakan. Bahkan meski belum ada korban jiwa, pemerintah daerah baiknya mulai mendenda mereka yang tak bermasker dan ruang publik yang tak taat protokol kesehatan. Pemerintah dan partisipasi masyarakat harus berperan memelihara ketakutan dan kepanikan. Sebab dalam perang yang tak akan gampang dimenangkan, satu-satunya yang dapat diandalkan adalah ketakutan.

Penulis: Triwardana (Tyo) Mokoagow

 

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.