Politik Identitas (Bagian Dua)

0 761

BERANDAKOTA—Politik identitas secara teoritik berangkat dari asumsi bahwa kekuatan arus utama menggeser kekuataan minoritas. Di sini, kita membayangkannya sebagai pertarungan antar kekuatan politik yang biasanya berbasis suku, agama, gender, dan ras dalam satu payung “identitas nasional”. Identitas nasional yang dimaksud semacam ingatan yang mengendap di jantung setiap negara–bahasa bersama, cerita perjuangan, dan asal-asul yang membentuk pengalaman yang unik.

Identitas nasional tersebut dalam konteks sejarah indonesia menemukan dirinya dari pergumulan panjang dan berdarah-darah. Narasinya dibangun lewat refleksi intelektual dan politis demi membentuk satu kesadaran tunggal atas nama keberagaman. Di sisi lain, demokrasi memungkikan partai-partai berbeda lahir dan mengidentifikasi dirinya sebagai representasi identitas–baik yang relgius, nasionalis, nasionalis religius, dan lain sebagainya.

Namun pertanyaannya, sejauh mana politik identitas itu penting? Apakah secara moral kita bisa memprioritaskannya? Apakah ia tidak berbahaya bagi identitas nasional?

Bagi saya, politik identitas dalam hubungannya dengan identitas nasional membawa problem pada dirinya sejauh representatornya menggunakan narasi-narasi kebencian dan emosional. Dalam tulisan ini, saya akan membahas politik identitas menggunakan dayung Francis Fukuyama untuk menjalankan perahu saya seputar subjek ini.

Pada tulisan awal, Politik Identitas (Bagian Satu), saya sudah membahas definisi dan implikasi politis dan teoritis politik identitas. Dan untuk tulisan ini, saya akan membahasnya lebih jauh dalam hubungannya dengan konsep identitas nasional.

Identitas Nasional dalam Bayang-banyang Politik Identitas

Apa itu identitas nasional? Jawaban dari pertanyaan ini akan menunjukkan kepada kita relevansi dan keutamaan konsep ini dalam gagasan kontemporer filsafat politik negara modern.

Pertama, politik identitas adalah jaring pengaman sosial yang membuat setiap orang menatap dirinya lewat sejarah dan asal usul dirinya. Identitas nasional dimulai dengan kepercayaan bersama atas legitimasi sistem politik negara, terlepas dari apakah sistem itu demokratis atau tidak.

Selain itu, Identitas nasional pada umumnya dapat diwujudkan dalam undang-undang dan institusi formal yang menentukan bahasa apa yang akan dianggap sebagai bahasa resmi, atau apa yang akan diajarkan sekolah kepada anak-anak tentang masa lalu negara mereka.

Ia juga meluas ke ranah budaya dan nilai. Ini terdiri dari cerita yang sakral yang diwariskan tentang diri mereka sendiri: dari mana mereka berasal, apa yang mereka rayakan, kenangan sejarah bersama mereka, dan harapan mereka tentang apa yang diperlukan untuk menjadi anggota komunitas yang sejati. Namun kesadaran identitas ini bisa goyah jika kekuatan politis dari dalam menampilkan dirinya dengan wajah garang.

Hal ini seperti yang dicatat Francis Fukuyama dalam esainya In an age of identity politics, inclusive national identity matters more than ever: “Identitas nasional sangat penting bagi kekayaan negara modern. Identitas nasional yang lemah telah menjadi masalah utama di Timur Tengah yang lebih besar, di mana Yaman dan Libya telah terpecah menjadi negara-negara gagal. Demikian juga Afghanistan, Irak, Suriah dan Somalia–telah menderita akibat pemberontakan internal dan kekacauan.”

Negara-negara berkembang lain yang lebih stabil masih dihadapkan pada masalah-masalah yang terkait dengan lemahnya rasa identitas nasional. Ini adalah situasi di seluruh sub-Sahara Afrika, di mana isu-isu ini menjadi hambatan utama pembangunan.

Apalagi jika kita menengok kondisi negara-negara seperti Kenya dan Nigeria–yang terpecah secara etnis dan agama karena penekanan pada identitas masing-masing kelompok mengemuka. Stabilitas negara dipertahankan hanya karena kelompok etnis yang berbeda bergiliran memegang kekuasaan dan menjarah negara. Akibatnya, tulis Fukuyama, pembangunan ekonomi gagal dan tingkat korupsi serta kemiskinan begitu tinggi.

Berbeda misalnya dengan Cina, Jepang, dan Korea, ketiga negara ini memiliki identitas nasional yang sangat maju jauh sebelum mereka mulai memodernisasi. Dulu, sebelum konfrontasi dengan kekuatan Barat yang dialami ketiga negara pada abad kesembilan belas, salah satu alasan ekonomi China, Jepang, dan Korea Selatan dapat tumbuh dengan cara yang spektakuler pada abad ke-20 dan awal abad ke-21 adalah karena negara-negara ini tidak perlu menyelesaikan pertanyaan internal tentang identitas karena mereka membuka diri terhadap perdagangan dan investasi internasional.

Para pendukung politik identitas secara implisit menyangkal kemungkinan diskusi rasional yang dapat dilakukan dengan ramah oleh semua orang di masyarakat. Mereka menggantinya dengan gagasan bahwa pengalaman hidup seseorang dibentuk oleh ras, suku, jenis kelamin, atau orientasi bawaan. Jika itu benar, maka diskusi politik tidak ada artinya, karena tidak ada kelompok yang benar-benar dapat memahami satu sama lain.

Apakah masalah politik identitas saat ini membenarkan klaim Fukuyama bahwa bahwa demokrasi liberal belum memecahkan masalah thymos?

Thymos, jelas Fukuyama, adalah bagian jiwa manusia yang “sangat membutuhkan pengakuan atas martabat”. Di dalamnya mengandung dua komponen yang secara psikologis men-drive tindakan manusia, isothymia dan megalothymia. Isothymia adalah “tuntutan untuk dihormati atas dasar kesetaraan dengan orang lain”; dan megalothymia adalah “keinginan untuk diakui sebagai yang lebih tinggi”.

Isothymia tampak menjadi problem intrinsik demokrasi liberal karena konfrontasi yang nyaris abadi soal identitas. Seperti yang kita tahu, Idealisasi masyarakat demokrasi liberal menjanjikan suatu tatatanan dengan basis hak individu, supremasi hukum, dan hak pilih. Namun, hal ini tidak menjamin bahwa masyarakat dalam demokrasi akan senantiasa dihormati dalam praktiknya, terutama anggota kelompok yang memiliki sejarah penindasan. Bahkan, seluruh negara bisa merasa tidak dihormati dan mendorong sikap nasionalisme agresif. Oleh karena itu, menurut Fukuyama, Isothymia akan terus mendorong tuntutan untuk pengakuan yang setara, yang kemungkinan tidak akan pernah benar-benar terpenuhi.

Keragaman dan Kemajuan

Pada akhirnya, politik identitas mempolarisasi masyarakat cepat atau lambat. Ia memungkinkan kecurigaan terus-menerus atas kekuatan dari luar dan menghentikan segala urusan kebaikan bersama. Namun, jika politik identitas mempolarisasi masyarakat demokratis sampai ke titik yang tidak bisa kembali, apa jalan keluarnya?

Fukuyama menjawab pertanyaan itu dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment: “persyaratan universal untuk layanan nasional, baik militer maupun sipil, sehingga orang muda belajar untuk bekerja dengan orang-orang dari berbagai latar belakang dan membangun masyarakat mereka secara bersama”.

Di dunia kontemporer, keragaman dalam hal ras, etnis, agama, jenis kelamin, orientasi seksual dan sejenisnya merupakan fakta yang niscaya dalam kehidupan. Keragaman adalah anugerah, demikian Fukuyama, bagi masyarakat karena berbagai alasan. Pertama, cara berpikir dan bertindak yang berbeda seringkali dapat merangsang inovasi, kreativitas, dan kewirausahaan. Keragaman memberikan ketertarikan dan kegembiraan.

Kedua, keragaman sangat penting untuk ketahanan. Ahli biologi lingkungan menunjukkan bahwa tanaman monokultur yang diproduksi secara artifisial seringkali sangat rentan terhadap penyakit karena kekurangan keragaman genetik. Pada dasarnya, keragaman semacam itu adalah motor evolusi itu sendiri, yang bergantung pada variasi genetik dan adaptasi. Para ahli ekologi saat ini mengkhawatirkan hilangnya keanekaragaman spesies di seluruh dunia karena hal ini mengancam ketahanan biologis jangka panjang.

Namun keragaman bukan tidak rentan. Suriah dan Afghanistan faktanya adalah tempat yang sangat beragam, tetapi keragaman mereka telah menghasilkan kekerasan dan konflik daripada kreativitas dan ketahanan. Di Kenya, di mana ada perpecahan yang tajam antara kelompok etnis, keragaman memberi makan korupsi politik yang melihat ke dalam berdasarkan ikatan etnis.

Oleh sebab itu, dalam setiap perhelatan politik, baik pilpres maupun pilkada, cara ideal untuk menjaga kemajuan dan kebaikan bersama  adalah dengan mengutamakan identitas nasional ketimbang mengompori emosi orang-orang dengan identitas sukunya.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.