HUMANISME 101: Lawan sepadan dari Agama (Teisme) adalah (agama) Humanisme, Bukan Ateisme

0 557

BERANDAKOTA—JIKA Teisme mengajarkan bahwa “Tuhan” adalah sumber makna dan moral tertinggi, maka Humanisme mengajarkan bahwa “Manusia” itu sendiri adalah sumber makna dan moral tertinggi.

Jika Teisme mengajarkan “God is Good”, maka Humanisme mengajarkan “Good without God”.

Jika Teisme mengajarkan “Listen to your God” agar kau bisa membedakan yang baik dari yang buruk, maka Humanisme mengajarkan “Listen to yourself” agar kau melihat mana yang baik dan mana yang buruk.

Jika Teisme mengajarkan bahwa etika harus berdasar Teks-teks Suci, maka Humanisme mengajarkan bahwa dasar etika adalah argumen-argumen tak suci seperti: “viewpoint of eternity” Spinoza, “social contract” Hobbes/Rosseau, “categorical imperative” Kant, “veil of ignorance” Rawls, “view from nowhere” Nagel, “self-evident truth of equality” Locke dan Jefferson;

atau, sederhananya, kau hanya perlu memahami:

Golden Rule: “Jangan lakukan kepada orang lain apa yang kau tidak ingin mereka lakukan pada dirimu.” Silver Rule: “Jangan lakukan kepada orang lain apa yang tidak ingin kau lakukan pada dirimu sendiri.” Platinum Rule: “Lakukan kepada orang lain apa yang mereka ingin kau lakukan pada diri mereka.” dan aturan-aturan kuno hasil nalar manusia ini tidaklah bersumber dari (tapi sering diadopsi dan diperumit ke dalam, dan diklaim seolah berasal dari) kitab suci.

Kau ingin berlaku adil dalam ekonomi? Bacalah karangan manusia-manusia pendosa seperti Smith, Marx, atau Hayek. Itu lebih baik ketimbang kau mencari solusi ekonomi dalam Alquran, Alkitab, atau Kitab Mormon.

Tapi tenang, dalam baku-hantam tak kentara ini, Humanisme tidak harus menghapus Teisme secara total, melainkan, yang terpenting, hanyalah menggeser otoritas Tuhan dari seorang vocalist solo menjadi backing vocalist yang seringkali tidak berguna.

Apa maksud “backing vocal” di sini?

Ini seperti kau membangun gedung “ekonomi modern” lalu kau sekadar meletakkan simbol sabit, salib atau om di atasnya lalu kau menyebutnya sebagai “ekonomi islam”, “ekonomi kristen”, atau “ekonomi hindu”.

Ini seperti kau menerapkan demokrasi Pencerahan di tempatmu setelah melihat bahwa demokrasi masih lebih baik dari kediktatoran dan kerajaan lalu kau mencari satu saja kejadian kecil pada masa lalu di mana Nabimu, misalnya, pernah seolah “berperilaku demokratis” dengan rekan-rekannya lalu itu menginspirasimu untuk menyebut bahwa demokrasi seperti Pemilu adalah ajaran Tuhan.

Ini seperti kau mengakui HAM seolah-olah Teks-teks Suci telah mengajarkan HAM sebagaimana HAM yang tertera dalam teks tak suci Deklarasi HAM Sedunia.

SEMBARI menggeser otoritas Tuhan seperti itu, Humanisme juga sekaligus memuliakan pengalaman unik Manusia. Di sinilah krusialnya, karena kau akan menyadari bagaimana Tuhan tidak lagi dipakai bahkan sebagai backing vocalist moralitas.

Ambil contoh pengakuan kita terhadap aliran kepercayaan Animisme. Apa kau sungguh percaya bahwa basis dari pengakuan itu adalah ajaran Teisme? Apa Tuhanmu yang Pencemburu benar-benar menghendaki adanya tuhan-tuhan lain di sekitarnya?

Itu adalah ajaran Humanisme yang membuat kita ingin mengakui pengalaman spiritual unik orang lain yang berbeda dengan kita. Penganut Teisme sejati mana mau ambil pusing.

Tapi, katamu, banyak juga kalangan Teis yang ikut membela hak penghayat aliran kepercayaan itu.

Well, tanyakan ke mereka apakah mereka bertindak berdasarkan firman Tuhan atau berdasarkan hati nurani manusiawinya? Itu adalah dua sumber moral yang amat berbeda.

Mereka, kaum Teis yang ikut membela hak penghayat itu, pada dasarnya bukan lagi kaum Teis murni, melainkan kaum Teis yang sudah ter-humanis-kan. Mereka adalah kaum “Teis-heretis”.

Mereka, dalam konteks ini, adalah kaum Humanis yang masih memakai jubah Teisme, tapi tidak lagi terlalu mengandalkan firman Tuhan dalam amaliah mereka.

Mereka adalah orang-orang yang bisa kita harapkan membawa pembaruan dalam agama mereka, membawa pembaruan dalam Teisme ke arah yang “dilemahkan” tapi lebih berfaedah bagi kemanusiaan.

Merekalah orang-orang yang tengah berjuang di internal agama mereka sendiri dalam pertempuran tak kentara antara “Teisme yang mementingkan Tuhan” melawan “Humanisme yang mementingkan kemanusiaan.”

Sampai di sini jelas?

Ateisme bukan agama layaknya Teisme dan Humanisme. A-teisme hanyalah “sikap” dan “suara-suara” yang masuk akal di hadapan ketuhanan-yang-tak-bisa-dibenarkannya, bukan sebuah worldview tertentu apalagi sistem-tata-terorganisir. Tapi jika kau bertanya apakah ateis juga beragama atau tidak, jelas kebanyakan mereka berpedoman pada nilai-nilai Humanisme.

Penulis: Haz Algebra

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.