Tiga Senandika, dan 2 Puisi Lainnya Arther Panther Olii
TIGA SENANDIKA
[1]
Ruang Kelas
Hanya sepi, cahaya.
Engkau tak lagi menjamahnya
Mejaku berdebu rindu
Kursiku berdebu rindu
Lantaiku berdebu rindu
Mereka, kapan kembali?
Menyapu debu-debu rindu ini
[2]
Tiang Bendera
Indonesia selalu raya. Namun, kini aku kehilangan nyanyiannya. Berpasang bibir jenaka itu pulang ke dalam senyap. Terkungkung dalam penantian. Dalam jarak sentuhan yang kian. Anak-anak matahari, belajar tabah pada riuh hening graha. Lantas, menyebut nama ibu bapak agar sudi menjawab sejumlah tanya tentang kata dan bilangan.
Indonesia selalu raya. Dan aku terus berdiri di bawah langit berbau pandemi. Tanpa tahu, kapan jari-jemari mungil kembali bersetia menyentuh kening sembari tegap menatapku.
[3]
Lonceng Sekolah
Satu kata dan kerinduan padamu
Menghilang dalam genangan karat
Tubuhku dilumuri sesal
Muasal yang diderakan kecemasan
Di mana gempita tabuhan itu?
Pelabuhan rindu kehilangan pasang laut
Aku larut dalam penantian
Hanya bayangmu diembus angin
dan rona malam menghilang
di isakku
Manado, Juli 2020.
(2)
SENJA ARUMI DI PESISIR KARANG RIA
Ayah adalah jarak terdekat bagi rindu
Pelukan yang selalu ada di setiap kepulangan
Seperti senja ini, di pesisir karang ria
Arumi belajar menghitung usia
Tertatih langkah menangkap cahaya senja
Bunda adalah waktu terbaik bagi cinta
Kehadiran yang tak membilang kealpaan
Seperti senja ini, di pesisir karang ria
Arumi belajar merawat kata
Terseok langkah menyisir tapak boulevard
Arumi adalah nama terindah bagi hidup
Kenyataan yang selalu abadi hingga berabad kematian
Seperti senja ini, di pesisir karang ria
AyahBunda belajar menjadi sebuah sajak
Memantapkan makna menuju ufuk senja
Manado, 2018
(3)
PUKUL TUJUH WAKTU ARUMI
ayah hadir dalam stoples kaca
menjadi permen yang abadi manisnya
bunda berada dalam lemari es
menjadi minuman dingin yang abadi larisnya
ayah dan bunda setiap hari menjual kerinduan
setelah kenangan menjadi dagangan yang usang
dimakan kepahitan masa lalu
dan terbuang di selokan kegetiran
arumi adalah nama yang dipilihkan senja
berjalan lurus menuju pukul tujuh
menjadi nuansa malam paling bintang
menambah kilau stoples, menjaga kemanisan ayah,
menjaga titik beku bunda, menambah keelokan lemari es
ayah dan bunda setiap hari menjual kerinduan
arumi hadir di pukul tujuh
sebagai malam yang menyediakan
segala pelukan
nan pukau
Manado, 2018
Penulis: Arther Panther Olii
Arther Panther Olii adalah guru honorer di MTs Al Inayah dan SMA Muhammadiyah Manado. Menyiarkan sejumlah puisinya dalam sejumlah antologi puisi bersama nasional. Pernah menang lomba menulis puisi dan dibukukan dalam Antologi Amarah 2012 diterbitkan oleh Gramedia.