Politik Identitas (Bagian Satu)
BERANDAKOTA—Burhanudin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, pernah mengatakan begini sejak panas-panasnya Pilpres 2019:
“Politik identitas menjadi winning template yang biasanya dikawin-kawinkan dengan strategi post truth. Dianggap lebih bertuah secara elektoral jika dibandingkan dengan data dan fakta,” katanya dalam diskusi bertajuk “Populisme Agama dalam Demokrasi Elektoral 2019” (Kompas.com)
Pernyataan Burhanudin Muhtadi soal politik identitas dan hubungannya dengan post truth membenarkan klaim identitas yang lahir dari perasaan subjektif seseorang atau sekelompok orang terhadap dirinya dan posisinya behardapan dengan yang lain. Ontologinya begini: one’s sense of self and its persistence.
Lebih jauh, politik identitas dapat dipahami sebagai bentuk-bentuk politik yang mana mencuat kembali ke permukaan karena pengakuan identitas sebelumnya telah ditolak dalam politik–misalnya perempuan, kulit hitam, lesbians, agama, suku, dan lain-lain. Tuntutannya selalu diandaikan pada pangkuan “manusia universal” atau atas dasar atribut manusia yang sama.
Oleh sebab itu, prakondisi yang memungkinkan politik identitas selalu berangkat dari dominasi kelompok dominan dalam struktur masyarakat lewat kebijakan politik. Bagi beberapa pendukung politik identitas, keaslian identitas ini mencakup seruan ke masa sebelum penindasan, atau budaya atau cara hidup yang dirusak oleh kolonialisme, imperialisme, atau bahkan genosida.
Dalam konteks demokrasi, identitas menjadi suatu yang niscaya. Ia berjalan dalam logika perbedaan sebagai rumusan etis untuk kehidupan bersama. Tapi wadah demokrasi tak selamanya mampu mengakomodir perbedaan itu. Ia kerap meninggalkan celah yang rawan bagi kekuatan politik baru.
Celah itu yang memungkinkan Donald Trump menang pada pemilihan presiden Amerika Serikat pada November 2016. Ia menggunakan bahu masyarakat yang dominan di Amerika untuk mengalahkan lawannya. Orang-orang yang mendukungnya pun merasa diselamatkan dari ancaman kehilangan identitas.
Sementara Hillary Clinton yang dinilai terlalu mementingkan identitas kelompok-kelompok pendukungnya – LGBT, feminis, kulit hitam dan muslim – melupakan identitas rakyat yang mendominasi di Amerika Serikat. Kemenangan Donald Trump bagi pengamat politik Amerika Serikat merupakan hasil gerakan yang mengedepankan paham populisme berbasis pada orang-orang yang memiliki identitas dominan.
Selain Trump, hal ini bisa dilacak dari gejala global pasca kemenangan Victor Orban di Hungaria (2010), Brexit di Inggris (2016), Milos Zeman di Ceko (2018), dan Jair Balsonaro di Brasil (2018).
Tapi bagaimana dengan politik Identitas di Indonesia?
Mengutip Ma’rif dalam bukunya Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia: “di Indonesia politik identitas lebih terkait dengan etnisitas, agama, ideologi, dan kepentingan-kepentingan lokal yang umumnya diwakili oleh kepentingan elit lokal dengan artikulasi masing-masing”. Gerakan pemekaran daerah dapat dipandang sebagai wujud politik identitas tersebut. Isu-isu tentang keadilan dan pembangunan daerah merupakan isu sentralnya.
Namun idealisasi dari politik identitas tak selamanya mempunyai niat yang etis. Contoh memilukan adalah Ahok. Ia dituduh menodai agama agar jatuh dalam kontestasi Pilgub ibukota. Tuduhan (yang agak dipaksakan itu) memicu gerakan massif politik identitas atas nama agama.
Untuk melihatnya lebih jelas, kita dapat membayangkan politik identitas sebagai respon bahkan bentuk perlawanan atas identitas dominan dalam suatu masyarakat. Sebagaimana dijelaskan di atas, tujuannya adalah asumsi ideal manusia universal, kalau bukan niat etis. Respon ini bisa muncul dengan beragam gerakan politik. Tapi di sinilah masalahnya. Bagi saya, respon ini memberi dua kemungkinan. Pertama respon etis, kedua respon pragmatis.
Respon etis selalu adalah tuntutan kepada kekuasaan untuk memperhitungkan identitas suatu kelompok dalam suatu masyarakat. Ia bisa tampil dalam bentuk apapun–suku, agama, gender, ideologi dan lain sebagainya.
Seperti budaya penduduk asli Amerika yang telah dibongkar melalui perang, penjajahan paksa, dan kebencian. Dalam sejarah, keberadaan mereka sering kali direduksi menjadi pengingat masa lalu yang jauh. Sejarah penduduk asli ini kemudian menciptakan ingatan yang mengerikan bagi komunitasnya. Mereka dilucuti dari budaya, tradisi, tanah, dan komunitas mereka. Jadi tidak heran, dalam kontestasi politik, latar sejarah komunitas semacam ini bisa mengemuka sebagai dasar etis menuntut untuk diperhitungkan, diakui, dihargai, dan seterusnya. Dalam psikologi, Ini disebut nativisme. Nativisme merupakan term dalam psikologi yang menggambarkan keinginan subjek untuk kembali pada asal-usulnya (native). Para pemikir serta pejuang pascakolonial menggunakan nativisme sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme.
Selain itu adalah persoalan rasisme. kematian George Floyd pada Mei lalu membuat Amerika terbakar. Puluhan ribu orang telah berdemonstrasi di lebih dari 75 kota di AS untuk memprotes. Pria keturunan Afrika yang meninggal pada 25 Mei di Minneapolis ini karena seorang polisi berkulit putih berlutut di lehernya, sampai ia kehilangan napas.
Tindak kekerasan tersebut kemudian memperkuat persepsi warga Amerika kulit hitam bahwa rasisme di Amerika masih subur. Gerakan Black Lives Matter (BLM) pun turun kembali ke jalan mewakili dan membawa nama identitas ras kulita hitam. Di Indonesia, sebagian publik membandingkan isu ini dengan isu Papua, dan memunculkan tagar #PapuanLivesMatter di media sosial.
Pada dasarnya politik identitas adalah baik. Tergantung konteks dan tujuannya. Indonesia dalam sejarahnya membentuk ideologi sebagai jaring pengaman bernama nasionalisme. Gagasan ini dimulai oleh sekelompok pemuda lewat organisasi Budi Utomo sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme mewakili keberagaman rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, politik identitas mengukuhkan satu pandangan dunia demi mencapai suatu tatanan yang diinginkan.
Berbeda dengan respon etis, respon pragmatis sering tampil dalam perhelatan pemilu di Indonesia. Kasus Ahok disebut-sebut oleh para pengamat politik sebagai politik identitas atas nama agama. Ahok tak berkutik dengan emosi massa yang dimainkan oleh elit-elit politik yang berkepentingan meraih kursi kekuasaan. Isu-isu yang dimainkan oleh mereka tak memandang kerusakan dan keretakan di masyarakat. Apapun, selama bisa dijual dan menopang kepentingan, absah untuk digunakan.
Orang-orang yang mendukung pun tak peduli dengan data dan fakta yan ada, karena emosi mereka terlanjur dimainkan dengan isu agama. Selain politik identitas, ini membuktikan apa yang disebut Burhanudin Muhtadi sebagai strategi post truth.
Dalam konteks demokrasi, strategi post truth sendiri membatalkan rasionalitas politik. Ia membuat orang-orang percaya apa yang ingin mereka percayai, memilih kandidat yang ingin dipilih atau karena ia adalah bagian dari komunitas kami. Oleh sebab itu, kecenderungan ini tidak membuat apa yang ingin dipercayai akan menjadi benar. Sebab, sekali lagi politik selalu mengandaikan keadilan dengan jalan rasionalitas untuk kepentingan bersama tanpa mengabaikan dan memprioritaskan identitas sebagian.