Ngopi di Beranda Bersama Dearizka Bachmid
BERANDAKOTA-Sebagian dari kita tentu tahu film La La Land, yang dibintangi oleh aktor Ryan Gosling dan aktris Emma Stone yang meraih 14 nominasi Oscar 2017 dan memenangi enam kategori di antaranya. Dalam film La La Land, kita bisa melihat imajinasi cinta yang dibangun cukup tinggi antara Sebastian dan Mia. Namun yang paling penarik dari keseluruhan carita yang bisa kita petik dari film ini adalah Sebastian dan Idealismenya di hadapan realitas keseharian.
Sebastian yang pada awalnya tak akan menaruh hati pada wanita yang tak menyukai musik jazz karena baginya jika menjalin kasih bersama seorang wanita yang tak menyukai musik jazz, tentu hari-harinya akan dilewati dengan obrolan yang membosankan. Namun pada akhirnya Mia yang tak menyukai musik jazz membuatnya jatuh cinta.
Memasuki babak akhir film tersebut, La La Land semakin menampakkan sebuah realitas pada kehidupan sehari-hari yang sebagian banyak dari kita mengalaminya. Ketika Sebastian dan Mia sedang makan malam, ia bertemu dengan kawan lamanya, Keith (John Lennon). Keith menawarkan sebuah tawaran untuk kembali manggung bersama dalam sebuah band, dengan catatan musik yang dihadirkan bukanlah jazz murni seperti yang diperjuangkan Sebastian selama ini.
Di sinilah letak pergulatan batin Bastian yang sangat idealis atas jazz murni. Ia yang sebelumnya tak peduli apakah orang-orang akan menyukai jazz yang dibawakannya atau tidak, ia tetap senang melakukannya, Ia menikmati hidup melampuai dunia aktualnya.
Sama seperti Sebastian, mitos Sisifus yang ditulis oleh Albert Camus juga menjalani hidup dengan cara yang nyaris sama. Karena suatu kesalahan, para Dewa di langit menghukum Sisifus untuk terus menerus mendorong sebuah batu besar sampai ke puncak sebuah gunung. Dari puncak gunung batu besar itu akan jatuh ke bawah oleh beratnya sendiri. Para Dewa menganggap bahwa tak ada hukuman yang paling cocok bagi Sisifus kecuali pekerjaan yang rutin, membosankan itu.
Tak jauh beda dengan Sisifus dan Sebastian, Dearizka Bachmid adalah perempuan dengan rutinitas yang bagi sebagian orang melelahkan. Ia adalah PNS di Pengadilan Negeri Amurang yang bertahan dengan Idealisme dan rutinitasnya. Namun ia sanggup membangun makna untuk menutupi rutinitas itu dengan cara sedemikian rupa.
Berikut adalah petikan bincang Berandakota dengan gadis yang akrab disapa Dea.
Halo Dea, apa kabar?
Alhamdulillah,sangat baik.
Apa kesibukan Dea sekarang?
Sekarang mengabdikan diri di Pengadilan Negeri Amurang. Disamping melanjutkan Study juga di Pasca Sarjana Unsrat, sambil terus megasah kemampuan sebagai calon hakim.
Wah. Anak Hukum. Alumni Universitas mana, Dea?
Universitas Indonesia.
Mengapa mengambil jurusan Hukum?
Sebenarnya dulu sempat dilema antara mengikuti jejak ayah atau ibu Dea. Ayah alumni hukum sedangkan ibu, ekonomi. makanya saat itu, Dea mengikuti ujian tulis SMPTN untuk kampus UI dan UGM.Pilihan Hukum dan Ekonomi. Alhamdulillah lulus di UI, Fakultas Hukum. Mempelajari ilmu hukum seperti jatuh cinta dengan teman sepermainan. karena Dea tumbuh dengan melihat ayah yang sehari-hari menggeluti dunia hukum, sehingga ketertarikan tentang dunia hukum muncul begitu saja. CLBK (Tertawa)
Ya, faktor pembentuk, termasuk lingkungan dan keluarga memang berpengaruh terhadap pengambilan-pengambilan keputusan dalam hidup. Oh ya Dea, Semasa kuliah, Aktif di organisasi?
Dea ikut organisasi HMI, Serambi, sama Lembaga Kajian dan Keilmuan LKK. Serambi itu lembaga kajian keagamaan di dalam fakultas. Sedangkan LKK itu lebih ke pembahasan isu-isu terkini, yang aktua lah. Dan Dea sendiri di bidang pengembangan sumber daya manusia dan organisasinya di situ. Tapi secara keseluruhan Dea lebih banyak berkegiatan di HMI. Sebab Dea bendahara umum selama dua tahun di HMI.
Sebagai mahasiswa yang punya latar belakang aktivisme, tentu Dea punya minat terhadap isu-isu sosial. Apakah sekarang setelah lulus kuliah dan bekerja sebagai ASN minat itu masih ada?
Tentu masih ada. Biasanya kalau ada isu-isu yang hangat, Dea dan teman-teman ngumpul dan ngobrol soal itu. Tapi tentu analisisnya harus proporsional dan cover both side. Dea sangat hati-hati mendiskusikan apa pun baik di ruang-ruang intelektual atau di media sosial. mungkin mendiskusikan peta masalah dan solusi lebih baik daripada menuding.
Problem sebagian aktivis yang masuk ke dunia birokrasi adalah hilangnya keberanian menyuarakan isu-isu sosial. Setuju?
Tidak juga, tergantung orangnya. Hari ini banyak ASN yang berangkat dari dunia aktivisme. Dan mereka speak up dengan persoalan-persoalan yang menurut mereka adalah masalah. Entah itu isu-isu sosial atau program yang tidak pro rakyat. Artinya nalar kritis itu tidak akan pernah mati. Memberikan solusi-solusi dalam bentuk program, evaluasi dan ide inovatif juga adalah salah satu cara berjuang dari dalam sistem.
Ada dua hal, yang sulit diterjemakan secara objektif, Dea. Pertama adalah kata “Terserah” yang keluar dari mulut perempuan dan yang kedua adalah merubah sistem dari dalam.
Bukan soal baik dan buruknya sistem, tapi siapa yeng menjalankan sistem itu. Interview ini serasa debat yah, Kak. (Tertawa)
Tidaklah, kadang-kadang ada improvisasi, biar percakapan menjadi menarik. Tapi sebelum gelas kopi dan meja benar-benar berhamburan, kita bahas yang ringan-ringan saja. Bagaimana Dea membagi waktu kerja sambil kuliah?
Aman saja sih. Pagi Dea kerja, siang malam kuliah. Sedangkan sebelum tidur, main PUBG atau Mobile Legend (Tertawa)
Apakah Dea punya tokoh perempuan idola yang menginspirasi hidup?
Ya, punya. Tapi tidak dalam arti sangat atau fanatik menyukainya. Emma Watson dan Enola Holmes. perempuan cantik sekaligus cerdas. Sosok perempuan yang independen, mandiri. Rebels dan penuh rasa ingin tau.
Adakah film yang mempengaruhi hidup Dea secara langsung?
Mulan. Dea seperti melihat diri Dea dalam sosoknya. Sebagaimana ia di film yang barusan tayang, adalah sosok yang terikat budaya karena perempuan. Dalam film itu, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang lemah dan dependen. Tapi ia membuktikan bahwa perempuan tidak sebagaimana anggapan dan kepercayaan masyarakat di masa itu. Dari semua keterpurukan yang ia alami, ia membuktikan dalam dirinya bahwa ia punya semacam the best version of her. Ia terlibat perang, bahkan satu-satunya perempuan yang menjadi komandan perang besar.
Dea bilang bahwa Dea melihat diri Dea dalam sosok Mulan. kongkritnya seperti apa?
Secara umum anggapan soal perempuan itu kan kita tahu bersama, masih dianggap nomor dua ketimbang laki-laki. Dea cenderung menyukai cara Mulan yang melawan anggapan itu secara langsung, melawannya lewat sikap mandiri atau independen. Dea percaya perempuan itu harus eksis sebagai mahluk yang equal dengan laki-laki. Mulan, Emma dan Enola adalah orang-orang yang mendobrak sistem. Meskipun kisah fiksi, tapi semangat perjuangannya nyata. Rebels yang positif.
Apa arti perjuangan menurut Dea?
Perjuangan itu upaya menggapai Impian dan Harapan. Ada gagal dan berhasil dalam perjuangan. Namun gagal dan berhasil juga pada akhirnya merupakan sebuah proses. Karena ada pelajaran dan pengaman yang bisa kita ambil dari situ. Perjuangan berhenti ketika kita mati. Dulu Dea sering dianggap sebelah mata. Dea jadikan itu motivasi agar menjadi manusia yang lebih baik. Saat ingin mendaftar di UI banyak kawan-kawan yang menganggap itu cita-cita yang terlalu tinggi. Dan Dea membuktikan itu. Mengugurkan anggapan negatif. Dea pernah ditanya oleh guru SMA akan berkuliah di mana setelah lulus. Dea jawab UI. Guru itu menanggapi balik, “yang penting harus realistis”. Entah pernyataan itu menyinggung kemampuan Dea atau tidak, yang jelas kami dulu diukur berdasarkan nilai dengan membandingkan nilai Dea dengan senior Dea berdasarkan kampus yang dipilih.
Nah, Dea kan kerja di Amurang dan tinggal di sana, bagaimana Dea beradaptasi dengan lingkungan sekitar?
Soal beradaptasi mungkin mudah ya. Sebab Dea sudah pernah tinggal di Manado, Kotamobagu, Merauke, dan Padang. Pengalaman melalang buana ini mungkin yang membuat Dea merasa mudah beradapatasi.
Apa kesulitan yang Dea hadapi ketika menjadi ASN seperti sekarang?
Mungkin kalau disebut kesulitan konotasinya negatif ya. Dea lebih suka menyebutnya tantangan. Dan tantangan itu adalah Dea sebagai calon hakim. Selain itu, ASN terikat dengan sumpah jabatan, maka Dea harus bersiap untuk ditempatkan di mana saja. Dan konsekuensinya Dea bisa jauh dengan keluarga. Itu tantangan terberat yang Dea rasa.
Faktor eksternal yang paling memengaruhi pola pikir dan pandangan hidup Dea?
Pastinya pendidikan ya. Apalagi waktu Dea di Cendekia, yang membuat Dea harus beradaptasi lebih banyak karena harus jauh dengan orang tua. Mengingat sistem pendidikanya boarding school, maka harus begitu. Dan itu lumayan melelahkan. Dari situ, Dea lanjut sampai lulus kuliah hingga menjadi ASN seperti sekarang. Konstruksi berfikir Dea saat ini adalah hasil akumulasi panjang. Baik Benturan-benturan hidup, fenomena yang terjadi di sekitar, maupun pendidikan.
Bekal ini cukup sebagai seorang Hakim nantinya, Dea?
Belajar tidak mengenal kata berhenti. Jika ditanya apakah bekal saat ini cukup, tentu jawabanya belum. Mungkin hukum secara teoritis sebagai kebutuhan dalam persidangan, iya. Tapi menurut Dea, seorang hakim tidak hanya wajib menguasai undang-undang dan instrument hukum lainnya. tapi punya pandangan hidup yang komplit. Menjalani hidup bermasyarakat yang penuh dengan kompleksitas. Sehingga memiliki berbagai perspektif dalam melihat sebuah kasus. Tidak melihat dengan kacamata kuda, dan tentu kebal dengan godaan-godaan dari pihak yang coba memanipulasi proses hukum. Artinya ia harus selesai dengan dirinya dan dunia luar. Kemudian mampu secara objektif menyelesaikan masalah orang lain.
Luar biasa Dea, Semoga kelak menjadi hakim yang adil. Hakim dalm artian yang sebenar-benarnya. Terima kasih sudah menyempatkan waktu dan kesempatan untuk ngopi di Beranda Kota. Meski Dea lebih memilih ice tea dibandingkan kopi hitam. Semoga sukses selalu.
Terimakasih sudah mengundang, Sukses juga buat Berandakota.