Adlan Ryan Habibie: Bagaimana Kenyamanan Menciptakan Kemunduran?

0 1.196

Minggu ini Berandakota mewawancarai tokoh muda sekaligus Ketua PDPM Kota Manado, Adlan Ryan Habibie. Ia juga adalah pembelajar dan pembaca buku yang serius tetapi gampang bercanda.

Dalam wawancara kali ini, Berandakota tidak hanya mengulik pandangannya ihwal pemikiran dalam dunia Islam, tetapi juga kebiasaan dan hobinya. Dan menariknya, ia memiliki kebiasaan dan kesenangan yang unik dan brangkali semua teman-temannya tahu itu.

Berikut adalah bincang-bincang Berandakota dengan Adlan Ryan Habibie.

 

Halo, apa kabar, Bung Adlan?

Alhamdulilah, sedang baik-baik.

Aman kompleks?

Aman.

Apa kesibukan anda sekarang?

Untuk sekarang saya sedang mengurus organisasi, dalam hal ini Pemuda Muhamadiyah. Selain itu, bantu-bantu juga Remaja Mesjid di kampung saya.

Mengurus dalam hal apa anda di Pemuda Muhammadiyah?

Saya dipercayakan sebagai Ketua PDPM Kota Manado.

Ampun ketua. Selain itu, ada aktivitas lain?

Aman anak buah. (Tertawa) Sebelumnya saya pernah mengajar. Itu di kampus STIKES Muhammadiyah Manado dan IAIN Manado. Namun karena segala perubahan yang diciptakan oleh Corona dalam cara kita berinteraksi sehari-hari, saya memilih untuk istirahat sementara. Dan anda tahu kan, mengajar daring itu tidak seintens sebagaimana kita mengajar tatap muka.

Dulu kuliah di kampus mana, Bung Adlan?

Saya S1 di STAIN Manado, IAIN Manado sekarang. Pada 2007 saat masuk kuliah, saya ingin masuk ke fakultas ushuluddin, sebab fakultas itu berhubungan dengan pemikiran Islam. Tetapi karena fakultas tersebut belum ada, maka saya mengambil jurusan peradilan agama. Keinginan saya itu terpenuhi saat saya melanjutkan S2 di UIN Sunan Kalijaga, Jogja. Saat dites, saya disuruh pilh dua program studi, filsafat Islam dan studi Qur’an Hadis. Dan entahlah, takdir membawa saya ke filsafat Islam. (Tertawa)

Apakah jauh sebelumnya, yakni sebelum anda kuliah di universitas Islam, minat anda terhadap ilmu keislaman itu sudah ada?

Kalau diceritakan memang agak panjang. Dulu saya tinggal dengan kakek saya, dan beliau dalah salah satu tokoh di Sulawesi Utara (Sulut), mantan Ketu MUI dua priode. Dengan demikian, buku-buku yang saya baca waktu itu adalah buku kakek saya seperti tafsir Al-Qur’an, Majalah Umat, Mimbar Ulama dan lain sebagainya. Ada beberapa juga buku pemikiran, dan yang sempat saya baca adalah bukunya Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, yang diterjemahkan oleh Goenawan Mohamad dkk.

Semoga kelak anda menjadi ulama yang mencerahkan umat. Amin. Saat kuliah aktif di organisasi?

Waktu S1 saya aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sulut. Saat S2 masih aktif juga, namun dipercayakan sebagai DPD IMM.

Tampaknya posisi-posisi yang anda lalui sampai kini, adalah posisi-posisi yang strategis (?)

Saya tahu maksud anda. Kalaupun demikian, mungkin saya sudah menjadi staf di lingkungan pemerintahan. (Tertawa) Namun buktinya tidak kan, kesibukan saya ya, begini-begini. Posisi-posisi itu saya ambil karena saya merasa terpanggil saja untuk berhikmat di Muhammadiyah, atau di organisasi otonomnya.

Melihat corak berpikir anda dan segala yang terkait dengan itu semua, bagaimana anda memandang persepsi orang-orang bahwa universitas Islam konon bukan malah mengajarkan Islam yang benar, tetapi justru menjauhkan orang-orang dari Islam itu sendiri?

Tidak juga demikan. Namun seperti itulah di dunia akademis berdasarkan pengalaman saya. Di dalamnya terdapat beragam corak berpikir, entah itu yang kiri, liberal, konservatif dan lain sebagainya. Selain itu, di Jogja mesjid masih selalu penuh dengan mahasiswa dari universitas Islam. Artinya apa? Orang-orang di luar kampus hanya menilai corak berpikir sebagian, padahal ada banyak di dalamnya. Kemarin, ada disertasi yang diangkat di UIN Sunan Kalijaga dan mengundang polemik karena mengangkat tentang hubungan seks di luar nikah. Namun kan sebagai masyarakat kampus, penulis tentu punya tanggung jawab ilmiah untuk menulis persolan itu.

Apakah anda pernah sepakat dengan pemahaman-pemahaman semacam itu? Dalam artian pernah keras alias konservatif.

Ya, kalau dulu pernah menjadi orang yang kagetan juga membaca pemikiran-pemikian yang agak kritis, ya. Namun semenjak masuk perguruan tinggi, apalagi di Jogja yang basis keilmuan dan literaturnya sangat kuat, saya sadar bahwa pemikiran kritis dalam Islam itu wajar bahkan perlu. Jadi orang-orang di luar sana yang masih suka kagetan, barangkali mereka belum banyak menyentuh dunia gagasan yang cukup banyak terkait ajaran Islam.

Kalau boleh tahu, apakah anda sudah merasa diri telah melampaui konservatisme?

Kalau persolaan kategori posisi, saya barangkali belum bisa memastikan ada di mana. Namun yang terpenting, akses atas bacaan mesti terus berlanjut. Lagi pula, saya juga masih bagian dari Muhammadiyah yang mana di dalamnya bukan tanpa perbedaan pandangan. Artinya untuk saat ini, saya adalah orang yang terbuka untuk beragam pemikiran.

Bukankah itu posisi yang kurang nyaman dalam dunia pemikiran?

Pertnyaan anda berbahaya. (Tertawa) Salah satu kemunduran bagi saya adalah ketika kita sudah merasa nyaman dengan pemikiran kita di tengah jagat pemikiran. Apalagi selalu ada pemikiran baru yang lahir, dan kita berdiam dan terikat dengan satu pemikiran tanpa meninjau lagi. Ini yang saya maksud kemundran bahkan rentan ketinggalan zaman. Salah satu gagasan toleransi yang dikampanyekan saat ini saya pikir juga perlu ditinjau lagi, artinya harus mampu keluar dari kotaknya sendiri dan melihat perkembangan zaman yang ada.

Sebagai tokoh muda serta ketua PDPM Kota Manado, bagaimana anda melihat masalah kebangsaan saat ini, khususnya terkait toleransi beragama?

Untuk masalah kebangsaan, saya pikir ada banyak, ya. Apalagi soal korupsi yang tak pernah padam bahkan di tengah pandemi. Terkait masalah toleransi di negara ini, bagi saya butuh kerja keras. Saya berharap setiap stakeholder di masyarakat terlibat dan berperan aktif menjaga itu, seperti bagaimana merumuskan suatu konsep toleransi yang benar-benar berangkat dari basis kebebasan–basis di mana hak milik ditetapkan sebagai jangkar etis di tengah perbedaan. Ini sekiranya dapat dimengerti oleh mereka. Itu saja dulu. Kalau dalam konteks Sulut, kondisinya tampak saat pilkada kemarin di mana penekanan pada identitats kelompok diperkuat demi kepentingan pragmatis. Selain itu masalah tempat ibadah yang sempat ramai, meskipun segera diatasi oleh pihak yang berwajib. Untuk keseluruhan, saya masih optimis dengan Sulut dengan filosofinya “Torang Samua Basudara”.

Untuk saat ini, program-program seperti apa yang sedang dilakukan Pemuda Muhammadiyah?

Saat ini, saya sedang melakukan penjajakan kerja sama dengan IAIN Manado, tetapi saya berharap lebih luas lagi kerja samanya. Untuk program, rencananya akan dimulai di internal umat Islam terlebih dahulu, semisal mengadakan pertemuan dengan seluruh organisasi kepemudaan Islam dan membicarakan tetang moderasi beragama dalam konteks Sulut.  Saya juga berencana membuat pelatihan khatib dalam rangka menciptakan khatib yang menyampaikan khotbah yang berisi kebaikan dalam beragama. Program-program ini pada dasarnya bagian dari kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah terkait moderasi Islam.

Dari semua jenis kesibukan serta karakter berpikir, apa sebenarnya hobi seorang Adlan Ryan Habibie?

Ba kumpul deng tamang-tamang. (Tertawa)

Katanya anda ini hobi ngaji di mana pun anda berada (?)

Iya. Apalagi saat di atas motor. (Tertawa)

Siapa tokoh favorit anda?

Susah juga, ya, menentukan tokoh favorit. Sebab, di satu sisi ia punya kelebihan, di lain sisi juga punya kekurangan. Kebetulan saya saat ini sedang membaca buku-bukunya Yudian Wahyudi, mantan rektor UIN Sunan Kalijaga. Bukunya tipis, tetapi saya suka ulasan-ulasannya yang mendalam.

Kalau buku favorit?

Logika Ushul Fiqh. Dikarang oleh Profesor Abu Yazid, guru besar UIN Sunan Ampel.

Apa yang membuat buku itu menjadi buku favorit anda?

Buku itu membicarakan pertautan antara wahyu dan akal berlandaskan pada maqashid syariah atau tujuan-tujuan dari syariah itu sendiri. Pembahasannya cukup lengkap untuk buku sekelas ushul fiqh. Bahkan yang menarik, ia merujuk pendapat salah satu ulama Al-Azhar Mesir bahwa 90% teks Al-Qur’an lebih banyak membuka ruang ijtihad atau pengoptimalan akal, sedang sisanya tinggal membicarakan hal-hal yang sudah qath’i, absolut.

Tunggu, sebelum megakhiri obrolan ini, saya mau tanya lagi soal hobi ngaji tadi. Sejak kapan suka ngaji di atas motor?

Memang itu kebiasaan saya sejak masih SMA. Mengaji sendirian, bahkan saat sedang berkumpul dengan teman-teman. Alasan lainnya yah, itu cara  saya melatih diri bagaimana membaca Al-Qur’an yang baik dan benar.

Terkahir, apa pesan anda bagi pembaca Berandakota?

Tetap tebarkan kebaikan di mana pun anda berada.

Terima kasih atas waktu dan kesempatannya, Bung Adlan. Sukses terus dalam menyebarkan kebaikan kepada semesta.

Sukses juga untuk Berandakota.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.