Niat Sekeras Besi, Sesudah Itu Berarti

0 1.601

Niat besar membuat seseorang dapat menerobos batasannya. Ia menyadari bahwa ada ratusan bahkan ribuan kemungkinan yang bisa mengantarnya ke masa depan yang cerah. Namun kemungkinan itu akan lebih besar sejauh itu dilalui lewat pendidikan. “Arah yang diberikan pendidikan mengawali hidup seseorang. Itu menentukan masa depannya,” demikian kata Platon, filsuf besar Yunani.

Berandakota kali ini bercakap dengan salah satu tokoh muda sekaligus intelektual progresif asal Bolaang Mongondow, Hamri Mokoagow. Ia juga saat ini adalah Ketua PC. GP Ansor Kotamobagu dan satu dari tujuh Komisioner KPID Sulawesi Utara.

Siapa ia saat ini bukan tanpa kisah perjuangan yang memilukan. Dan itu dimulai saat ia masuk di Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Ia adalah anak kampung yang menciptakan nasibnya dengan niat sekeras besi. Makan seadanya sebagai mahasiswa nomad—menumpang sini-menumpang sana di kos teman-temannya. Penasaran?

Berikut adalah bincang-bincang Berandakota dengan Hamri Mokoagow.

Pengambilan sumpah dan janji anggota KPID Provinsi Sulawesi Utara Periode 2021-2024.

Halo, apa kabar, Bang Hamri?

Baik, alhamdulillah. Masih diberikan kesehatan dan dilancarkan segala urusan.

Apa kesibukan sekarang?

Sekarang sibuk mengurus Ansor dan di kesibukan baru saya, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Utara (Sulut).

Pasti melalui proses yang tidak mudah hingga sampai ke posisi sekarang.

Memang. Tetapi saya sendiri merasa punya kemampuan sejak saya SMA. Saya masuk Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan juga katif di Badan Taskir Akbar Bolaang Mongondow (Bolmong). Kemudian saya masuk Universitas Negeri Gorontalo (UNG), mengambil jurusan teknik. Namun itu hanya sampai semester tiga, dan kebeteluan waktu itu saya menjabat sebagai sekretaris Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Lalu saya pindah jurusan lain: Fakultas Ilmu Sosial. Di jurusan ini, saya masuk organisasi PMII dan menjabat sebagai ketua bidang kaderisasi, saya berkiprah di dalamnya. Sempat juga ditawari menjadi ketua, namun saya tidak maju sebab waktu itu saya menjabat sebagai ketua sekaligus pelopor Forum Pelajar Mahasiswa Indonesia Kotamobagu (FPMIK) priode pertama 2007-2009 di Gorontalo.

Bagaimana bisa tertarik dengan PMII, bukankah ada beberapa pilihan organisasi besar?

Sebenarnya PMII sama misalnya dengan HMI, sama-sama bergerak di wiliayah pemikiran dan pergerakan. Namun karena saya ini anak rantau dengan kondisi ekonomi terbatas, maka saya masuk PMII. Artinya saya lahir dari keluarga kelas menengah ke bawah—ibu, guru SD, ayah petani, sesekali menarik bentor. Pokoknya saya kelihatan tidak layak kuliah S1 dengan kondisi demikian. Tetapi apa hubungannya? Bagaimana bisa kondisi ekonomi terbatas memungkinkan saya masuk PMII? Begini. Saat itu, kebutuhan saya di kos sedang sekarat-sekaratnya. Saya bertahan dua hari tanpa beras. Merenung seperti kehilangan arah sambil mendengar erangan perut karena lapar. Namun Tuhan berkehendak: teman saya lewat di depan kos, namanya Rahmat Samadi. Ia menghampiri, “Hei, mengapa bingung?” Tanyanya, “Mending ikut saya ke kegiatan pengkaderan PMII.” Saya masih bertanya-tanya perkara kegiatan itu. Tetapi ia paham apa yang saya butuhkan. “Nanti kamu dapat makan di kegiatan itu,” bisiknya. Saya pun ikut dengannya dengan harapan rasa lapar saya raib. Setelah makan, ia menahan saya. “Jangan buru-buru pulang,” katanya, “Nanti setelah salat Isya, ada makan malam.” Dengan tabah saya mengikuti jalannya kegiatan sampai kemudian terperangah mendengar isi materi dari Samsi Pomalingo, salah satu dari 100 dosen terbaik dunia sekaligus intelektual asal Gorontalo. Ia adalah dosen perbandingan agama dan saat itu membawakan materi Islam Indonesia. Dari situ, tujuan awal yang cari makan seketika berubah. Saya mengikuti penuh kegitan itu selama tiga hari. Minat saya terhadap pemikiran Islam pun mulai tumbuh. Rasa lapar yang berujung pencerahan.

Berarti banyak ikut aksi setelah sah menjadi kader PMII?

Saya sangat aktif. Banyak terlibat aksi-aksi jalanan, advokasi, dan lain sebagainya. Pernah dengar Tragedi 2009 Jilid II? Hal itu sebagai aksi atas kedatangan Budiono ke Gorontalo. Saya bersama teman-teman PMII dan HMI melakukan aksi besar-besaran atas kasus Bank Century di mana Budiono dan Sri Mulyani terindikasi di dalamnya. Aksi tersebut membuat kami bahkan sampai berkonflik dengan Polda Gorontalo. Tiduran di jalanan hingga masuk-keluar penjara sudah saya lalui.

Anda bisa dibilang aktivis tulen.

Entahlah, namun seperti itu kisah kuliah S1 saya di Gorontalo.

Bagaimana pandangan Anda bahwa menjadi aktivis itu berarti terasosiasikan dengan kuliah berantakan?

Saya harus mengatakan bahwa hal itu tidak sepenuhnya benar. Saya meskipun aktif berorganisasi saat S1, IPK  saya 3,74 dan menjadi wisudawan terbaik ketiga tingkat fakultas dan universitas. Tidak hanya itu, saya bahkan ditawari beasiswa oleh UNG untuk melanjutkan studi. Saya tidak mengambilnya karena syarat beasiswa tersebut adalah setelah lulus pulang kembali mengabdi di universitas. Sementara saya sendiri ingin mengabdi di daerah, sebab saya pikir Sumber Daya Manusia (SDM) di Bolmong masih sangat kurang. Selain itu, saya juga pernah mewakili universitas untuk lomba karya tulis ilmiah se-Indonesia Timur. Kebetulan tulisan saya masuk kategori terbaik sebagai finalis karya tulis ilmiah nasional di Universitas Sebelas Maret di Solo dan dibukukan dalam buku kumpulan tulisan. Dan alhamdulillah, saya juara empat nasional.

Kalau Anda menolak tawaran universitas untuk melanjutkan S2, berarti Anda tidak melanjutkan studi?

Saya melanjutkan studi S2 saya di Kampus Trisakti, Jakarta. Mengambil program pascasarjana atau magister Ilmu Hukum.

Sepertinya nasib baik berpihak kepada Anda sebagai anak kampung yang berjuang dengan segala keterbatasan ekonomi.

Seperti saya bilang tadi, bahwa saya berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah, yang saat itu kalau di pandangan banyak orang, nyaris berat untuk menyekolahkan anak sampai ke universitas. Saya bertahan dengan kondisi itu karena niat besar saya untuk memperoleh pendidikan. Anda tahu, saya tidak punya kos waktu kuliah dulu. Hanya numpang sini-numpang sana di rumah teman. Kadang makan hanya satu kali sehari. Karena kenyataan itu, saya bekerja sampingan di tempat fotokopi demi menopang biaya hidup saya di sana. Sesekali juga mengeluarkan jurus pertahanan saya: buat diskusi buku dengan anak-anak PMII lalu dievaluasi di kos mereka. Tentunya selesai evaluasi itu, saya dikasih makan. (Tertawa)

Terharu. Nah, bisa ceritakan sedikit bagaimana proses Anda terangkat sebagai Komisioner KPID Sulut?

Saya pikir hal itu salah satu pengalaman saya yang paling sulit. Sebab, saya satu-satunya perwakilan Bolmong Raya (BMR) sekaligus dari muslim se-Sulut yang lolos seleksi. Keseluruhan yang mendaftar sebanyak 500 peserta. Diseleksi hingga menjadi 21 besar, dan alhamdulillah saya masuk.

Buah dari perjuangan Anda yang tak kenal lelah semenjak kuliah dulu. Namun mengapa Anda tidak terpikir masuk anggota dewan?

Setelah pulang dari perantauan, saya mencalonkan diri dua kali, namun dua kali kalah juga. Status keduanya hanya sampai di hampir menang. (Tertawa) Jadi sekarang saya sibuk mengurus Ansor bersama jabatan baru di Komisioner KPID Sulut.

Kalau di Ansor, kegiatan apa saja yangs sedang dijalankan saat ini?

Sekarang kami sedang fokus menggarap majelis zikir dan salawat di tiap-tiap masjid. Nama kegiatannya Rijalul Ansor. Kami juga menjalankan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Badan Anti Narkoba (BAN) Ansor.

Sebagai ketua PC. GP Ansor Kotamobagu dan Komisioner KPID Sulut, bagaimana Anda melihat persoalan kebangsaan saat ini?

Masalah kita di Indonesia saat ini bagi saya adalah gerakan transnasionalis yang mengatasnamakan agama, di mana gerakan ini mengancam keutuhan bangsa dengan asas ideologi mereka. Pada dasarnya, semua ideologi yang mengancam keutuhan bangsa harus dilawan. Ansor termasuk organisasi yang melawan segala yang berbau transnasionalisme ini—gerakan radikal yang menjustifikasi tidakan mereka dengan dalil-dalil agama. Dulu di Indonesia, konflik rasial yang dibangun, seperti peristiwa di Ambon misalnya. Sekarang  yang paling rutin adalah konflik agama. Seperti sengaja dibenturkan antarorganisasi keagamaan dengan bingkis politik. Apa tugas kita sebagai anak muda? Membangun kekuatan deideologisasi terhadap gerakan-gerakan tersebut. Apalagi di era digital seperti sekarang, kita harus mendeteksi tayangan-tayangan yang mengandung unsur SARA dan memecah bela. Kalau tidak ada proteksi yang kuat terhadap hal itu, maka itu akan menjadi masalah kita bersama. Seperti kata almarhum Jalaluddin Rakhmat, bahwa perubahan sosial tidak lahir begitu saja, tapi juga ditentukan oleh pola pikir. Melihat persolan seperti ini, mengingatkan saya waktu di PMII yang belajar menggunakan pisau analisis beberapa pimikir seperti Asghar Ali Engineer dalam tataran agama dan Paulo Freire dalam pendidikan kesadaran.

Kalau di Bolmong sendiri bagaimana Anda melihatnya?

Masalah yang saya lihat di Bolmong adalah politik identitas, dan saya melawannya. Apakah orang yang tidak memilih sesama Bolmong per se tidak mencintai Bolmong? Kan tidak begitu. Saya bersyukur karena sekarang banyak gerakan literasi yang mulai gandrung mempelajari sejarah Bolmong, dan itu merupakan bentuk kecintaan terhadap identitas—mengetahui dan punya kesadaran atas sejarah. Selain itu, hak pilih dijamin oleh konstitusi, bahwa semua orang berhak memilih siapapun menurut preferensi politik mereka. Coba anda pikir, dua orang yang pergi ke bilik suara, yang satu punya sumbangsih terhadap daerah dan satunya lagi tidak. Yang pertama memilih orang luar, dan yang terakhir memilih sesama. Apakah yang pertama layak ditolak karena pilihannya, dan yang kedua layak didukung? Tidak bisa. Tidak masuk akal. Identitas ke-Mongondow-an bukanlah momental, tetapi pengabdian.

Di balik kesibukan Anda di bidang sosial, Anda punya hobi apa?

Saya hobi main bola kaki. Dari SD sampai SMA sering ikut pertandingan di tingkat desa. Masuk kuliah sudah jarang karena sibuk di organisasi dan kuliah.

Siapa pemikir favorit Anda?

Gus Dur dan Che Guevara. Gus Dur adalah pemikir, kiai, dan negarawan yang berdedikasi terhadap kemanusiaan. Dia juga orang yang pertama kali menyelesaikan masalah diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia. Lewat (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur menyudahi satu bentuk diskriminasi kepada etnis Tionghoa hingga akhirnya mereka bisa merayakan Imlek secara bebas dan terbuka. Bahkan ia pernah mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua asalkan tidak lebih tinggi dari Merah Putih. Sedangkan Che adalah tokoh utama Revolusi Kuba yang wajahnya telah menjadi simbol pemberontakan kontra budaya di mana-mana. Saat ini, ia tetap menjadi tokoh sejarah yang dihormati dan dicerca, terpolarisasi dalam imajinasi kolektif dalam banyak biografi, memoar, esai, dokumenter, lagu, dan film.

Terima kasih atas waktu dan kesempatannya, Bang Hamri. Sukses selalu dalam memperjuangkan agama dan kemanusiaan.

Sama-sama. Sukses juga untuk kawan-kawan Berandakota.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.