Politik Identitas (Bagian Tiga)
BERANDAKOTA-Dalam kehidupan aktual, politik identitas seperti meniscayakan negasinya dalam keberagaman identitas. Artinya, penekanan identitas yang satu memunculkan reaksi dari identitas yang lain. Dan begitu seterusnya.
Dalam penalaran poststrukturalistik, politik identitas bisa dibaca lewat teks tanpa menafikan politik sebagai suatu dunia posibilitas; bahwa A dalam politik tidak absolut meniscayakan A tetap A atau A atau -A. Penalaran ini hanya sebagai upaya melihat fenomena politik identitas lebih dekat.
Namun jika melihat fenomena politik yang berlangsung sepuluh tahun terakhir, baik nasional maupun global, pendekatan ini relevan sejauh ia adalah perangkat analisis, bukan doktrin. Sebab, politik tidak bergerak konsisten sebagaimana teks dan logika negasi yang sangat aprioristik. Politik, pada dirinya, adalah kemungkinan-kemungkinan dengan beragam artikulasi di tingkatan praktisnya. 1+1 dalam politik, bisa berarti 5, 3, atau 7.
Dalam tulisan ini, saya hendak membaca politik identitas serta mengelaborasinya dengan beberapa fakta politik identitas yang saya ketahui. Namun pertama-tama, kita akan berangkat dari asumsi ontologis “bahwa manusia selalu berada bersama yang lain (the other)”. Suatu modus Mitsein (ada bersama), yang niscaya memungkinkan perbedaan dan pertentangan terjadi dalam realitas sosial.
Politik Identitas Demi Kesetaraan
Ada dua bentuk politik identitas. Pertama sebagai kekuatan kolektif menuntut persamaan hak dari sejarah penindasan, sedangkan yang kedua adalah reaksi pada yang pertama dengan berangkat dari khayalan semata.
Perbedaan dan pertentangan yang terjadi dalam demokrasi Amerika, misalnya, yang semula memperjuangkan satu identitas hak menoritas berujung menciptakan identitas baru sebagai respon bahkan negasinya.
Representasi yang sangat jelas dari hal ini adalah munculnya kelompok White Lives Matter sebagai tanggapan terhadap gerakan Black Lives Matter. Yang terakhir ini merupakan sekumpulan sah individu-individu yang berdiri melawan kekerasan rasial dan diskriminasi terhadap orang Afrika-Amerika, sedangkan yang pertama merupakan suatu khayalan komunal orang kulit putih yang berpikir bahwa mereka didiskriminasi berdasarkan warna kulit mereka.
Selain itu, pada 2019, Boston pernah menjadi berita utama soal ramainya parade Straight Pride sebagai tanggapan terhadap LGBTQ Pride yang dirayakan secara internasional. June’s Pride Month untuk komunitas LGBTQ. Sementara pawai ‘Straight’ merupakan upaya tandingan yang digagas Mark Sahady, wakil presiden Super Happy Fun America.
Pikirkan, betapa anehnya kelompok Stright Pride ini. Mereka mengaku sebagai identitas terpinggirkan hanya karena dalih moralistik konservatif mereka. Dan feminisme konon menemukan musuh bebuyutannya dalam bentuk apa yang disebut gerakan hak laki-laki ini. Mereka menentang perjuangan feminis berdasarkan keyakinan bahwa laki-laki, sebagai gender, semakin terpinggirkan, tertindas, dan terancam punah. Suatu fantasi yang berbahaya.
Ketika orang-orang yang merupakan mayoritas (dan seringkali merupakan kekuatan penindas) mulai percaya bahwa mereka entah bagaimana terancam oleh orang-orang yang tidak memiliki sarana untuk menyakiti mereka, maka politik identitas muncul ke permukaan sebagai alat yang berbahaya.
Fantasi ini juga kerap diteriakkan oleh sekelompok ormas Islam di Indonesia yang menyatakan bahwa umat islam tidak diberi tempat dalam politik. Sedangakan kita tahu, Islam adalah mayoritas di Indonesia dan sejak lama sangat berperan dalam menentukan arah jalannya permintahan. Sementara itu, mereka seolah merasa mewakili satu agama yang sejatinya memeliki paham yang bergam di dalamnya. Dan ini adalah satu bahaya lain politik identitas dimana Muhammadiyah dan NU sedang memperjuangkan kesetaraan semua identias sementara mereka mengunggulkan satu identitas.
Fenomena reaksinoer dan negasi identitas seperti yang terjadi di Amerika dan Indonesia sejatinya adalah sesuatu yang absurd. Sekali lagi, identitas kolektif sebagai minoritas yang terdiskriminasi (berdasarkan orientasi seksual, agama, ras atau apapun dalam hal ini) yang mendorong kesetaraan di mata dunia tidak dapat direplikasi dalam konteks sekelompok individu yang belum pernah mengalami penganiayaan tersebut.
Perbedaan dalam politik, baik itu dalam konteks demokrasi, pada dasarnya bergerak ke arah idealisasi persamaan hak politik. Dan politik identitas hanya mungkin dan absah sejauh ingin mencapai itu berdasarkan sejarah penindasan atau ketidakadilan–identitas minoritas yang tertindas melawan mayoritas penindas. Apakah sejarah selalu bergerak dalam pertentangan seperti ini? Sebagaimana teks, kita tak pernah bisa memahaminya tanpa ada perbedaan dan identitas di dalamnya.
Namun sekali lagi, politik atau dunia sosial, tidak sekonsisten bentuk apriori logika teks. Kita harus berpikir dan memahaminya dalam terang exercise in modality. Yakni suatu kesadaran atas kemungkinan yang bersifat ad hoc dalam politik–2+3=8. Angka 1 bisa sama nilainya dengan angka 3. Stright bisa sama tertindasnya dengan LGBT, dan seterusnya. Dengan demikian, logika teks bergerak netral dan niscaya, sedangkan teks dalam politik identitas bergerak sebaliknya.
Gaung Politik Identitas dalam Pilkada Sulut
Warga Sulut dihadapkan pada tiga pasangan calon bersama kekuataan politik dan elektabilitas mereka masing-masing. Mereka adalah Olly Dondokambey-Steven Kandouw (PDI-P, PSI, PKB, PPP, Partai Perindo dan Partai Gerindra), Christiany E Paruntu-Sehan Salim Landjar (Partai Golkar, PAN, dan Demokrat) dan Vonny Anneke Panambunan-Hendry Runtuwene (Partai Nasdem dan PKS).
Ketiga pasangan calon ini semuanya punya keunggulan di mata masyarakat Sulut. Sebab sebagian adalah mantan bupati yang unggul di daerahnya dan dipercaya layak maju dalam pertarungan yang lebih besar. Namun kontestasi yang bakal berlangsung hangat ini, mulai tambah hangat ketika gaung politik identitas mulai memenuhi udara di Sulut.
Salah satu wakil, dari satu paslon dianggap sebagai bentuk representasi identitas yang ada di Sulut. Pasangan ini dinilai sebagai kombinasi ideal dimana kepentingan identitas yang “konon” terpinggirkan, akan diakui jika kelak mereka menduduki kursi kepemimpinan gubernur di priode kemudian.
Namun pernahkan ada satu identitas suku atau agama yang pernah terpinggirkan secara politik di Sulut? Jika ia, identitas mana yang meminggirkan? Dan apakah yang terpinggirkan ini adalah minoritas? Dan jika ia, identitas mana yang mayoritas?
Jika kita menjawab beberapa pertanyaan ini tanpa dasar yang meyakinkan, maka kita justru menarik pembatas yang merenggangkan setiap identitas suku di Sulut. Saling iri dan curiga akan mencuat ke permukaan dan melemahkan persatuan.
Di sisi lain, ketika satu identitas kolektif meneriakkan diri di tengah kerumunan, dari situ pula identitas yang lain mulai mengidentifikasi diri dan terancam. Apalagi jika tidak ada sejarah penindasan atau terpinggirkan di balik kekuatan itu, maka justru akan menjadi sebentuk kekuatan politik khayalan yang tak berdasar dan irasional.
Dan paling buruk dari itu semua, ketika politisi dan pendukungnya berteriak mengeksploitasi politik identitas untuk meraup suara, ‘Saya melihat Anda dan saya tahu siapa Anda!’ sambil menghilangkan separu kalimat: ‘Tapi saya tidak tahu bagaimana membuat hidup Anda lebih baik‘.