Teori Rasional, Rasionalisme Barat dan Biasnya terhadap Keyakinan Beragama

0 923

BERANDAKOTA— Berangkat dari sruktur konsepsi, dalam buku Falsafatuna karya Ayatullah Muhamad Baqir Sadr mencoba membuka kedok keberpikiran para filsosof-filosof barat yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang kita terhadap agama, budaya, etika maupun pun hal-hal lainnya.

Disini Muhammad Baqir Sadr memulainya, dengan mendedah struktur konsepsi dari penganut mazhab Rasional, sesudah teori Platon. Teori ini(Rasional) dianut oleh dua filosof terkemuka diantaranya Rene Descartes yang berkewarganegaraan Prancis dan Immanuel Khant dari Jerman, bahwa mazhab ini mengafirmasi ada dua sumber konsepsi yakni alam dan rasio, namun dalam kedudukannya memiliki corak berpikir yang berbeda.

Rene Descartes filosof yang dijuluki sebagai bapak filosof modern sekaligus peletak dasar rasionalisme di barat, dengan diktum yang cukup populer yaitu Cogito Ergo sum(aku berpikir maka aku ada), menganggap bahwa ada dua tipologi pengetahuan manusia, pertama, pengetahuan yang diturunkan langsung oleh persepsi indrawi dan kedua, pengetahuan yang tidak bersentuhan dengan realitas empirik, dalam artian pengetahuan yang sama sekali tidak didapatkan oleh persepsi indrawi, melainkan pengetahuan tersebut ada semenjak lahir (innate idea), seperti ide tentang Tuhan, jiwa, gerak, dan Perluasan.

Menurutnya, pengetahuan kita tentang para demonstrasi hari ini misalkan, UU Cilaka, puan Maharani yang mematikan microfon ak Irwan salah satu anggota DPR RI ketika sedang berbicara untuk  mempertimbangkan pengesahan UU Cilaka pada rapat pembahasan, bahwa semuanya itu relatif, karena informasi-informasi tersebut diperoleh berkat adanya turunan persepsi indrawi terhadap alam materil yang notabenenya senantiasa berubah-ubah, hingga dirinya(Descartes) menganggap bahwa alam ini hanyalah sumber keraguan, tidak ada yang pasti,  semuanya bergerak(dinamis).

Titik berangkat corak skeptisisme Descartes muncul setelah meragukan alam sebagai sumber kepastian, dikarenakan adanya perubahan terus menerus pada alam materil, hingga Ia(Descartes) meragukan semuanya, namun satu-satunya yang tidak dapat diragukan ialah dirinya sendiri sebagai subjek peragu.

Jadi sentralisasi keyakinan Descartes terlihat jelas pada diktumnya “Aku berpikir maka aku ada(cogito ergo sum)”, bahwa keberpikiran subjek yang meragu menjadi penentu kepastian. Artinya, hal-hal yang berhubungan dengan eksistensi, Tuhan dan pengetahuan-pengetahuan pasti lainnya itu, bergantung pada keyakinan subjek terhadap keraguannya(skeptisisme) sebagai bentuk keberpikiran.

Hal ini bisa berpengaruh pada cara pandang kita terhadap agama sebagai suatu hal yang diyakini, dikarenakan hadirnya tendensi-tendensi konservatif, sehingga melahirkan gaya berpikir yang eksklusif, lantaran agama tidak dielaborasikan dengan nalar-nalar pengetahuan yang sistematik.

Sebagaimana Descartes yang memisahkan antara yang PASTI dan yang RAGU, ragu terhadap alam yang bersifat dinamis, sedangkan kepastian(keyakinan) ada pada diri subjek yang tidak memiliki hubungan dengan alam materil(Dualisme cartesian).

Jika kita bertanya pada Descartes, dari mana ide-ide tentang Tuhan itu? Ia menjawab “Tuhan yang menitipkan langsung, karena Tuhan Maha Baik, tidak mungkin Tuhan menipu”, anggapan ini seakan memaksa untuk memasukkan keyakinan beragama dalam struktru pengetahuannya. Fenomena beragama seperti ini acap kali kita temukan di rana sosial, yang meyakini sesuatu karena disandarkan pada intuitif(prasangka²) subjektif(pokoknya), dan berakhir pada keyakinan dogmatis.

Dapat kita simpulkan bahwa episentrum filsafat barat adalah Subjektifisme Antroposentris (pemusatan pada diri manusia). Baik buruk, benar salah, keberadaan, semua berpusat pada cara pandang subjek yang mengetahui. Wallahua`alam bi shawab.

Oleh : Paslan Ali Az-Zahra

 

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.