Ngopi di Beranda Bersama Ilham Akbar Mustafa

0 1.031

BERANDAKOTA-“You will never live if you are looking for the meaning of life. Fall in love with some activity and do it! Nobody ever figures out what life is all about and it doesn’t matter,” demikian kata Richard Feynman, seorang ilmuan fisika sepanjang masa.

Hidup adalah perubahan, atau kehidupan adalah perubahan itu sendiri. Apa yang disebut makna hidup adalah nama yang kita beri pada hal-hal yang justru tak bisa kita pahami. Namun hanya manusia yang demikian, ia bertahan hidup tak sekedar makan, minum, dan kawin, ia menciptakan makna.

Dengan demikian, makna dan hidup adalah dua hal yang berbeda. Hidup adalah apa yang ada dan makna adalah apa yang seharusnya ada. 

Tamu kita kali ini di Beranda Kota sangat memahami hal itu. Ia bahkan telah lahir dari derita hidup itu sendiri. Iya tahu ada waktunya berhasil dan ada waktunya hancur-lebur. Namun ia, seperti kata Nietszche, amor fati.

Berikut adalah petikan wawancara bersama Ilham Akbar Mustafa, seorang aktivis dan pengusaha idealis.

 

Hallo, apa kabar bang Ilham?

Syukur Alhamdulillah, baik.

Apa kesibukan sekarang, bang?

Ya, dagang kecil-kecilan. Mencoba bangkit dari badai pandemi. Sebab banyak orang kan yang gulung tikar karena daya beli yang menurun. Jadi saya mencoba survive saja.

Kecil ini sekecil apa, bang? Jangan-jangan itu dagangan besar bagi saya.

Tidak besar. Saya juga masih pemula dalam hal ini. Jadi ini termasuk dagangan kecil.

Kalau bisa tahu apa nama dagangannya, bang?

Harus dijawab?

Harusnya iya, sih.

Ekspor-impor. Sebab dari beberapa usaha yang saya geluti dua tahun terakhir, hanya ekspor-impor yang survive di tengah pandemi seperti ini. Ini dikarenakan bidang konstruksi dan infrastruktur lesu, hingga memungkinkan kebutuhan atasnya menjadi tinggi. Di satu sisi anggaran pemerintah untuk bidang tersebut saat ini lebih banyak dialokasikan ke penanganan Covid-19.

Luar biasa. Selain sibuk di bisnis itu, apa ada kesibukan lain?

Apa ya. Selain itu saya baca buku dan jalan-jalan. Sesekali saya pergi ke tempat untuk duduk berdiam diri sambil merefleksikan hidup, mengambil waktu untuk bercakap dengan diri sendiri. Apalagi di tengah pandemi yang mana membuat kita dianjurkan untuk tidak berkumpul-kumpul. Jadi ini kesemptan saya untuk memikirkan kembali segala sesuatu yang pernah dan sedang saya hadapi kini.

Apa yang pandemi ajarkan kepada kita, bang? Selain karena pandemi ini bisa dikatakan seratus tahun sekali, ia juga adalah ancaman yang berbahaya.

Pandemi membuat kita kini menghargai lagi hal-hal yang remeh yang sebelumnya banyak kita abaikan. Dan bagusnya, itu membuat saya kembali membaca buku dengan intens. Waktu bersama buku itu sulit ditukar dengan waktu yang lain.

Namun bukankah kesbukan berbinis saat ini membuat anda hidup tepat waktu dan tidak ada waktu untuk hal-hal lain?

Bagini, itulah mengapa kata orang tua dulu, bangunlah pagi supaya rezekimu tidak dipatuk ayam. Dan itu yang saya pegang hingga saat ini. Jadi rezeki tergantung aktifitas, atau produktivitas anda. Sebagaimana firman Allah, bahwa Ia tidak akan mengubah suatu kaum kalau kaum itu sendiri tak mengubah dirinya sendiri. Saya dapat berbisnis sekaligus melakukan aktivitas yang saya suka. Saya hanya perlu memaksimalkan waktu.

Benar. Segalanya tergantung produktivitas dan bagaimana kita memaksimalkan waktu. Nah, sebelum terjun ke bisnis, apakah anda punya pengalaman di organisasi dan politik?

Iya, saya pernah Ikut HMI. dulu, saya menjabat sebagai Wasekjen di PB HMI, dan pernah menjdi calon dan bertarung untuk posisi ketua PB HMI di kongres Ambon. 

Wah, luar biasa. Anda berarti aktivis HMI tulen. Tapi bagaimana bisa anda muncul ditdi waktu itu sebagai jubir pemenangan Jokowi-Maruf?

Jika ditarik lagi sebelum saya berbisnis, sebenarnya saya ini orang yang yang fokusnya ke aktivisme politik, saya tidak mempersiapkan diri saya untuk menjadi pebisnis. Jadi ini yang mengantarkan saya hingga terlibat social voluntarism atau political movement. Dan keterlibatan ini bervariasi, salah satunya terlibat dalam politik untuk berharap perubahan yang lebih besar. Anda kemudian bisa saja dalam hal ini jadi politisi atau menjadi orang partai. Inilah road map saya awalnya. Seorang Ilham Akbar adalah seorang politisi. Perihal saya terlibat pemenangan di pilpres lalu, itu cuma salah satu instrumen mengekspresikan pilhan politik saya. Dan itulah alasan sejak di kongres, saya menulis buku melampaui populisme politik.

Berarti anda tidak sekedar berpolitik dengan isu-isu permukaan saat itu?

Iya, saya lebih melihatnya secara ideologis. Buku yang saya tulis itu adalah semacam ajakan agar meninggalkan gerakan politik populisme yang cenderung memainkan sentimen sara dari mayoritas. Hingga datanglah pilpres, saya mengambil posisi politik dengan bergambung dengan pemenangan Jokowi-Ma’ruf. Ini bagian dari peta atau road map saya dalam gerakan politik.

Jadi road map anda ini sudah dibangun ketika anda berproses di HMI?

Iya, sembari menjadikan para pentolan HMI seperti Akbar Tanjung dan Anas Urbaningrum sebagai inpirasi. Melihat mereka di tv dan bicara membuat saya terus-menerus merawat imajinasi saya bahwa kelak saya akan seperti mereka. Dan kesan besar ketika saya ber-HMI adalah saat ikut menjadi calon PB dengan hasil yang cukup memuaskan. Walaupun anda tahu, saya belum berhasil. Namun Saya membayankan, saya yang dari kampung, ternyata bisa sejauh ini berproses. 

Bagaimana anda menerima kegagalan itu?

Semua orang punya jatah gagal. Saya menerima jatah gagal saya dengan lapang dada. Sebab itu pengalaman yang luar biasa. Dan banyak sekali pelajaran yang saya petik dari situ. Konon, orang yang sering dan pernah gagal, dia tahu ketika menghadapi situasi gagal. Begitupun di bisnis, kegagalan itu hal yang mungkin dan risiko nisacaya yang harus kita lewati.

Apakah pilihan berbisnis sekarang ada hubungannya dengan pilpres?

Tidak ada. Jauh sebelum pilres saya sudah punya rencana dan pelan-pelan berbisnis, yakni pascakongres Ambon. Tapi belum seratus persen terjun ke bisnis. Kalau menurut bang Bahril, ia membagi dua tipologi pengusaha. Pertama, pengusaha by nasib dan pengusaha by nasab. Pengusaha by nasab bisa dibilang sudah terkondisikan. Dia punya orang tua pebisnis dan punya fasilitas yang menunjang. Ya, secara genetika ia sangat mungkin jadi pebisnis. Sedangkan by nasib, itu memang dikondisikan oleh nasib yang menyedihkan bahkan tragis. Ia lahir dari luka dan ratapan. Saya termasuk yang by nasib. Setelah kongres itu saya harus berurusan dengan utang 200 juta yang saya pinjam untuk biaya pemulangan peserta kongres kala itu. Saya bingung mau bagaimana. Entah ingin meminta tolong ke siapa. Saya tak punya pekerjaaan, saya pengangguran. Namun karena saya belajar, saya aktivis, maka saya harus tetap berusaha dan tetap terlihat ‘gagah’ menghadapi masalah itu. Itulah nasib yang memungkinkan saya terjun ke dunia bisnis.

Mengagumkan. Nah, seperti apa dan sejauh apa HMI berperan dalam hidup anda?

Ada banyak, banyak sekali. Kalaupun ditanya bersyukur, saya bersyukur jadi seperti ini karena doa ibu saya dan dan peran HMI. Dan doa itu adalah ajimat yang selalu saya pegang. Dan kedua adalah HMI. Kalau hidup itu hanya kumpulan-kumpulan penyesalan, maka saya tidak menyesal dilahirkan dari ibu saya dan HMI.

Siaap. Menjadi aktivis itu seperti apa bagi anda?

Networking ya. Itu penting. Itu modal. Kalau modal finansial kan berat. Pengalaman kuliah di Makassar itu sangat berkesan. Bahkan jaringan yang saya bentuk menyasar hingga ke soal pacaran. Saya merasa harus pacaran dengan orang asli Makassar supaya agak terjamin untuk masalah finansial. (Tertawa)

Betapa menyakitkan jika si doi tahu niat awal anda adalah pertahanan diri. 

Iya sih. (Tertawa). Tapi saya tidak melakukan hal-hal di luar batas. Masih dalam koridor yang positif lah.

Siap, terima kasih bang Ilham. Semoga sehat dan sukses selalu dalam berbisnis.

Terima kasih Beranda Kota. Sukses juga.

 

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.