HAM dan Darah yang Menghiasi Akhir Tahun

0 610

BERANDAKOTA- Terhitung baru sepekan mengakhiri riuhnya polemik pemilu yang dinarasikan oleh mayoritas masyarakat sebagai sebuah pesta demokrasi–walaupun sedikit sekali nilai demokrasinya–kembali kita menerima berita menyedihkan di tanah air. Kejadian yang sangat menyayat hati dimana negara dengan kekuatan institusi pengamanannya malah melanggar koridor HAM yang merupakan amanat Undang-Undang.

Menjelang akhir tahun, jagat maya kembali diributkan dengan adanya kasus pembunuhan enam orang yang dianggap mengganggu stabilitas negara. Isu ini menjadi hangat untuk dibahas, dan diperdebatan oleh sejumlah orang dengan mengedepankan argumentasinya masing-masing. Ada yang mendukung ada pula yang menolak keras.

Kasus ini menjadi ramai ketika perdebatan publik sudah masuk ke ruang-ruang politik gerakan kelompok tertentu, dan dianggap sangat tidak bermoral. Di lain sisi, negara seolah menciptakan narasi pembenaran dalam tindakan itu, bahwa sudah sesuai dengan Protap atau SOP, yaitu standar operasional atau prosedur. Dari sini, terlihat jelas bahwa pemahaman dalam memposisikan HAM sangatlah berbeda. Tapi apakah yang dimaksud dengan HAM? Apakah institusi kepolisian telah melanggar HAM? Dan apakah satuan kepolisian sudah sesuai dalam mengambil tindakan?

HAM atau Hak Asasi Manusia adalah sebuah konsep hukum dan norma yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya, karena ia adalah seorang manusia. Hak asasi manusia berlaku kapan pun, di mana pun, dan kepada siapa pun, sehingga sifatnya universal. HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut. Asas kemanusiaan menjadi substansi dari HAM, yakni tidak merendahkan derajat dan martabat manusia. 

Seorang filsuf asal Inggris yang juga merupakan tokoh dalam bidang filsafat politik, John Lock, mengemukakan pemikirannya soal HAM dalam salah satu tesisnya tentang sifat alami manusia. Lock menjelaskan bahwa raja (penguasa) mempunyai kewenangan illahi dan berkuasa penuh atas rakyatnya. Menurutnya, negara dan atau pemerintah dengan segala institusinya harus dijalankan atas dasar kemauan rakyatnya dan hadir untuk menyeimbangkan setiap hak yang ada pada manusia, sehingga tidak mengganggu manusia lainnya. Artinya Hak Asasi Manusia sudah ada sejak lahir, yang secara kodrati sudah melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat atau bersifat mutlak (baca: First Treatise dan Second Treatise).

Selain Lock, Koentjoro Poerbapranoto mendefinisikan HAM sebagai hak yang bersifat asasi. Artinya hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya, sehingga sifatnya suci. Sementara, dalam UU No. 39 Tahun 1999 menyebutkan HAM ialah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Hak asasi yang melekat pada diri manusia tidak bisa dipisahkan darinya. Setiap orang memiliki hak dan setiap orang pun harus mengakui, menjunjung tinggi, dan melindungi hak asasi orang lain. Namun kenyataannya, masih sangat banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di lapangan. Baik dilakukan dengan sengaja atau tidak, baik per orangan maupun kelompok atau lembaga tertentu.

Di Indonesia sendiri, masih sangat banyak kasus pelanggaran HAM yang belum terselesikan. Negara yang seharusnya bisa mengambil sikap tegas beralih menjadi mesin ‘pembunuh’ yang malah merenggut kebebasan itu sendiri. Sangat jelas terlihat dari kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan secara serampangan oleh aparat kepolisian dengan alibi ‘merasa terancam’ dan dengan terpaksa melakukan tindakan tersebut.

Contoh lain tindakan brutalitas institusi kepolisian juga terjadi menjelang perhelatan Asian Games 2018 kemarin, dengan tanpa perikemanusiaan menembaki puluhan orang  yang dicurigai dan dianggap melakukan tindakan kriminal. Kejadian ini menimbulkan protes keras dari berbagai kalangan, termasuk aktivis-aktivis HAM. Namun, sampai sekarang belum ada kejelasan dan keadilan dari negara dan seolah membiarkan, bahkan menutup rapat-rapat kasus ini.

Dalam hukum Hak Asasi Manusia Internasional, pemerintah Indonesia sudah sering kali diberi peringatan untuk tetap melindungi hak-hak individu maupun kelompok. Seakan itu tidak memberikan efek sama sekali, pelanggaran HAM masih saja terjadi. Sikap yang ditunjukkan oleh negara hari ini mencerminkan kepemimpinan yang mengorbankan hak asasi dalam diri setiap warga negara dan hanya mementingkan kepentingan segelintar orang.

Tidak jauh berbeda dengan model kepemimpinan Orde Baru yang mengandalkan kekuatan institusi militer, sebagai underbow yang dididik untuk membungkam bahkan melukai warga negaranya sendiri. Corak hukum yang lebih tajam kebawah dan tumpul ke atas ini, masih terus dipertahankan. Hal ini menambah daftar ketidakadilan dalam sejarah kelam pelanggaran HAM dalam bangsa ini.

Sebetulnya model negara yang mengandalkan kekuatan aparat sebagai modal kekuasaan sudah ada sejak zaman baheula. Ini tidak lepas dari prinsip atau ideologi yang dianut oleh negara tersebut, yang pada perkembangan selanjutnya dikenal sebagai pemahaman militerisme ataupun totalitarianisme. Seperti misalnya Jerman dengan bala tentaranya NAZI. Dari sini bisa dipertanyakan apakah negara indonesia hari ini sedang menganut corak/model kepemimpinan yang totalitarianisme? Dan bagaimana bisa indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi pancasila malah tidak memperlihatkan nilai dari sistem itu sendiri?

Bila dilihat dalam penerapannya, dengan berkaca pada deretan kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan, maka bisa dikatakan tidak ada perhatian penuh dari negara dalam menyelesaikan persoalan ini, yang mana memberi gambaran bahwa setiap orang maupun kelompok dapat melakukan sebuah pelanggaran HAM, sekalipun institusi kepolisian. 

Mereka yang punya kekuasaan akan terhindar dan memiliki perlindungan dari hukuman, dan bagi yang tidak memilikinya sangat berpotensi untuk mendapatkan diskriminasi. Padahal tidak demikian. Hanya saja penerapan Standard Operating Procedure atau cara kerja penindakan (institusi kepolisian) yang masih bermasalah. Ada dua asas yang perlu dikedepankan untuk memperbaiki tubuh institusi ini: Akuntabilitas dan Transparansi.

Memperkuat Akuntabilitas

Akuntabilitas merupakan sebuah konsep etika yang dekat dengan administrasi publik pemerintahan (lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif). Kepolisian yang merupakan lembaga di bawah pengawasan langsung presiden harus bisa memperkuat sisi akuntabilitasnya. 

Dikutip dari Wikipedia, akuntabilitas polisi melibatkan penahanan baik individu polisi, serta lembaga penegak hukum yang bertanggung jawab untuk secara efektif memberikan layanan dasar pengendalian kejahatan dan menjaga ketertiban sambil memperlakukan individu secara adil dan dalam batas-batas hukum. Polisi diharapkan untuk menegakkan hukum, proses hukumpenggeledahan dan penyitaanpenangkapandiskriminasi, serta hukum lain yang berkaitan dengan kesetaraan pekerjaanpelecehan seksual, dan lain-lain. Sebab, meminta pertanggungjawaban polisi penting untuk menjaga “kepercayaan publik pada sistem”. 

Penelitian telah menunjukkan bahwa publik lebih memilih tinjauan independen atas pengaduan terhadap penegakan hukum, daripada mengandalkan departemen kepolisian untuk melakukan penyelidikan internal. Ada saran bahwa pengawasan seperti itu akan meningkatkan pandangan publik tentang bagaimana petugas polisi dimintai pertanggungjawaban.

Transparansi Publik

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 menjelaskan tentang asas-asas dari pelayanan publik yang apabila dianalisis lebih mendalam sangat berkaitan dengan prinsip transparansi dan partisipasi. Pentingnya keterbukaan publik adalah untuk mewujudkan partisipasi dan pelayanan negara yang transparan, efektif,efisien dan akuntabel. Selain itu, transparansi publik juga merupakan hak asasi dari setiap warga negara dan harus dijalankan oleh segala institusi pemerintahan, termasuk kepolisian.

Menerapkan akuntabilitas dan transparansi publik merupakan tugas negara dengan segala institusinya. Hal ini akan berdampak positif bila disadari dan dipahami oleh pemerintah dan juga masyarakat pada umumnya. Lebih lanjut akan melahirkan hubungan yang partisipatif dan saling berintegrasi antarwarga negara dan pemerintah, sehingga menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan. Merujuk pada penjelasan sebelumnya, ada satu asas lagi yang perlu dikedepankan, yakni moralitas.

Menumbuhkan Moralitas Sejak Dini

Moral atau moralitas adalah suatu nilai yang bertujuan untuk melihat tindakan atau perilaku yang bersifat positif maupun negatif. Moralitas berkaitan langsung dengan aspek laku hidup yang dijalankan oleh seseorang dalam berkehidupan. Tentu hal ini menjadi sangat penting di dalam membangun relasi sosial, dikarenakan moralitas berperan sebagai pengatur dan petunjuk bagi manusia dalam berperilaku agar dapat dikategorikan sebagai manusia yang baik dan dapat menghindari perilaku yang buruk.

Menumbuhkan nilai moral sejak dini memang sangatlah penting. Kaidah atau norma yang berlaku di masyarakat akan mudah diadaptasi dalam berperilaku bila diberingi dengan mengedepankan aspek kemanusiaan. Nilai kemanusian harus disadari betul oleh setiap orang dalam menjalin hubungan sosial bermasyarakat. Hal ini juga harus menjadi perhatian oleh institusi kepolisian yang telah diberi mandat dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada warga negara atau masyarakat.

Sebetulnya, tulisan ini bertujuan untuk mengembalikan posisi HAM pada jalur keadilan; bahwa setiap warga negara memiliki kesetaraan dalam hak hidupnya. Dan merenggut nyawa seseorang berdasarkan tuduhan dari pandangan subyektif tertentu, tanpa melewati jalur hukum adalah tindakan yang tidak sama sekali dibenarkan. Seperti yang dikatakan oleh sejumlah filsuf, bahwa yang menentukan hukuman mati adalah tugas Illahiyah atau hak Tuhan. Atau bisa digaris-bawahi bahwa penegakan hukum adalah tugas manusia, tapi hak hidup dan mati seseorang itu urusan Tuhan. 

Jika boleh menambahkan, kiranya di dalam institusi kepolisian perlu untuk mengevaluasi dan merekonstruksi kembali tentang penerapan ataupun tindakan dalam melakukan tugas dan fungsinya. Karena sekalipun kepolisian merupakan aparat hukum bukan berarti bisa selewengan dalam melanggar hukum, termasuk melanggar hak asasi manusia yang menjadi nilai penting dalam berkehidupan di dalam negara bangsa ini. 

Tulisan ini pula bukan bermaksud untuk menggeneralisir setiap tindakan yang dilakukan aparat kepolisian itu adalah sebuah kesalahan, tidak sama sekali. Melainkan, tindakan yang berpotensi melanggar ketentuan hukum perlu diproses seadil-adilnya sekalipun aparat penegak hukum, karena kita semua sama di mata hukum.

 

Penulis:

Dicky Gobel

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.