FPI Kini dan Nanti

0 889

BERANDAKOTA- Menko Polhukam, Mahfud MD, resmi membubarkan Ormas Front Pembela Islam (FPI) bulan lalu. Entah dengan alasan dan desakan apa pemerintah dengan tegas mengambil sikap, bahkan akan menghentikan segala aktivitas yang dilakukan ormas tersebut.

Ada yang protes, mengapa tidak dari 2019 bersamaan dengan dicabutnya legal standing FPI karena tak ada perpanjangan SKT?

Pelarangan kegiatan FPI ini berdasarkan keputusan bersama enam pejabat tertinggi di kementerian dan lembaga yakni Kemendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung, Kapolri, dan kepala BNPT.

Keputusan tersebut diambil setelah kasus Habib Rizieq Shihab (HRS) yang membuat kerumunan massa simpatisan baik saat acara pernikahan putrinya di Petamburan maupun acara di beberapa daerah. Kebahagiaan Imam besar pun berujung ancaman bui.

Tindakan pemerintah terhadap FPI bukan tidak mengundang pro dan kontra di masyarakat. Di satu pihak, keputusan ini dianggap sudah tepat karena pemerintah membantu mengurangi tindakan kekerasan atas nama agama. Di lain pihak, negara dianggap berlebihan karena mengabaikan prosedur hukum yang adil dan tidak demokratis.

Untuk alasan pertama, negara dianggap benar karena per se FPI adalah ormas yang tergolong radikal; bahwa tidak ada toleransi kepada mereka yang tidak toleran. Sedangkan yang kedua, tak ada alasan apa pun negara harus tetap adil bahkan bagi mereka yang dianggap intoleran, atau jika memang demikian, harus dibuktikan.

Kedua pandangan ini sejatinya mengandaikan diri pada hak asasi manusia (HAM) di bawah payung demokrasi. Sementara jika diambil salah satu, bukan tanpa risiko. Sesaat setelah dibubarkan, Front Pembela Islam dengan cepat dan senyap menjelma Front Persaudaraan Islam. Apakah ini indikasi bahwa satu kekuatan politik ketika dibubarkan kekuatannya justru bertambah?

Dan sebaliknya, jika negara tidak mengambil keputusan itu, kita akan terus menyaksikan aksi-aksi sweeping dan razia mereka di jalanan dan berdemo menuntut kebijakan sesuai kehendak Imam Besar mereka.

Secara historis FPI adalah anak kandung reformasi, dan tentunya ia bukan anak kemarin sore. Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dalam buku Premanisme Politik (2000) menguraikan terbentuknya FPI tak bisa dilepaskan dari tiga peristiwa: Kerusuhan Ketapang, Sidang Istimewa MPR, dan pembentukan organ paramiliter Pengamanan (Pam) Swakarsa. Ketiga peristiwa ini sejatinya adalah lanjutan gelombang demonstrasi Reformasi 1998 yang dimulai sejak Mei 1998.

Berdasarkan dokumen Risalah Historis dan Garis Perjuangan FPI, ada tiga tujuan awal pembentukan FPI: (1) adanya penderitaan panjang yang dialami umat Islam Indonesia akibat adanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa, (2) adanya kewajiban bagi setiap muslim untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta umat Islam, serta (3) adanya kewajiban bagi setiap muslim untuk dapat menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Poin ketiga dari tujuan pembentukan FPI ini kemudian terlihat dari gerakan kultural yang mengukur keadaan masyarakat berdasarkan nilai-nilai Islam. Pada 1999, FPI mendapatkan momentum untuk unjuk gigi. Saat itu, ribuan anggota FPI datang menggeruduk Balai Kota DKI Jakarta untuk menemui Gubernur Sutiyoso. Tuntutan mereka tegas: Sutiyoso harus menutup semua tempat “maksiat” seperti kelab malam, panti pijat, bar, dan diskotek selama bulan puasa.

Dari aksi tersebut, FPI berhasil menyampaikan aspirasinya, yang membuat Sutiyoso mempertimbangkan kembali kebijakan jam operasi tempat-tempat berbuat dosa tersebut. Imam besar Rizieq pun merekah dengan baju kebesarannya–jubah putih, serban hijau, dan tongkat yang membuat beliau tampak bijaksana di hadapan semua mata. Dan dalam lintasan sejarahnya, tak sedikit pula yang bermain mata dengannya.

Ketenaran Imam Besar berlanjut ketika ia pulang dari Arab Saudi 10 November lalu. Di bandara, ia dijemput oleh ribuan orang bak pejuang kunci harapan bangsa. Kepulangannya itu menyulut persepsi pengamat bahwa HRS punya modal politik dalam iklim politik Indonesia saat ini, tapi dia salah di awal.

Direktur Visi Indonesia Strategis, Abdul Hamid mengatakan, seandainya HRS dan pendukungnya tidak langsung frontal dan show of force dengan bikin kerumunan-kerumunan, mungkin ceritanya tidak seperti ini.

Selain itu, HRS tidak membaca peta politik di mana afiliasi politiknya di pilpres 2019 kini sudah bergabung dengan pemerintah. FPI sebatang kara, harusnya, menurut sebagian pengamat, ia datang dengan pertama-tama melakukan konsolidasi internal sambil mencari cantolan politik baru sebagai perisai mereka.

Pada awalnya, sejak isu kepulangan HRS pada 2019 ke tanah air, pemerintah tampak khawatir jika FPI bangkit dan membangun barisan oposisi pemerintah. Sebab, pengaruh HRS di kancah politik nasional mulai membesar dan punya ekses kuat dijadikan teman militan oleh kepentingan aktor politik tertentu seperti yang sudah-sudah.

Tapi benarkah FPI memiliki dukungan dan kekuatan besar seperti anggapan tersebut sehingga layak dikhawatirkan?

Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, mengatakan, telah lama negara, seperti pemerintah, politisi dan aparat keamanan, diliputi oleh anggapan bahwa FPI sebagai ormas memiliki pengaruh besar. Artinya, melawan mereka sama dengan melawan mayoritas umat Muslim Indonesia.

Berdasarkan survei SMRC pada November 2020 lalu, terdapat 73% responden mengetahui Rizieq. Dari jumlah tersebut, 43% mengatakan suka dengan Rizieq.

Ia kemudian menunjukkan perbandingan dengan politisi tenar lainnya. Misalnya hasil survei terhadap Ridwan Kamil, 65% tahu dengan kesukaan mencapai 85%, dan juga Ganjar Pranowo di mana 54% responden tahu dan 85% di antaranya suka.

Dengan demikian, hasil survei menunjukkan sebanyak 69% mengetahui FPI yang bermarkas di Petamburan itu, dan dari jumlah tersebut hanya 43% menyukainya. Bandingkan dengan Nahdlatul Ulama (NU), kata Saidiman, organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, di mana sebanyak 79% mengenal dan 80% mendukung perjuangan NU, berdasarkan survei Januari 2018.

Dari data itu, pada dasarnya Rizieq dan FPI tidak sepenuhnya mengancam secara politik. Artinya, pengaruh FPI tidak cukup signifikan dan tidak didukung mayoritas publik. Mengapa demikian? Karena Rizieq mengambil posisi sentral sebagai simbol seluruh nilai. Apa konsekuensinya? Ia membangun kelompok fanatik sehingga melawan arus mayoritas yang cenderung di tengah, atau moderat.

Maka tidak heran, persepsi pemerintah yang berlebihan menciptakan ketakutan yang tak berdasar: membubarkan ormas yang tidak punya kekuatan signifikan secara politik. Tapi menurut beberapa orang beda lagi, karena FPI tak signifikan secara politik maka dari itu jangan segan-segan pemerintah mengeluarkan kebijakan.

Kini pemerintah telah membubarkan FPI, alias menghancurkan sarangnya sebagai ormas terdaftar. Namun itu cuma sarang versi negara, tak ada yang tahu bahwa kelompok ini bisa dengan mudah membangun sarang (organisasi tak terdaftar) hanya dengan militansi dan semangat agama. Dan lebih dari itu semua, tak ada yang tahu dengan dibubarkan FPI dan ditangkapnya Imam Besar, justru dapat mengundang dukungan dan simpati publik yang, pada gilirannya, memperkuat posisi politik FPI itu sendiri. Memang FPI kini tak ada lagi, tapi siapa yang tahu nanti.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.