Ngopi di Beranda: Rezi dan Jalan Sunyi Literasi
BERANDAKOTA- Tiap kali kita mendengar kata literasi, muncul pertanyaan di benak kita: apa tujuan konkretnya?
Pertanyaan tersebut pada dasarnya berangkat dari nalar yang dibentuk oleh kultur abad 21. Kultur di mana waktu menjadi pendek dan pekerjaan mendesak kita untuk melakukan hal-hal yang pasti. Di abad ini, tak hanya tubuh kita yang berdesakan, pikiran kita juga. Hal-hal berbau idealis seperti ditakdirkan berumur pendek.
Keberanian mengambil jalur berbeda dilalui oleh Fahmi Fahrezi Ibrahim, atau biasa disapa Rezi, atau Ecing, atau Fahmi, pokoknya panggilan yang nyaman saja, pustakawan muda Bolaang Mongondow dan salah satu pendiri komunitas Rumah Baca di Kotamobagu. Ia memilih literasi sebagai jalan ninjanya berbekal pengalaman berkelana di Jogja sambil kuliah (entahlah, mungkin kuliah sambil berkelana).
Berandakota kali ini berbincang dengannya seputar buku dan kehidupannya di dunia literasi. Ia, bisa dikatakan, adalah orang yang memilih jalur sunyi dan abstrak, dan dia mencintainya. Berikut adalah bincang-bincang Berandakota bersama Fahmi Fahrezi Ibrahim, pegiat literasi dan pustakawan asal Bolaang Mongondow.
Halo, apa kabar bung Rezi?
Alhamdulillah baik.
Apa kesibukan anda sekarang?
Sekarang lagi sibuk menyelesaikan tanggung jawab. (Tertawa)
Tanggung jawab seperti apa, ke negara kah atau seseorang yang spesial?
Tanggung jawab kuliah. Kalau negara mah belakangan, apalagi seseorang yang spesial, belum terpikirkan. (Tertawa) Paling spesial selama ini hanya sosok ibu yang selalu mendoakan.
Baiklah. Apakah anda masih kuliah?
Masih. Saya kuliah di Universitas Ahmad Dahlan (UAD).
Mengapa anda memilih kuliah di Universitas tersebut?
Sebenarnya waktu awal ke Jogja, niatnya ingin masuk kampus negeri, seperti kampus UIN Sunan Kalijaga. Tapi, karena belum rezeki, maka alternatifnya ke UAD, kampus Muhammadiyah. Alhamdulillah lulus. Memilih UAD juga karena kampusnya bagus. UAD salah satu kampus yang masuk 12 PTMA terbaik dengan klaster 3, Urutan Nasional 52, dan juga urutan ke-4 kampus terbaik di Jogja. Eh, maaf, numpang promosi. (Tertawa) Selain itu, saya masuk UAD dengan alasan kampus ini dikenal dengan istilah masuknya cepat, lulusnya lama. Tingkat disiplinnya juga sangat luar biasa, tanpa ada toleransi. Dan saya sangat suka dengan tantangan.
Sudah benar anda masuk di kampus itu. Nah, pernah mengikuti organisasi?
Pernah. Sekarang masih mengurusi tiga organisasi. (Tertawa)
Wah, luar biasa. Anda sebagai apa di tiga organisasi itu, dan organisasi apa saja itu?
Memang luar biasa capeknya. (Tertawa) Di Ikatan Mahasiswa Sulawesi (IKMAS) saya sebagai pembina. Di KPMIBM pusat atau Keluarga Pelajar Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow sebagai sekum. Di GMI (Gerakan Milenial Indonesia) sebagai pengurus Koperasi UMKM, dan ekonomi kreatif. Di HMI sebagai anggota, dan 2017 sampai 2018 pernah menjabat Hakim MKMU Universitas.
Semangat. Nah, bagaimana konsep komunitas Rumah Baca di Kotamobagu? Anda kan terlihat aktif di komunitas tersebut.
Untuk konsep Rumah Baca sendiri sebenarnya seperti ruang-ruang baca pada umumnya, ruang baca atau perpustakaan juga kita tahu sebagai tempat baca. Toh, bisa juga menjadikan salah satu pendorong minat baca seseorang. Paling tidak ada dorongan dari dalam, motif sosial, dan emosional. Selain penyajian buku-buku yang menarik serta ruangan yang setidaknya nyaman untuk pengunjung, dan fasilitas yang ergonomis di dalam, mampu membuat pengujung jadi nyaman membaca dalam waktu yang lama.
Anda sebagai apa di Rumah Baca tersebut?
Pustakawan.
Seperti apa kepengurusan atau struktur Rumah Baca tersebut?
Kepengurusan dan strukturnya sebenarnya belum diatur. Kalau untuk anggota, kami beranggotakan delapan orang pustakawan tanpa ada koordinator dan bidang-bidang lainnya. Di rumah baca yang terpenting adalah komunikasi. Ketika mau bikin kegiatan kecil kami selalu membahasnya lewat virtual. Alhamdulilah sejauh ini komunikasi soal segala kegiatan aman-aman saja. Kami juga membuka open recruitment pustakawan bagi anak-anak muda yang ingin bergabung untuk belajar bersama.
Luar biasa. Apa inspirasi anda sehingga membuat Rumah Baca?
Saya terinspirasi dari beberapa abang-abang hebat yang punya penerbit di Jogja. Salah satunya IBC dan JBS. Kedua penerbitan ini yang mengenalkan saya pada industri perbukuan, apalagi soal ruang publik seperti halnya perpustakaan.
Dari situ, apa yang anda harapkan dari membuat Rumah Baca?
Harapannya semoga bisa membantu masyarakat serta komunitas-komunitas yang membutuhkan akses buku bacaan sesuai dengan kebutuhan sosial tanpa di pungut biaya, dan juga akses tempat diskusi untuk siapa pun yang ingin menggunakannya.
Tidak ada niat membuat Rumah Baca menghasilkan profit, atau memang murni ingin sukarela?
Kalau untuk wilayah profit sebenarnya di Rumah Baca sendiri ada profitnya, tapi itu ada di dua ruangan khusus yaitu tempat bimbel bahasa Inggris garapan bung Iskandar Sugeha dan juga toko buku kecil. Kalau untuk ruangan diskusi dan perpustakaannya itu nonprofit. Dari awal membangun juga niatnya memang perpustakaan nonprofit. Apalagi jika dilihat bersama tingkat minat baca di Kotamobagu sendiri, masih sangat minim. Kalau diprofitkan kasihan buku-bukunya, terlantar dan pasti tidak akan terakses untuk dibaca, ditambah juga harus ada uang sewanya, berarti misi untuk membangkitkan kembali minat baca gugur dong, ya. Dan kalau untuk peminjaman buku bacaan, ada syarat-syaratnya, nanti bisa dibaca langsung di poster yang ditempel di Rumah Baca.
Mengapa Rumah Baca dibuat di Kotamobagu? Apakah hanya karena minat baca di Kotamobagu kurang?
Karena ruang baca ini sudah menjadi cita-cita saya sejak saya aktif di kegiatan-kegiatan literasi di Jogja, juga saya melihat kurangnya, bahkan tidak ada ruang khusus untuk menyalurkan kreativitas anak-anak muda di Kotamobagu.
Apakah sejauh ini rumah baca berjalan sesuai ekspektasi anda?
Dari awal Rumah Baca berdiri tidak ada ekspektasi lebih. Alhamdulillah sejauh ini berjalan dengan baik. Setidaknya sudah memulai, dan selebihnya bagi saya hanyalah bonus.
Hati anda lembut. (Tertawa) Nah, bisa ceritakan sedikit bagaimana terbentuknya Rumah Baca?
Alhamdulillah kondisi pandemi April kemarin telah memancing adrenalin saya untuk produktif dan mengeksekusi niat yang sudah lama ingin dibangun, yaitu Rumah Baca. Dengan dukungan serta bantuan dari teman-teman yang satu frekuensi, alhamdulillah tempat ini hadir.
Apa saja tantangannya kira-kira?
Banyak tantangannya. (Tertawa) Yang paling berkesan adalah, menyesuaikan dengan lingkungan pertemanan yang pasti hobinya berbeda-beda, serta menyatukan pemikiran yang beda menjadi satu misi yang sama.
Tapi apa yang membuat anda tertarik dengan literasi?
Karena dengan literasi, saya bisa mengenal karakter saya pribadi, serta bisa mengenal banyak orang.
Jadi bukan ingin mengenal kebenaran, tapi semata ingin mengenal diri anda sendiri dan orang-orang?
Mengenal diri sendiri dan mengenal banyak orang bukanya itu juga bentuk dari kebenaran?
Benar. Sejak kapan anda tertarik dengan literasi?
Semenjak hijrah ke Jogja sudah mulai sadar akan pentingnya berliterasi.
Tapi kata orang, orang yang hanya hobi baca buku (literasi) itu cenderung lama jadi kaya (?)
Ya, memang banyak orang yang mengatakan hal demikian. Mungkin tiap orang motivasinya berbeda-beda, ya. Ada yang secara materi cepat jadi kaya, tapi tidak pernah suka dengan membaca, ada juga yang lama jadi kaya, tapi pengetahuannya yang jadi kaya. Kalau sudah kaya materi, sudah tidak ada waktu lagi untuk membaca buku. Tentu saja perlu diasah, apalagi yang tidak pernah mengenal literasi. Tapi yang lebih penting dari kaya adalah bahagia, dan literasi menyediakan banyak jalan ke sana. Butuh proses yang lama untuk jatuh cinta sama buku. Dan soal literasi juga kan bukan hanya perkara menulis dan membaca. Pertanyaan di atas mengingatkan saya pada bukunya Muhidin M Dahlan, “Jalan sunyi seorang penulis yang berbunyi ingat-ingatlah kalian hai para belia, bila kalian memilih jalan sunyi untuk menulis dan membaca maka kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus bekerja, terus menulis dan bersiap untuk hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tidak akan berpikir untuk cepat bunuh diri.”
Sangat menginspirasi. Kalau boleh tahu, apa hobi anda?
Bekerja, membaca dan memasak. (Tertawa) Paling banyak memasak sih, kan memasak juga bagian dari literasi.
Mengapa bisa tertarik dengan memasak? Harusnya anda bangun rumah makan. Bukan Rumah Baca. Konon itu cepat membuat anda kaya.
Waktu umur 14 tahun, saya dititipkan ayah dan ibu selama dua tahun di rumah nenek di Bolsel. Dan di sana selain sekolah, saya harus bantu-bantu nenek memasak. Kebetulan juga nenek punya tempat makan. Jadi di situ saya mulai tertarik dengan memasak. Begitu kira-kira cerita singkatnya. (Tertawa) Kalau untuk niat membuka usaha tempat makan pasti ada, itu salah satu dari mimpi saya.
Baiklah. Apa saja buku favorit anda? (Bukan buku resep memasak)
Saya suka bukunya Muhidin M Dahlan “Aku Buku dan Sepotong Sajak Cinta”, Buya Hamka “Berbicara Tentang Perempuan”, dan buku-buku sastra lainnya.
Mengapa suka dengan buku-buku itu?
Karena dengan kedua buku itu saya mulai suka dengan membaca.
Buku-buku favorit anda menunjukkan bahwa anda sosok yang romantis.
Siap peramal. (Tertawa)
Terakhir, apa harapan anda terkait literasi di Kotamobagu dan Bolmong secara umum?
Harapan untuk literasi di Kotamobagu, dan Bolmong pada umumnya, semoga kita anak muda khususnya sebagai pegiat literasi harus tetap pada misi yang sama, apalagi soal ekosistem literasi, agar keterbukaan gagasan dan perputaran ide lebih massif karena sulit mengubah masyarakat, tanpa mengubah cara berpikirnya.
Terima kasih atas waktu dan kesempatannya, bung Rezi. Semoga semua cita-cita mulia anda tercapai.
Sama-sama. Sukses juga untuk kawan-kawan Berandakota.