Ngopi di Beranda: Rudeboy Melampaui Satu Dekade

0 763

Bisnis tidak hanya soal profit. Ia mensyaratkan banyak hal agar tujuan bisnis dapat tercapai. Selain itu, bisnis adalah soal bagaimana berhadapan dengan kekuatan perubahan dan bagaimana bertahan di hadapannya. Bak sebuah perang, bisnis juga membutuhkan strategi dan objek bidikannya sendiri.

Tidak heran jika strategi Sun Tzu banyak digunakan oleh kalangan pebisnis. Strategi militer dan bisnis pada dasarnya memiliki sejumlah persamaan sehingga wajar jika banyak yang menerapkan taktik militer dalam ranah bisnis. Antara lain sama-sama menggunakan istilah sasaran, misi, kekuatan, dan kelemahan. Ini relevan, sebab keberhasilan merupakan produk dari perhatian terus menerus terhadap realitas eksternal dan internal yang selalu dinamis.

Ngopi di Beranda kali ini bercakap dengan seseorang yang langsung berhadapan dengan realitas tersebut. Ia adalah Hermawan Nursaid alias Iwan Kribz, pengusaha clothing dan distro eksentrik, sekaligus pemilik merek Rudeboy.

Berikut adalah bincang-bincang Berandakota bersama Iwan Kribz, pengusaha muda nan sukses di Kotamobagu.

 

Halo, Bang Iwan Kribz, apa kabar?

Baik, syukurlah. Walaupun lagi pandemi, masih tetap optimis.

Nama Anda kok unik?

Nama asli saya sebenarnya Hermawan Nursaid a.k.a Iwan Kribz. (Tertawa) Iwan Kribs itu sapaan akrabnya.

Apa kesibukan Anda sekarang?

Usaha clothing-an dan distro. Sambil jualan minuman kekinian, minuman Boba.

Apa nama distronya, Bang?

Rudeboy. Alamatnya ada di Jl. Adam Pedolot, Mogolaing.

Jadi Anda yang punya merek Rudeboy itu, ya?

Iya, begitulah. Saya pakai merek itu untuk nama distro saya.

Luar biasa. Logo dari Rudeboy itu bahkan banyak dibuat stiker kendaraan. Sejak kapan buka usaha clothing-an dan distro? 

Dari 2007. Sebelumnya buka usaha bersama teman, mulainya dengan teman. Berjalannya waktu, saya memutuskan untuk mengambil kesempatan sendiri, atau jalan sendiri pada 2009. Tetapi untuk usaha dan minat terhadap clothing-an itu sudah dari 2000-an, semenjak kuliah. Kalau Rudeboy sudah 12 tahun kalau di Kotamobagu.

Tunggu, dulu Anda kuliah di kampus mana?

Saya kuliah di Unsrat.

Mengapa Anda bisa bertahan di bisnis clothing-an dan distro sampai hari ini?

Mungkin karena memang passion saya di bisnis cloothing-an dan distro ya. Bahkan jauh sebelumnya, sejak 1990-an. Saat itu saya masih di Bandung. Mungkin Anda pernah dengar usaha clothing Uncle 347. Usaha itu dimulai dari rumah, didesain sendiri, dan didistribusikan lewat teman-teman dan menyebar lebih luas. Itu kemudian yang menjadi inspirasi saya dan memungkinkan distro itu lahir.

Jadi usaha clothing rumahan itu bisa dikatakan awal mula lahirnya distro-distro?

Iya. Berawal dari anak muda Bandung atau mahasiswa yang ingin mendapat uang lebih, maka mereka mulai dengan nyablon-nyablon kaus. Dan kemudian berkembang seperti yang kita lihat sampai hari ini.

Nah, seperti upaya Anda bertahan di tengah pandemi yang sampai kini masih bergejolak?

Harusnya punyan plan memang. Saya jualan minuman Boba, sekarang. Minuman kekinian itu. Namanya Alicheese Boba. Satu di depan mesjid At-Taqwa Mogolaing satunya lagi di depan Indomaret Motoboy Kecil. Kalau tidak seperti itu memang agak berat. Di hadapan ketidakpastian kita butuh kesiapan terus-menerus.

Itu produk olahan Anda sendiri?

Iya, buatan saya sendiri. Banyak kan usaha di luar sana yang sifatnya waralaba. Saya tidak mau. Kalau bisa buat sendiri mengapa harus waralaba.

Luar biasa. Sejauh ini, seperti apa iklim usaha distro di Kotamobagu?

Kita di Kotamobagu tidak dominan kompetitif. Kita malah berkolaborasi. Kita saling merangkul lewat event yang kita buat. Apalagi di masa pandemi seperti ini, harusnya banyak berkolaborasi ketimbang kompetisi. Jadi saya sendiri selalu terlibat baik itu di acara event rokok atau seperti di Kopicup kemarin, saya ikut terlibat sambil pasang booth di situ.

Sepakat. Kalau segmen pasar di Kotamobagu terhadap produk distro bagaimana?

Masih bagus sih, meskipun ada penurunan karena pandemi. Saya sendiri berusaha terus bagaimana agar segmen ini tetap terjaga. Pokoknya pintar-pintarlah beradaptasi agar tidak tambah kritis.

Nah, sejauh ini seperti apa tantangan yang Anda hadapi sebagai pengusaha clothing, minuman Boba, dan distro?

Mungkin persaingan, ya. Tetapi karena persaingan itu, membuat saya tidak hanya bangun usaha distro. Persaingan membuat kita justru inovatif dan produktif. Dan memang risiko berbisnis seperti itu. Tetap santuy.

Tapi bagaimana dengan produk major fashion label yang beredar banyak di pasaran, semisal Greenlight dan 3Second, yang kalau dilihat, bukan original?

Ya memang itu awalnya salah satu tantangan saya. Dulu saya sangat idealis dengan membela produk lokal di hadapan produk luar yang besar. Tetapi karena banyak produk bajakan dari merek besar itu, ditambah kausnya bagus dan murah, pada akhirnya saya terima saja. Lagi pula itu juga karena permintaan pasar. Tetapi coba lihat merek-merek itu dan merek surfing di pasaran, memang ada banyak. Meskipun kualitasnya menjadi pasaran karena ada di mana-mana.

Jadi sekarang idealisme Anda hilang?

Bukan begitu. (Tertawa) Bagi saya sendiri kita memang perlu mengubah mindset itu. Sebab, mendingan kita pakai baju merek asli meski produk lokal ketimbang merek besar tapi bajakan. Iya tidak?

Sepakat. Tapi banyak produk bajakan yang bagus-bagus.

Iya, bahkan lebih bagus dari yang aslinya. Bahannya juga bagus, desain dan lain sebagainya.

Nah, seperti apa kaus yang berkualitas itu?

Yang standar clothing-an itu yang cotton combed. Standar yang cocok untuk kita di daerah tropis yang agak tebal dari jenis bahan itu. Ada ukuran-ukurannya juga soal ketebalan kainnya.

Kalau di Kotamobagu sendiri, usaha clothing punya peluang tidak?

Punya. Asalkan tahu melihat pasar atau tahu menciptakan pasar sendiri. Kan begitu cara kerja bisnis. Tahu apa yang diinginkan konsumen dan tahu menciptakan keinginan konsumen. Di mana pun, asalkan kedua kriteria itu mampu dilakukan. Dan yang paling penting dari itu semua adalah mulailah lakukan. Pemahaman akan ikut serta dalam prosesnya.

Sepakat. Oke lanjut. Selain berbisnis, apakah Anda punya hobi lain?

Punya. Saya hobi motor, khususnya motor vespa. Ada tempat berkumpul saya dengan teman-teman di Mogolaing. Selain itu ya, jalan-jalan. Naik gunung, ke pantai, atau sekadar jalan bersama teman melihat-lihat pemandangan. Dan terakhir saya suka musik, genre musiknya reggae.

Genre musik Anda sesuai denga style Anda sih. Sangat matching.

(Tertawa) Ya, begitulah.

Ipok (kopi) dulu, Bang.

Siap.

Apakah kesuksesan suatu bisnis ada hubungannya dengan bakat seseorang?

Punya. Kemampuan komunikasi itu adalah bakat, dan bakat itu sangat membantu kesuksesan suatu bisnis atau usaha apa pun. Karena dalam berbisnis, pasti akan membangun jaringan dengan orang lain.

Jadi kalau tidak memiliki bakat lebih baik tidak berbisnis?

Entahlah. Kembali lagi ke dalam diri kita sendiri, dan cari tahu di mana kemampuan kita dan apa yang kita inginkan. Kemudian tekuni itu. Suatu hari kita akan menemukan hasilnya sendiri.

Nah, terakhir, apa saran Anda sebagai entrepeneur untuk khalayak publik yang ada rencana berbisnis tetapi masih ragu, dan mereka yang sudah berbisnis tetapi sedang goyah karena pandemi?

Untuk mereka yang pertama saran saya adalah beranilah ambil risiko dan cerdaslah melihat situasi dan kondisi pasar. Artinya cerdaslan melirik perubahan yang terjadi di masyarakat. Sedangkan untuk yang kedua, tetaplah berinovasi. Cari hal-hal baru tanpa mengubah karakter atau brand. Karena waktu berjalan terus, dan kalau kita lambat, kita bisa ketinggalan. Di Kotamobagu masih banyak hal unik yang bisa dieksplor, sebab belum sepadat Jawa atau Manado. Banyak peluang, hanya belum kita temukan dan usahakan.

Terima kasih banyak atas waktu dan kesempatannya untuk hadir di Berandakota, Bang. Semoga Rudeboy sukses dan lancar jaya selalu.

Sama-sama. Sukses juga untuk kawan-kawan Berandakota.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.