Jalan yang Harus diTempuh

0 784

BERANDAKOTA-Kadangkala kita sering berpikir bahwa tujuan manusia terus berupaya untuk menekan dan mengurangi rasa sakit serta ingin mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya. Namun apakah argumen ini, pencarian akan kebahagiaan, patut diperjuangkan? Bagaimana jika kebahagiaan diperoleh dengan cara-cara yang tidak adil. Sekalipun begitu, apakah keadilan dapat menjamin kebahagiaan kita? Lalu apa itu keadilan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kita harus mediskusikannya satu persatu.

Mengenai “Keadilan”

Perihal “Keadilan”, Plato (427-347 SM) telah membicarakannya secara kompleks pada Magnum Opus-nya yaitu “Republik”. Pada buku I, Plato ingin menunjukkan kesalahan keyakinan yang dipegang secara umum mengenai “Keadilan” yang dimulai dengan dialog antara Socrates dan Cephalus seorang pengusaha tua yang kaya raya—dalam filsafat percakapan itu dikenal sebagai metode dialektika Sokratik.

Socrates memulainya dengan pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan “Keadilan” itu? Tentu Cephalus menjawabnya dengan perspektif seorang pengusaha: “Keadilan” adalah mengatakan dengan sebenarnya dan melunasi utang dalam perdagangan.

Socrates lalu menggugurkan argumen Cephalus dengan analogi bahwa apakah saya harus membayar utang kepada gila yang memberikan senjatanya kepadaku saat ia berpikiran sehat? Apakah termasuk adil, jika memberitahukan musuh yang harus dibunuh pada seorang gila tersebut?

Selanjutnya yang menjadi menarik ketika Glaucon mengatakan pada Socrates bahwa “Keadilan” dan “Kebajikan” itu mulia namun dipenuhi kesedihan dan kesengsaraan; keuntungan, kenikmatan mudah didapat dengan ketidakadilan.

Dari problem Glaucon tersebut sebenarnya ada satu pertanyaan yang paling mendasar  yaitu apa bentuk atau  Ide dari “Keadilan” yang abadi dan tak berubah atau berlaku secara universal?

Dalam menjawab pertanyaan di atas kita diperhadapkan dengan teori Phorma Plato bahwa kita bisa memahami segala sesuatu yang perceptible atau yang dapat diindera yang terus menerus mengalami perubahan (tubuh), sementara ada wilayah Intelegible—apa yang disebut sebagai Nous (jiwa)di mana sesuatu bersifat tunggal dan tetap.

Pembagian kedua wilayah tersebut, antara yang perceptible dan Intelegible, bukanlah suatu pertentangan namun untuk memahami segala sesuatu lebih mendalam dan terarah pada sumber kebenaran. Proses untuk mencapai sumber kebenaran tersebut adalah dengan recollection sebagai bentuk pemahaman menganai sesuatu yang telah diketahui sebelumnya.

Secara sederhana teori Phorma  adalah konsep akan sesuatu yang tidak berubah, tetap, dan berlaku secara universal sebagai sumber kebenaran.

Katakanlah konsep kemanusiaan adalah konsep mengenai hakikat manusia yang berlaku secara universal, namun manusia itu sendiri, secara konkret, adalah individu- individu yang bisa kita ketahui baik dengan namanya, ras dan lain-lain.

Phorma dan idea bukanlah sekadar rasio atau entitas mental yang dapat dipersepsikan, namun suatu entitas yang independen, universal, dan tetap di mana segala sesuatu dapat diistilahkan, dikonsepsikan, serta direpresentasikan sehingga itu merupakan jalan menuju kebenaran sejati. Dengan teori Phorma Plato, secara tidak langsung menyangkal skeptisme kaum Sofis yang mengatakan bahwa kebenaran sejati itu sangat mustahil.

Lalu apa hubungannya dengan “Keadilan”, yang menurut Plato “Kebaikan” (Goodness) yang menjadi sebab bagi semua ide yang lain termasuk ide tentang “Keadilan”? Pada Buku IV Republik, Socrates mengatakan bahwa:

“Jika Kebaikan seperti Keseimbangan, dan Keberanian, serta Kenbijaksanaan dicerai beraikan; dan bahwa inilah yang merupakan sebab dan syarat eksistensi semua Kebaikan itu, dan kita sedang mengatakan bahwa jika ketiganya kita temukan, maka yang keempat atau yang satunya lagi adalah Keadilan.”

Terkadang pun kita seringkali berbicara mengenai “Keadilan” namun kita gagal dalam upaya untuk mengetahuinya. Hal tersebut karena kita melihat bukan pada apa yang ingin kita ketahui, namun pada sesuatu yang sebenarnya tidak berhubungan sama sekali dengan “Keadilan”.

Kebahagiaan atau Kebenaran?  

Socrates adalah seorang filsuf yang sampai akhir hidupnya tetap mempertahankan “Kebenaran” dan “Kebaikan” sebagai suatu kebenaran sejati yang harus dipegang  dan diterima oleh semua orang. Akibatnya Socrates pada akhirnya diadili dan dijatuhi hukuman mati karena pandangannya tersebut dituduh akan merusak generasi muda Athena. Namun kebenaran filsafat seperti apa yang dimaksudkan sehingga ia lebih memilih mati?

Hal ini diibartakan oleh Plato dengan alegori gua bahwa manusia tidak dapat melihat realitas yang sesungguhnya, mereka hanya bisa melihat bayangan-bayangan dari realitas tersebut. Seketika ada seseorang yang terpilih untuk keluar dan melihat realitas namun sekembalinya dalam gua, untuk memberitahukan pada teman-temannya mengenai realitas sesungguhnya, ia malah dibunuh.

Dari analogi gua Plato menjadi semacam kritik pada kehidupan sehari-hari, bahwa anggapan kita mengenai kehidupan yang layak adalah dengan mendapatkan kebahagiaan yang memuaskan hasrat. Kita tidak menyadari bahwa kehidupan  dipenuhi ilusi, pengetahuan akan dunia yang dangkal, dan kebenaran yang keliru.

Sama halnya dengan Socrates, kita hidup ditengah-tengah situasi masyarakat dengan keputusasaan, di mana makna dan kebenaran, serta nilai suatu kebaikan jatuh. Namun masih ada harapan yaitu dengan terus mencari dan mengetahui kebenaran dan kebaikan sejati. Seperti diktum terkenal Socrates, “Hidup yang tidak diuji, tidak layak untuk dijalani”.

Apakah kebenaran dan kebaikan sejati itu ada? Bagaimana cara mencapainya? Apa itu kebenaran? Apabila di dunia tidak ada yang mempertanyakan segala sesuatu atau melakukan aktivitas filsafat, itu akan menjadikan manusia tidak lagi terpisah dengan dunianya dan membuat manusia hanya sekadar kumpulan dari bagian alam objektif karena tidak lagi  mempertanyakan segala sesuatunya dengan pemahaman yang mendalam. Maka menjadi manusia adalah dengan menanyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut.

 

Referensi

Plato. Republik. Diterjemahkan dari: The Republic, Quality Paperback Book Club. Yogyakarta, Narasi-Pustaka Promethea, 2018.

Lavine, T. From Socrates To Sartre: The Philosophical Quest. Newyork, Bantam Books, 1984.

 

Penulis:

Yudha Prakasa, Mahasiswa

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.