Jam

0 714

Oleh: Rifay Tongkasi

 

BERANDAKOTA— Di kotak telepon, cahaya membiru seperti memar.

Di dering ketiga, kita sama-sama tahu –

huruf-huruf setebal kitab itu tak akan bersahabat.Cuma nama-nama yang tak kita kenal. Dan siklus yang tak putus semenjak hari pertemuan kita di musim basah yang tak mengenal vaksin dan insomnia.

Hari itu aku berdiri di depan cermin lantai dua kampus berderet dengan beberapa kertas kwitansi yang membeku dengan noda hitam di atasnya pertanda masa kuliah akan segera berakhir. Sejak saat itu, selalu ada yang membersihkan debu takdir di siku kemeja yang berjuang agar jam di ujung lorong itu tak akan pernah mati.

Tujuh belas april. berpuluh tahun lalu. Ingatkah kamu? Sungguh waktu yang indah untuk dilahirkan.

Saat menjelang malam,

jalanan yang basah

dan trem yang membelah.

Aku di atasnya berkendara menjemput

menit yang mati yang terselip di obituari

surat kabar hari itu.

Kamu selalu datang.

Siluetmu saja yang kerap berhenti

di depan titik hilang.

Tahun demi tahun terlewati, hingga tiba saatnya kita berada tepat di atas besi penutup jalan

perpisahan terjadi, bukan karena hujan yang jatuh, atau musim panas yang tertinggal, melainkan Pandemik yang mengubah kubah masjid menjadi kerucut tanpa alas yang berdiri tanpa kaki, di bawahnya terdengar jeritan sosok renta memohon agar diberi nasi.

Sesudahnya, tak ada yang tahu, kita takkan sanggup mengingat apa-apa.

Seperti apa kau dilahirkan waktu itu?

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.