Ngopi di Beranda Bersama Vicky Mokoagow
BERANDAKOTA—Setiap kali sesudah salat subuh, pesan sang ibu selalu sama: “Nak, jangan lupa keluar rumah dengan kaki kanan, dan berdoa”. Pesan itu serupa sayap baginya. Ia kemudian bergegas. Matanya sudah menyala sementara dunia sedang menunggu fajar terbit di bahu gunung Ambang. Ia mandi. Pakai baju bersih. Sarapan kemudian beranjak ke pasar.
Anak itu adalah Vicky Mokoagow. Siapa yang tidak mengenal sosok Vicky sekarang?
Kini, ia adalah seniman dan musisi eksentrik asal Bolaang Mongondow. Namun sedikit yang tahu, bahwa ia pernah menjadi bocah yang belajar bertahan hidup dengan menjual kantong kresek (kantong plastik) di pasar Kotamobagu. Tak hanya itu, secara bersamaan ia juga adalah penjual koran keliling di daerahnya.
Apakah masa kecil itu yang menentukan siapa Vicky sekarang? Entahlah. Namun tampaknya ia telah menabung ingatan-ingatan itu menjadi sebentuk seni untuk memperindah karyanya bersama Beranda Rumah Mangga (Braga). Ia belajar melihat segala sesuatu nyaris dengan ingatan yang sama untuk menciptakan lirik lagu, film pendek, bahkan karya foto-fotonya.
Anda barangkali dapat mengenal Vicky dari karyanya. Di situ, anda akan mendapati semacam gelora seorang seniman yang mengendap di baliknya, suatu spirit yang dapat menatap objek liris sekaligus magis. Bahkan ketika melihat tangkapan objek dari hasil potretnya, kita seolah melihat kesepian dan kesunyian mendapatkan tubuhnya yang nyata.
Tamu wawancara kali ini di Ngopi Beranda begitu subtil, emosional, dan galau. Jadi, tak usah berlama-lama. Berikut adalah petikan bincang-bincang penulis utama Berandakota.com, Suhendra Manggopa bersama Vicky Mokoagow, musisi, seniman, aktivis (terserah apa sebutan yang layak bagimu untuk dirinya) asal Bolaang Mongondow.
Apa kabar, bung Vik?
Baik, Alhamdulillah.
Sibuk apa sekarang?
Kesibukan sekarang mengajar di salah satu sekolah di Nuangan, Boltim. Cuma karena kondisi pandemi, jadi mengajar dari jarak jauh. Kemungkinan corak mengajar seperti ini berdasarkan kebijakan pemerintah berlangsung hingga awal tahun depan. Selain itu sibuk bikin vidio, mengulik juga album kedua Braga, dan mengurus istri yang sedang hamil.
Anak yang ke berapa ini?
Anak pertama.
Soal pendidikan Bung. Sebagai guru, menurut anda apa yang direbut Corona dari kehidupan pendidikan?
Bagi saya, yang hilang itu sisi emosionalnya. Berbeda dengan belajar dari rumah, bertatapan langsung dengan para siswa di kelas membuat saya memahami situasi tiap anak didik, baik fisik maupun emosi. Di sisi lain, saya merasa lebih mampu mentransfer ilmu jika mengajar langsung di kelas. Pandemi saat ini juga bukan tidak berdampak untuk daerah-daerah tertentu. Beruntung mereka yang punya smartphone, tapi bagi yang tidak, ini menjadi soal. Begitu juga jika jaringan tidak menunjang, berat juga walaupun punya handphone. Saya memang merindukan cara belajar dan mengajar sebelumnya.
Selain dikenal sebagai guru, anda sangat dikenal sebagai musisi. Sejak kapan mulai suka dengan musik?
Saya mulai suka musik itu 2004, sejak saya kelas 3 SMP. Itu berlanjut ketika saya SMA sampai saya kuliah. Semenjak saya kuliah di Tondano, sempat buat band, tapi vakum. Mekar lagi tepat di tahun 2014 ketika kami pulang kampung. Itu bertahan sampai sekarang. Awal paling awal mengenal musik itu sebenarnya dari tetangga saya yang jago main gitar. Setiap hari saya datang ke rumahnya dengan kostum Inter Milan, club bola andalan saya.
Pernah ikut meramaikan musik festival di Kotamobagu?
Pernah. Tapi tidak jago-jago amat. Tak pernah dapat juara. Kami sadar skill kami terbatas. (Tertawa)
Mengapa tidak ambil jurusan kesenian waktu kuliah. Bakat anda kan jelas?
Sebenarnya saya ingin mengambil jurusan seni, atau minimal sastra. Tapi anda tahu kan–orang tua berharap masa depan yang jelas bagi anak mereka. Jadi saya mengambil jurusan pendidikan. Dan itu spesifik pendidikan pancasila. Untuk jurusan pendidikan, ada jurusan yang lebih saya sukai sebenarnya–jurusan Geografi. Menariknya, saya harusnya kuliah di UNM Makassar, bukan di Unima. Tapi begitu sudah. Nasib seperti punya kehendak sendiri.
Sejak kapan mulai intens bermusik?
Mulai intens itu sejak saya SMP sampai kuliah. Namun yang sangat intens itu, seperti saya katakan tadi, pada tahun 2014. Itu disebabkan band-band di Kotamobagu mulai sepi. Ditambah tak ada lagi musik festival. Kami mulai merenung, harus bagaimana nasib bermusik kami. Akhirnya kita bersepakat bikin band tapi orientasinya berkarya.
Band yang anda maksud itu Beranda Rumah Mangga?
Iya, Braga.
Mengapa memilih nama Beraga Rumah Mangga?
Nama band itu awalanya sembarang saja dibuat. Karena kami sering nongkrong di teras rumah saya di Bongkudai dan kebetulan di halaman rumah terdapat pohon mangga. Dari situlah nama Beranda Rumah Mangga lahir. Di teras rumah itu berbagai aktifitas kami lakukan, mulai dari nongkrong santai, bermain game, curhat dan merebah diri. Dari situ pula kami mulai menyusun materi untuk musik Braga dan imajinasi kami menjadi lebih baik.
Seperti apa b raga menentukan tema bermusik ?
Soal lagu, kami punya jenis lagu sesuai fasenya sendiri. Dari SMP sampai mulai kuliah, lagunya jelas tentang haru biru percintaan. Setelah mulai hidup dalam budaya kampus sampai lulus, kami kembali merenungkan lagu-lagu lama kita. Bagaimana kalau tidak melulu lagu percintaan, bagaimana kalau kita menyampaikan isu-isu penting lewat musik? Nah, kita memulainya di album pertama, kita menampilkan musik dengan isu yang jelas. Evaluasi ini mungkin bisa dikatakan karena pengaruh buku bacaan kita, oraganisasi, referensi lagu baru, dan lain-lain.
Isu penting dan jelas yang anda maksud seperti apa?
Kalau pakai istilah Maxim Gorky dalam sastra, lebih ke realisme sosialis. Atau dengan kata lain, musik yang menyentuh fakta dan isu-isu yang kami paham. Semisal kebudayaan, sejarah 65, reklamasi, dan orang-orang pesisir di Indonesia. Bisa ditengok di album pertama kami, Samudera Ingatan. Kami memasok isu-isu tersebut dalam lirik lagu-lagunya.
Band apa yang paling memengaruhi Braga?
Hampir semua band yang kami dengar sebenarnya kami sukai. Semisal band nasional. Kami suka Peterpan, Padi, Slank, dan lain-lain. Pokoknya yang selera umumlah. Kalau band luar ada Coldplay, Muse, Oasis, dan ada banyak lagi. Namun makin ke sini, di album pertama, sepertinya menarik bagi kami membawa nuansa etnik atau folk, sekalipun belum terlalu kental nuansanya. Pada akhirnya, genre atau notasi band kami itu pop tapi isunya bagus. Di situlah nuansa folknya. Jadi kami pikir, ini bagus jika menggunakan istilah pop folk. Artinya lagu pop yang memabawa suatu isu. Secara keseluruhan, referensi band ini bisa dibilang campur aduk. Memang terbentuk lewat kombinasi yang beragam dari band-band yang ada. Tak mungkin misalnya cuma mengambil referensi satu band, seperti Peterpan. Apalagi suaranya Yedi agak boril-boril begitu. Nanti dikira meniru.
Jadi bukan karena musik indie folk lagi ramai digandrungi hingga Braga memlih genre seperti itu?
Pada dasarnya, semua band-band indie ya, pastinya pernah mengalami fase dimana Payung Teduh jadi band inspiratif dan begitu didewakan. Dan bagi saya, memang lagu-lagu mereka bagus–liriknya, notasinya, dan lain-lain. Dan band seperti ini tak pernah kami temui sejak kami mulai bermusik dulu. Waktu itu, kami hanya bisa mengakses lagu lewat CD dari band-band yang digerakkan oleh mayor label. Namun ketika memasuki era internet, musik-musik seperti ini bisa kami akses. Jadi tak bisa dipungkiri, fase ini adalah bagian dari evolusi terbentuknya Braga.
Braga sendiri sudah buat berapa album?
Baru satu. Saat ini prepare untuk album yang kedua.
Ada berapa lagu untuk album pertama?
Ada lima lagu. Seharusnya enam. Tapi karena ada satu lagu yang diperdebatkan, maka lima lagu saja yang kami release.
Ada apa dengan lagu tersebut?
Judul lagu itu Jentayu. Judul ini semacam refleksi untuk orang-orang yang ada di pasar. Ini sejatinya berhubungan dengan pengalaman pribadi saya. Dulu sejak masih duduk di bangku SD, saya jualan kantong kresek (tas plastik) di pasar. Dan ketika saya kembali berkunjung ke pasar sebagai orang dewasa–pekerjaan, kredit, jabatan, dan lain sebagainya–saya merasa memasuki kembali ingatan itu. Begitulah judul lagu ini dibuat. Namun di sini masalahnya. Kami memaknai kata itu cuma berdasar KBBI online, yakni tentang ingatan ke suatu masa yang dirindukan. Perumpamaanya begini: laksana menantikan hujan di musim kemarau. Padahal, kata ini berasal dari kata dasar Jatayu (Dewanagari: जटायू; IAST: Jatāyū), yakini burung garuda dalam kisah epos Ramayana. Ini melibatkan perdebatan di kalangan teman-teman yang konsentrasi di literasi. Antara lain kak Jamil Massa, kak Uin, dan Sigidad. Jadi bagi saya, untuk lagu ini ditahan dulu. Dengan kata lain belum ditakdirkan lahir sekarang. Barangkali nanti di album ketiga, keempat, atau mungkin nanti lima tahun yang akan datang. Tapi lagu itu, meminjam istilah Pram, sudah bagian dari anak ruhani kita. Hanya belum dirilis saja.
Sangat dinantikan lagu itu dirilis. Tapi yang tidak kalah menarik, pengalaman anda menjual kantong kresek semasa kanak. Seperti apa ?
Ya, pengalaman jual kantong kresek itu sangat membekas di benak saya. Saya masih ingat, pagi sebelum saya berangkat ke pasar, ibu selalu bilang: “Jangan lupa turun dari rumah dengan kaki kanan, dan berdoa”. Cukup lama saya jualan itu. Satu tahunan kalau tidak salah. Ketika di pasar, saya tidak hanya julan kantong keresek. Kadang, saya menawarkan jasa membawakan barang belanja seseorang dengan bayaran dua ribu. Lumayanlah. Dari jualan itu saya bisa membawa pulang uang perharinya sebesar 15-20 ribu. Untuk bocah seperti saya, dulu jumlah itu cukup besar. Banyak hal yang bisa saya beli. Selain itu, saya juga pernah jualan Koran Manado Post. Sebab, selain menambah uang jajan, saya suka membaca berita dan artikel bola dari koran yang saya jual itu.
Sepertinya anda punya banyak kisah untuk diceritakan di masa tua nanti. Nah, untuk nama di album pertama. Mengapa memilih nama Samudera Ingatan?
Samudera Ingatan itu adalah benang merah yang mengikat lima lagu dalam album tersebut. Jadi temanya tentang ingatan. Misalnya lagu Patah Jadi Air Mata. Lagu ini berangkat dari pengalaman spiritual saya ketika melihat pohon kering dan ringkih di Danau Tondok. Saya membayangkan pohon itu sebagai Mogoguyang (Leluhur Mongondow). Sebab, pohon itu berdiri dalam keadaan tua dan kering sedangkan rerumputan di bawahnya dalam keadaan hijau dan rimbun. Pohon itu sangat dekat namun risau. Ia seolah dilupakan.
Apakah lagu lagu-lagu Braga ini ada unsur kritik sosial?
Bagi saya lebih ke renungan sosial, ya. Saya percaya musik dengan tema seperti ini membuat orang merenung. Musathil bagi saya bahwa musik dapat mengubah masyarakat. Orang demo saja tidak menjamin, apalagi cuma musik. Bagi saya, musik dapat membuat kita merenungkan hal-hal yang sudah terlupakan. Seperti lagu Adil Sejak Dalam Pikiran. Selain bentuk penghargaan kami kepada Pramoedya Ananta Toer, lagu ini menjadi semacam mendium untuk membuat pendengar mencari tahu siapa Pram.
Sepertinya lebih menarik jika album pertama Braga mempunyai literatur yang menjelaskan apa dan bagaimana lagu-lagu Braga.
Puisi, kata Joko Pinurbo, ketika dijlaskan atau didefinisikan, menjadi tidak lagi menarik. Bagi saya, lagu juga demikian. Akan menjadi tidak menarik ketika ditetapkan bahwa sesungguhnya sebuah lagu menyampaikan ini-itu secara terang benderang. Sama seperti kata Roland Barthes, penulis tak lagi punya otoritas ketika karyanya sampai ke tangan orang lain. Interpretasi sepenuhnya diberikan ke penikmatnya. Entah itu apirsiasi, kritik, dan lain sebagainya.
Bagaimana proses rekamannya?
Alhamdulillah Braga rekaman sendiri. Kebetulan Basis kita punya kemampuan itu. Untuk biaya dan lain sebagainya, kami patungan. Tapi ada beberapa yang tak bisa kami tangani, kami lempar ke luar. Seperti desain cover, cetak, dan lain-lain. Untuk bahan dasar sampai jadi, hampir secara keseluruhan itu kami tangani sendiri.
Dalam bentuk CD ada?
Ada. Kemarin kami mencetak sebanyak 500 pcs.
Anda tadi menceritakan spirit dari setiap lagu Braga, khususnya di album pertama–mulai dari motovasi di balik itu, idealismenya, dan lain-lain. Adakah tujuan mendasar selain itu semua?
Goals kami sebenarnya sederhana. Bagi saya, seniman itu absah sejauh ia telah menciptakan karya. Dan seperti musik, bagi saya itu tidak perlu harus didengar oleh ribuan orang. Intinya kami menantang diri kami sendiri, mampu tidak menciptakan karya dengan biaya sendiri, lirik sendiri, gaya sendiri, notasi sendiri, sampai semua itu dibukukan. Itu saja, sih. Dan kami bersyukur dibantu oleh banyak kawan-kawan.
Nah, kembali ke grup band Braga. Bisa diceritakan sedikit bagaimana Braga bisa bertahan sampai hari?
Sebenarnya kami di Braga masih punya ikatan keluarga semua. Jadi sangat nepotisme (tertawa). Ibu saya dan ibunya Yedi sepupuan. Yedi dan Chriistian sepupuan. Ayah saya dan ibunya Christi sepupu. Ayahnya Christi sepupuan dengan ayahnya Rian. Selain itu, ada Vicro. Tapi kami semua teman dari kecil dan sekampung pula. Jadi kami semua merasa sudah keluarga. Bisa dibilang bahwa tali hubungan keluarga kami semacam jaring pengaman sehingga kita bertahan sampai hari ini.
Apakah Beranda Rumah Mangga ini seperti payung yang memayungi beberapa divisi di dalamnya? Soalnya karya anda dan teman-teman kan bukan hanya di bidang musik, tapi juga film-film pendek.
Pada dasarnya mencakup, ya. Sebab, kalau berangkat dari rumah tongkrongan kami di rumah yang di depannya ada pohon mangga, musik dan film-film itu berkembang secara bersamaan. Dan aktornya juga vokalis Braga. Bukan siapa-siapa. Braga itu semacam brand yang mencakup band juga Braga Indie Project.
Anda dikenal sebagai penulis lirik lagu, menulis naskah film, syuting, sampai urusan edit-mengedit. Anda ini tidak capek?
Pada akhirnya apa yang senang kita lakukan, akan kita lakukan. Bagi saya, itu tidak pernah akan jadi problem. Kalau ditanya capek, ya, capek. Saya kan masih manusia. Tapi barang ini sangat saya sukai. Sesuatu yang senang saya lakukan.
Kalau dalam manajemen Republik Cinta, anda ini Ahmad Dani.
Ah, tidak juga (tertawa). Sebenarnya saya suka konsentrasi di musik. Tapi saya merasa tidak bisa. Saya tidak bisa membatasi hasrat saya. Saya suka bikin film juga. Begini, ini kan seni. Dan ini berhubungan dengan gelora jiwa. Apakah ini bisa dibatasi? Tidak bisa. Tidak dibayarpun kalau saya it’s ok. Bahkan kalau bisa, saya akan menulis cerpen.
Bagaimana dengan personil band Braga ketika anda sibuk di film, apa ada keberatan tertentu dari mereka?
Kadang mereka merasa kesepian, sih. Seperti misalnya ketika saya sibuk garap film, mereka biasa bertanya begini: “bagimana ni album dank?”. Saya jawab, tunggulah. Itu punya nasibnya sendiri. Jadi mereka merasa saya harus fokus di satu hal. Tapi anda tahu kan, saya tidak bisa. Saya ingin melakukan keduanya.
Luar biasa gelora jiwa anda. Nah, Braga ini tidak hanya soal kepentingan perorangan, di situ ada kepentingan bersama atau kelompok. Dan seperti komunitas atau band pada umumnya, pasti pernah ada ketegangan internal karena kepentingan berbeda. Pertanyaannya, pernahkah ada ketegangan yang berpotensi membuat Braga bubar?
Ketegangan itu wajar dalam grup band. Bahkan diperlukan. Braga tidak hanya pernah mengalami potensi bubar, tapi ratusan kali bubar. Namun lagi-lagi, apa yang mebuat kami kembali dan bertahan adalah visi kami yang jelas. Lagi pula ketika konflik, kami kesulitan bersikap sok cool satu sama lain. Rumah kami dekat. Bertemu hampir setiap hari. Entah itu di warung atau sekedar lewat degan motor di depan rumah. Jadi memang sulit berpisah.
Bagi anda, kondisi pasar seperti apa yang diharapakan Braga?
Kondisi pasar yang Braga harapkan barangkali untuk semua seniman. Dimana panggung bersliweran di mana-mana. Dan tentunya dengan bayaran yang pantas. Saya pernah tanya ke teman-teman di Makassar soal ini. Mereka di sana hidup karena banyak panggung dan event. Satu bulan bisa sampai delapan kali mereka manggung. Untuk Kotamobagu sendiri, kita kan bukan ibu kota provinsi. Jadi nyaris semua event itu dibuat di Manado. Namun apakah kita harus menunggu Bolmong untuk jadi provinsi? Tidak juga, kan. Intinya potensi di Kotamobagu atau Bolmong secara keseluruhan itu mungkin, sejauh sudah banyak orang di Bolmong yang berkarya.
Braga dikenal dengan lirik lagu yang liris. Artinya punya nuansa spiritual dan membawa isu yang serius. Bagaimana cintra ini bagi Braga ketika melihat fenomena Yedi, sang vokalis Braga?
Bagi saya memang itu bertolak belakang. Tapi dia punya ruang untuk itu. Dan sejauh ini orang-orang menikmati siapa dirinya, entah di musik atapun di film. Orang-orang menikmati suaranya ketika ia bernyanyi, dan orang tertawa saat ia main film. Dia memanfaatkan itu. Seperti Ariel Noah, dia memanfaatkan citra dan karismatiknya. Untung hanya kelakuan Ariel yang ada pada Yedi, bukan Mukanya. Bahaya. (Tertawa)
Soalnya begini. Pernah suatu kali saya nonton Braga di Kopi Cup. Saya melihat Yedi menyanyikan lagu Adil Sejak Dalam Pikiran. Jelas lagu itu sendu. Tapi sesekali saya nayaris tertawa karena yang saya lihat di panggung tidak hanya seorang vokalis Braga, namun juga sosok ayah Dilan yang urak-urakan di film Dilan Katege.
Yah, pada akhirnya Yedi dengan segala keunikan dan kelebihannya mampu melengkapi Braga sendiri. Dan itu tak pernah direncanakan. Terjadi dalam proses natural dalam perjalanan kami berkarya. Yedi sendiri adalah sosok yang dapat mencairkan ketegangan saat kami di Braga sedang tegang-tegangnya. Dia tidak mau terlibat cek-cok. Selain itu, dia tak pernah kehabisan joke. Dan sulit kita membedakan kelucuannya baik saat main film atau pun saat ngobrol biasa dengan teman-teman. Memang natural.
Bagaimana dengan film-film pendek Braga, apakah masih punya kaitan dengan spirit tertentu sebagaimana dalam musik?
Dalam film kami folk juga, tentang rakyat biasa juga. Tapi dalam bentuk komendi. Dan saya pikir kita cocok dengan itu, kita yang ada di Timur ini. Misal ketika saya jaga warung, atau menemui satu obrolan orang-orang tua yang sedang ngopi di belakang rumah. Ada-ada saja banyolan dan sarkastis dalam perkacapan-percakan itu. Dan dalam film, itu hanya bisa lucu ketika disajikan dalam bahasa Mongondow. Menarik, ini sumber bagi saya untuk berkarya. Kami bahkan sampai pada titik dimana Braga adalah sebentuk pengabdian pada kebudayaan dan tradisi.
Ada rencana membuat lagu dengan semangat kemongondowan?
Ya, di album kedua temannya Mongondow. Kami akan mengangkat kulturnya. Bisa jadi ada lagu tentang Motayok, Inde’ Dowu’, Paloko Kinalang, dan lain sebagainya. Minimal karya kami itu mewakili spirit Mogoguyang (leluhur Mongondow). Dalam album ke dua kami, instrumen dan alat musik mongondow akan memberi aksen berbeda dalam lagu-lagu Braga. Kami coba memadukan gambus, kolintang dan seruling dengan alat musik modern. Yang pasti, album ke-2 ini merupakan salah satu persembahan terbaik kami untuk Tanah Totabuan. . Semoga berkenan di telinga dan hati paraa penikmat musik kami.
Luar biasa. Label apa sebenarnya yang cocok dilekatkan untuk seoran Vicky ? intelektual, seniman, aktivis, atau apa?
Saya tidak pernah mengidentifikasi diri seniman atau apapun. Saya persilakan orang-orang menyebut saya apa dari semua karya yang saya tampilkan kepada mereka. Anda tahu, cita-cita tertinggi saya sebenarnya dari kecil itu jadi dosen. Jadi akademisi lah. Saya ingin jadi pengajar di kampus. Namun demikianlah nasib bercerita lain.
Anda sendiri ingin berkarya sampai kapan?
Pertanyaan bagus. Saya pernah bertanya begini ke teman-teman, berani tidak kita mengatakan kepada diri kita sendiri akan berkarya terus samapai 20 tahun ke depan? Atau berani tidak kita merayakan satu dekade Braga dengan menampikan banyak hal–seperti dua album lagu Braga atau tiga album? Berani tidak membuat Braga eksis sampai kapanpun? Pertanyaaan -pertanyaan ini sesekali saya lontarkan ke teman-teman. Sedangkan bagi saya pribadi, Braga ini adalah jalan samurai saya. Sampai kapanpun.
Apakah jalan samurai anda ini membentuk relasi anda dengan orang-orang?
Ya. Saya merasa terhubung dengan mereka yang sedunia dengan saya. Bahkan saya membuat batasan tertentu dengan mereka yang tidak berkepentingan dengan saya. Pada akhirnya jalan ini menuntun saya untuk fokus pada pekerjaan yang saya sukai dan semua yang berhubungan itu. Buku yang saya baca, musik yang saya dengar, dan film yang saya tontoton. Semunya hanya dan demi segala yang berhubugan dengan jalan samurai saya.
Melihat materi lagu Braga, sepertinya anda seorang pembaca buku. Buku seperti apa ?
Saya tertarik dengn Sastra Latin. Saya tertarik karena saya mendapatkan isu-isu serupa sebagaimana yang coba saya ungkapkan dalam musik. Artinya isu-isu yang terjadi juga di negeri ini. Kita punya latar sejarah yang sama.
Melihat jawaban-jawaban anda dari tadi, saya penasaran dan membayangkan bagaimana pengalaman kisah cinta anda. Boleh?
Boleh. Mar sadiki’ joe (tertawa). Ini sedikit kisah soal saya dan istri saya sebelum menikah. Saya bertemu dengannya saat masih kuliah. Ia mahasiswa baru (maba) waktu itu. Beda satu semester dengan saya. Jadi saya pacaran dengannya sampai wisudah, kerja, sampai menikahinya. Hal romantis yang pernah saya lakukan adalah menciptakan lagu. Lagu itu adalah mahar untuk dia, dan tercipta sesudah lagi sayang-sayangnya dan sakit-sakitnya. saya di kampung dia di Bitung. Hingga pada akhirnya saya memutuskan melamarnya. Judul lagu itu adalah “Kau”.
Luar biasa. Romantis sekali.
Ah, biasa jo. (Tertawa)
Terima kasih bung Viki atas waktu dan kesemptannya. Semoga Braga sukses dan tetap produktif menciptakan karya-karya yang bernilai.