Panopticon ala Virtual Police: Bagaimana Nasib Kebebasan?

0 1.032

Kini perasaan kita bakal tidak sama lagi saat menulis status di media sosial (medsos). Sudah ada entitas virtual yang akan senantiasa berpatroli menafsirkan kata-kata anda–apakah ada salah kalimat, salah kata, atau khilaf. Entitas itu adalah virtual police (VP) atau polisi virtual.

Polri mulai menjalankan program tersebut sebagai salah satu target capaian Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di 100 hari pertama masa kerjanya. Selain itu, ini adalah adalah unit yang digagasnya untuk merespons arahan Presiden Joko Widodo terkait pasal-pasal karet yang ada di dalam UU ITE.

Namun apa itu VP?

VP menurut Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono adalah usaha Korps Bhayangkara demi memberikan edukasi kepada publik supaya tidak menyebarkan konten yang diduga melanggar hukum.

Dikutip dari Tirto.id, cara kerja dan aturan unit virtual police adalah sebagai berikut: “1) Virtual Police memberikan peringatan kepada akun di media sosial yang diduga melanggar. Hal ini dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat ahli, bukan pendapat subjektif penyidik Polri, kata Argo, 2) Saat akun mengunggah tulisan gambar yang berpotensi melanggar pidana. Langkah selanjutnya, petugas akan menyimpan tampilan unggahan itu untuk dikonsultasikan dengan tim ahli yang terdiri dari ahli pidana, ahli bahasa, dan ahli informasi dan transaksi elektronik (ITE), 3) Jika ahli mengatakan konten tersebut memuat pelanggaran pidana, baik penghinaan atau yang lainnya, langkah selanjutnya adalah diajukan ke direktur siber atau pejabat yang ditunjuk di siber memberikan pengesahan, 4) Kemudian Virtual Police Alert dikirim secara pribadi ke akun yang bersangkutan secara resmi, 5) Peringatan akan dikirimkan lewat direct message (DM). Sebab, Kepolisian tidak ingin peringatan dari Virtual Police kepada pengguna media sosial ini diketahui pihak lain karena bersifat rahasia.”

Program ini bukan tidak mengundang pro dan kontra. Di satu sisi, program tersebut dinilai bagus karena dapat meredam informasi berbahaya berdasarkan kriteria UU ITE sekaligus untuk mengedukasi publik terkait bagaimana menggunakan medsos dengan baik dan benar. Namun di lain sisi, program tersebut juga dinilai mengancam kebebasan berekspresi di jagat maya sekaligus rasa tidak nyaman bagi para pengguna medsos.

Jika kita sepakat pada alasan pertama, maka kita sepakat dengan UU ITE alias UU karet, mengingat bahwa VP adalah derivasi dari UU tersebut. Namun jika kita sepakat pada alasan kedua, maka evaluasi etis kita berfungsi dengan baik. Sebagai warga negara yang cerdas, mari kita ikuti yang kedua.

VP seperti diketahui, bertugas memantau segala aktivitas di medsos, artinya memantau semua orang. Tunjuannya terdengar baik: membersihkan semua perkara yang berkaitan dengan hoaks, fitnah, kekerasan verbal ala UU ITE yang, sejak diresmikan, pasal 27 ayat 3 sudah menjerat puluhan orang. Sepanjang 2020, lembaga pemerhati keamanan internet, Safenet, mencatat sudah ada 34 kasus yang terjadi. Di tahun ini, bahkan sudah 74 kasus. Negara, dalam konteks ini, sedang menerapkan strategi kekuasaan yang bernama panopticon atau panoptisisme.

Panopticon adalah analogi kekuasaan dari Michel Foucault, filsuf postrukturalisme Prancis. Ia menggunakan ide ini dari model arsitektur yang dirancang oleh filsuf Inggris Jeremy Bentham. Panopticon adalah semacam bangunan melingkar, yang mana di tengah-tengahnya terdapat menara bersama seseorang yang bertugas memantau lingkaran.

Pada bangunan tersebut, terdapat sel-sel yang yang memiliki dua jendela, jendela luar dan dalam lingkaran. Satunya menghadap menara, satunya lagi di bagian belakang, tempat masuknya cahaya matahari. Sel-sel tersebut dapat dihuni orang-orang gila, dikutuk, putus asa, pasien, sampah masyarakat dan lain sebagainya. Panopticon bak mata Tuhan yang tak pernah lelah memantau semua gerak hidup hambanya. Dan hambanya senantiasa merasa selalu dalam pantauan-Nya.

Pada dasarnya, panopticon berfungsi mengatur segala sesuatu. Bangunan melingkar adalah simbol sekaligus sistem yang menunjukkan bahwa kekuasan dapat bersifat permanen meski pengawasnya tidak setiap waktu mengawasi. Artinya, ada gejala psikologis sebagai efek yang dihasilkan dari mekanisme kontrol tersebut. Walhasil, efek utama panopticon adalah menciptakan dalam diri para penghuni sel kesadaran bahwa mereka terus diamati, dan itu sifatnya otomatis. Maka tidak ada lagi kekuasan represif; tidak perlu lagi todongan senjata. Orang-orang akan patuh dan merasa selalu ada dalam lingkaran.

VP adalah menara panopticon dan jagat maya adalah bangunan yang melingkar di manara tersebut. Untung-untung kalau perusahaan madia sosial tidak ingin ikut serta membentuk lingkaran. Tetapi jika iya, kekuasaan negara pun utuh. Kecemasan atas kehilangan ruang ekspresif muncul seketika. Namun apa masalahnya jika tujuan kontrol itu baik, untuk menjaga keutuhan NKRI harga mati, misalnya?

Persolannya lagi-lagi UU ITE. UU ini bersifat karet. Jebakan hukum yang tidak objektif sangat mungkin terjadi. Menara VP punya standar dan ukurannya sendiri yang tertuang dalam pasal-pasalnya. Salah satu pasal bermasalah yang dimaksud terkait dengan pasal 27 ayat 3 tentang defamasi. Pasal ini disebut dapat digunakan untuk mengekang kegiatan berekspresi warga, aktivis, dan jurnalis. Selain itu juga mengekang warga untuk mengkritik pihak polisi dan pemerintah. Bunyi pasal tersebut adalah: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Sebagai pertimbangan sebelum lebih menyakitkan, mari kita tengok VP yang ada di negara-negara lain. Sebab, ini bakal menjadi penentu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh disuarakan.

Pada tataran aplikasinya, pemerintah melakukan sensor sedemikian rupa demi tatanan kekuasan di dunia maya, entah itu dengan cara yang halus atau kasar. David Bamman, dalam studinya yang berjudul “Censorship and Deletion Practices in Chinese Social Media”, yang diterbitkan dalam jurnal First Mondel Vol. 17 No. 3, Maret 2012, menunjukkan dua jenis sensor tersebut, yaitu “hard censorship” atau sensor keras dan “soft censorship” atau sensor halus.

Konon, yang lebih menakutkan di sini adalah soft censorship. Mengapa? Karena pemerintah akan mengecek setiap konten atau status di medsos dengan sangat detail mulai dari penggunaan kata dan kalimat. Salah satu kasus dalam sensor semacam itu pernah terjadi di Cina. Pemerintah Cina meninjau semua konten yang diunggah warga di berbagai media sosial, kemudian menghapus konten yang mengandung kata/kalimat yang tak direstui Beijing, termasuk hal-hal yang sepele. Bahkan yang paling menyedihkan adalah Beijing pernah mengutuk huruf “N”.

Dengan demikian, tidak ada yang patut dikritik dari program VP selain ancamannya terhadap kebebasan dan keadilan dalam hukum. Meski punya konskuensi, kita harus sadari bahwa lebih baik mempertahankan kebebasan daripada kehilangan kebebasan.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.