Seorang Perempuan yang Lulus Sekolah Kehidupan
“Jika Anda menginginkan sesuatu untuk dikatakan, mintalah kepada pria; jika Anda menginginkan sesuatu untuk dilakukan, mintalah kepada wanita,” begitu kata Margareth Thatcher, seorang politikus dan Perdana Menteri Britania Raya.
Apakah maksud kutipan di atas mengatakan bahwa kaum pria hanya bisa berkata-kata, dan tidak bisa bekerja? Tidak demikian. Thatcher barangkali hanya bermaksud menunjukkan bahwa perempuan pada dasarnya memiliki peran besar dalam hidup. Ia adalah simbolisasi bumi yang memelihara sekaligus menghidupi. Dan itu adalah tindakan langsung, konkret. Bahkan telah menjadi kodratnya.
Sicilya Mokoginta, pekerja kemanusiaan di bidang pemberdayaan masayarakat membuktikan hal itu. Ia adalah perempuan tangguh asal Bolaang Mongondow (Bolmong). Ia melewati masa muda yang tidak mudah, namun hal itu membuat ia kemudian lahir kembali. “Saya melewati sekolah kehidupan, dan saya lulus,” katanya.
Berandakota kali ini bercakap dan bertanya-tanya soal kerja kemanusiaan yang dilalui Ika, panggilan akrabnya sehari-hari. So, langsung saja ikuti tanya-jawab bersama Sicilya Mokoginta yang seru dan menginspirasi berikut ini.
Halo, kak. Apa kabar?
Baik, alhamdulillah.
Apa kesibukan sekarang?
Sibuk sebagai ibu dari anak berumur satu tahun dua bulan, dan tentunya sebagai seorang istri. Sekarang juga bekerja di pemberdayaan masyarakat, sebagai tenaga ahli pelayanan sosial dasar untuk kesehatan dan pendidikan. Sekarang bertugas di Bolaang Mongondow Utara (Bolmut). Selain itu, sebagai wakil dekan dan kepala program studi (Kaprodi) di Universitas Dumoga (UDK).
Sudah berapa lama berkiprah di pemberdayaan masyarakat?
Sekira dari 2016.Kerja itu sebenarnya berawal dari yayasan keluarga, Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM), di Desa Bilalang III. Ada salah satu penyelenggara saat itu yang terangkat menjadi ASN, sehingga tak lagi terlibat. Saya sebagai sekretaris di yayasan tersebut kemudian menggantikannya.
Bagaimana Anda bisa tertarik di dunia sosial?
Lingkungan yang membuat saya tertarik dengan bidang tersebut. Ibu saya seorang guru, sekaligus juga lingkungan yayasan yang saya sebut di atas. Pada 2017, dibuka seleksi tenaga ahli untuk pendamping wilayah kabupaten. Saya ikut, dan lulus. Namun penempatannya hanya ada dua pilihan: Minahasa dan Talaud. Dan masing-masing keduanya mewakili dua tupoksi, di Minahasa pelayanannya teknologi tepat guna dan untuk Talaud pelayanan sosial dasar. Saya kemudian memilih yang kedua, karena saya pikir itu passion saya meski ditempatkan di pinggir Indonesia.
Dulu kuliahnya di kampus mana?
Saya kuliah S1 di UDK jurusan ekonomi pada 2008. Lanjut S2 di Surabaya, mengambil magister manajemen. Jadi linear dengan jurusan saya S1 dan passion saya di pelayanan sosial.
Apakah terlibat juga di organisasi mahasiwa saat itu?
Iya, 2006 saya di PMII Bolaang Mongondow (Bolmong).
Sebagai orang yang terjun di pemberdayaan sosial atau masyarakat, apa masalah konkret di lapangan yang kerap Anda temui?
Sejak menjalani pekerjaan ini, dari Talaud hingga Bolmut, saya pikir masalahnya masih berkisar pada perlindungan perempuan dan gizi buruk. Kebetulan Bolmut menjadi kabupaten lokus untuk gizi buruk dan stunting. Persentasenya lumayan tinggi dari 2016 sampai 2019. Namun, berkat kerja sama dengan stakeholder yang ada, alhamdulillah angkanya turun. Dan akhirnya Bolmut mendapatkan penghargaan terbaik sebagai salah satu kabupaten prioritas di Sulawesi Utara, selain Bolaang Mongondow (Bolmong). Sedangkan untuk masalah perlindungan anak dan perempuan, masalah spesifiknya ada pada anak putus sekolah, penelantaran dan lain sebagainya. Kalaupun saya belum direlokasi tahun ini, saya akan fokus di wilayah itu. Mengingat Bolmut bukan lagi kabupaten prioritas untuk penanggulangan gizi buruk. Selain itu, ada satu lagi masalah, disabilitas. Masalah yang sampai hari ini belum manjadi perhatian pemerintah. Mereka, pada dasarnya masih bisa kita berdayakan baik dari segi fasilitas maupun kemampuan berkarya. Fakta di lapangan yang saya temui adalah kebanyakan mereka tidak punya tempat tidur yang layak dan tak diberdayakan. Rencana kerja saya untuk 2021 ini adalah membuat Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk memberdayakan mereka sebagaimana yang dilakukan di kota-kota besar.
Apa tantangan yang paling berkesan yang pernah Anda alami semasa turun di lapangan?
Barangkali pengalaman saya sejak di Kabupaten Talaud, ya, pada 2017. Di sana kan terdapat pulau-pulau terpencil yang butuh akses yang lumayan sulit untuk tiba. Seperti beberapa pulau yang agak jauh dari ibu kota Talaud, antara lain Pulau Karatung dan Miangas. Pernah suatu kali, kami hendak pergi ke salah satu desa terujung yang membutuhkan waktu sekitar tujuh jam lamanya. Adapun jalan menuju desa tersebut masih tanah dan beberapa kali melewati sungai. Kami satu tim sebanyak enam orang bergegas. Hingga dalam perjalanan, kami menemui malam, tepat di hadapan sungai yang lebar dan keruh. Untung di sungai tersebut ada penyedia jasa menyeberang, yakni rakit. Kami pun diangkut oleh rakit bersama kendaraan yang kami bawa. Bayangkan, naik rakit melewati sungai yang keruh dan lebar di malam hari. Kecemasan saya mencuat tentang segala sesuatu yang bisa saja menerkam dari dalam sungai. Sekarang sungai itu sudah dibuatkan jembatan oleh pemerintah. Jalannya juga sudah diaspal.
Iya, siapa yang tahu kalau ada buaya yang tiba-tiba …
Nah, itu. Kan menakutkan. (Tertawa)
Tidak hanya itu. Saya pun tertantang untuk beradaptasi di negeri asing di Talaud. Berhadapan dengan orang baru, suasana baru, dan kekhawatiran yang baru, tentunya. Pagi hari, ketika bercakap dengan orang-oang di sana, bau alkohol melayang di udara bersama suara. Agak gugup, tetapi memang seperti itu kebiasaan yang ada. Mereka ramah. Kita hanya perlu terbiasa.
Sebagai perempuan, apakah Anda tidak merasa terlalu berlebihan menantang diri dalam pekerjaan tersebut?
Mungkin karena saya sudah melewati suatu kondisi yang memungkinkan saya untuk beradaptasi dengan segala situasi. Semasa SMA sampai kuliah, saya dan empat saudara saya hidup tanpa peran seorang ayah. Ayah saya jatuh sakit waktu itu (hingga kini), dan saya nyaris menggantikan semua perannya dalam keluarga. Ada kakak saya, tetapi dia sudah menikah. Jadi fokusnya sudah banyak di keluarga barunya. Maka sayalah yang mengantar ibu ke sekolah setiap hari, pergi melihat pekerja di kebun, mendampingi semua urusan pendidikan adik, dan lain sebagainya. Jadi saya pikir, pengalaman itu adalah sekolah kehidupan saya, dan saya lulus dari sekolah itu.
Apakah kondisi waktu itu tidak menghalangi Anda sebagai perempuan muda untuk bergembira ria bersama atau ngumpul-ngumpul bareng teman begitu?
Tidak juga. Saya masih bisa berkumpul dengan teman-teman, bergaul dan semacamnya. Kondisi itu tidak menghalangi saya. Orang-orang sekitar mungkin hanya tidak tahu, dan saya menghidari untuk baperan.
Menurut Anda menjadi perempuan itu seperti apa?
Jangan dibatasi dengan nama perempuan. Pengalaman saya memberi saya pelajaran bahwa kesan perempuan terbatas di rumah saja dan hanya bisa melakukan hal-hal tertentu tidak benar. Dan itu tanpa harus mengabaikan kewajiban sebagai seorang istri dan kewajiban-kewajiban lainnya.
Terakhir. Apa pesan Anda kepada semua perempuan di luar sana tentang menjalani hidup sebagai perempuan?
Banyak-banyaklah menggali potensi diri. Cari di bidang apa yang dirasa cocok dan disukai. Sangat menyenangkan misalnya bekerja dan pekerjaan itu kita sukai. Dan dibayar pula. Saya merasakan hal itu di bidang saya, di dunia sosial. Artinya, kenali diri kemudian eksplor.
Terima kasih atas waktu dan kesempatannya, Kak. Semoga senantiasa sehat dan sukses selalu. Amin.
Sama-sama. Sukses juga untuk teman-teman Berandakota.