Ngopi di Beranda Bersama Cindy Aristi Dilapanga

0 1.484

BERANDAKOTA— Hari itu, 23 Juli 2020, siang mulai surut di kaki langit. Percakapan merambah luas di pelataran kantor Beranda Kota–bakal calon pilkada, Korona, Tan Malaka, kapan nikah? siapa tamu ngopi di Beranda?

Percakapan berjalan meninggalkan waktu dan muncul nama itu: Cindy Aristi Dilapanga. Ya, Ia seorang jurnalis muda perempuan asal Kotamobagu yang saat ini bekerja di Kompas TV Jakarta, salah satu stasiun televisi swasta nasional di Indonesia yang berfokus pada konten berita.

Sosok Cindy Aristi Dilapanga kemudian dipertimbangan untuk menjadi tamu Ngopi di Beranda. Dan ketika melihat latar belakang dan informasi tentangnya, akhirnya diputuskan bahwa tamu minggu ini jatuh kepadanya. Penasaran?

Berikut petikan bincang-bincang penulis utama Berandakota.com Suhendra Manggopa bersama Cindy Aristi Dilapanga, jurnalis dan Production Assistant-PA di Kompas TV.

Hallo, Cindy. Apa kabar?

Alhamdulillah sehat walafiat, semoga teman-teman di Kotamobagu sehat dan dijauhkan dari marabahaya.

Menurut Informasi, katanya asli Bolmong dan sekarang sebagai jurnalis Kompas TV, ya?

Ya, saya asli Kotamobagu, tepatnya di kelurahan Biga. Dan sekarang reporter sekaligus Production Assistant (PE) di Kompas TV.

Sudah berapa tahun menjadi reporter?

Untuk menjadi reporter profesional sekira sudah dua tahun ini, artinya yang betul-betul kerja.

Mengapa memilih profesi di dunia jurnalistik?

Sebab, sudah menjadi pilhan sejak kecil. Dan kuliah pun saya memilih jurusan jurnalistik. Jadi bisa dikatakan, dunia reporter itu sudah mulai saya jalani waktu kuliah. Entah mengapa sejak kecil, saya ingin tampil di TV membawa berita. Pokoknya yang bisa ditonton dari rumah lah.

Bagaimana susah-senang hingga jadi reporter seperti sekarang, mulai dari rencana awal melamar kerja, jauh-jauh dari Bolmong sampai ibukota?

Susah sekali. Saya harus meyakinkan orang tua ketika memilih kuliah di bidang jurnalistik pascalulus SMA. Orang tua ingin saya mengambil jurusan yang memudahkan saya menjadi PNS mengingat latar belakang mereka sebagai PNS. Akhirnya saya pergi ke Yogyakarta dan mengambil jurusan teknik industri. Di masa-masa kuliah itu, saya mengikuti berbagai event radio dan presenting berita, dan Alhamdulillah, saya dapat juara dari berbagai event itu. Berjalannya waktu, akhirnya orang tua sadar dan terbuka hati mereka untuk mengikuti keinginan saya. Hingga kemudian, saya pindah di salah satu kampus broadcasting di Kominfo. Empat tahun  saya kuliah di situ. Jadi total hampir enam tahun kuliah di Jogja. Teman-teman seangkatan sudah kerja, saya masih kuliah demi keinginan saya menjadi reporter. Tapi setiap orang punya masanya sendiri untuk bertumbuh, bukan. (Tertawa)

Reporter perempuan itu seperti apa sih, menurut Cindy?

Menurut saya harus kuat fisik dan mental. Sebab, perempuan itu tidak seperti laki-laki yang secara fisik lebih kuat ketika melakukan liputan sendiri dalam keadaan cuaca panas. Ditambah lagi ketika janjian dengan narasumber yang batal dan tiba-tiba dipindahkan pada agenda lain yang membuat saya harus menyesuaikan diri karena tidak begitu dikuasai. Selain itu, saya sendiri adalah reporter politik yang tentunya banyak berhubungan dan bertemu dengan para pejabat. Dan kadang, ketika dihubungi, baik via WhatsApp atau ditelfon langsung, sebagian pejabat ada yang cenderung bersikap menggoda. Ini membuat saya kurang nyaman, dan bagi saya itu jangan sampai take it personally. Jangan mudah baper lah. Pokoknya menantang saya sebagai perempuan. Kadang juga saat ditugaskan sebagai Vidio Jurnalis (VJ), itu saya jalan sendiri, tidak didampingi oleh cameraman. Saya kemudian harus mengambil gambar sendiri, membuat transkrip sendiri, dan menyediakan pertanyaan sendiri. Berbeda misalnya ketika bersama cameraman, reporter hanya bertanya, handle narasumber dan tidak disibukan dengan teknis pengambilan vidio. Tapi kalau jadi VJ seorang diri, maka saya ditantang untuk dua kali lebih siap dibanding bersama cameraman.

Sebagai reporter, pasti dituntut untuk menggali persoalan di balik setiap berita dan peristiwa. Apakah Cindy punya pengalaman unik atau memorable saat melaporkan sebuah peristiwa? Jika pernah, seperti apa itu dan mengapa?

Sebagai reporter, saya sendiri punya insting menggali persoalan di balik peristiwa yang menurut saya penting. Tapi karena saya bekerja di bawah kendali perusahaan dan membawa nama perusahaan, maka saya harus mengikuti instruksi perusahaan. Berbeda misalnya ketika saya masih kuliah dan melakukan liputan, itu agak bebas karena tidak bernaung di bawah satu perusahaan. Tapi soal pengalaman yang berkesan, pernah terjadi dimana saya masih magang di Kompas TV Manado, sebagai syarat utama untuk memperoleh kontrak kerja. Kesan tersebut barangkali belum pernah terjadi dalam sejarah Kompas TV semenjak saya magang. Ketika itu saya ditantang untuk menjadi stand-upper di daerah untuk segmen nasional dalam Sapa Indonesia Siang di Kompas TV. Saya ditantang membawakan tiga berita sekaligus atas nama jurnalis Biro Kompas TV Manado, padahal saya masih magang. Apa sih spesialnya anak magang? Sedangkan untuk menjadi stand-upper itu butuh pengalaman minimal dua tahun, atau setidaknya sudah punya jam terbang tinggi. Apalagi saya waktu itu masuk di-slot siang, padahal kalau reporter baru itu biasanya ditempatkan pada slot pagi atau subuh-subuh begitu. Selain itu, saya juga ditunjuk untuk membawakan satu cerita feature tentang kacang goyang di Kotamobagu dan liputan itu naik ke Kompas TV nasional. Kesan mereka di pusat pada akhirnya menganggap saya sebagai jurnalis, dan tidak ada yang tahu kalau saya ini masih magang. Ini adalah hal yang sangat berkesan bagi saya, dan unik.

Pernah melaporkan peristiwa kontroversial, jika pernah, peristiwa apa itu?

Pernah. Itu awal bulan Februari lalu soal wacana pemerintah memulangkan WNI eks-ISIS perempuan dan anak-anak. Bagi pemerintah, khususnya Menteri Agama, mereka itu masih WNI, artinya masih berada dalam tanggung jawab negara. Jumlah yang bakal dipulangkan kalau tidak salah itu sekitar 600 orang. Saya sendiri waktu itu mendapat tugas untuk meng-handle program wacana itu dengan melakukan riset untuk tayangan. Ini sangat kontroversial menurut saya karena mengundang pro dan kontra di masyarakat. Khususnya para pegiat HAM yang mendorong pemerintah agar memulangkan eks-ISIS atas nama hak asasi manusia. Sedangkan yang kontra, menganggap memulagkan eks-ISIS di tanah air, justru berbahaya. Waktu itu saya mengundang salah seorang WNI eks-ISIS sebagai narasumber yang dipulangkan beberapa tahun lalu. Ia mengatakan justru berbahaya ketika pemerintah memulangkan mereka ke tanah air, itu akan menjadi potensi atau bibit-bibit teroris di kemudian hari. Saya dan tim waktu itu berada pada posisi kontra berdasarkan banyak hasil riset kita. Tapi kita agak kesulitan mencari narasumber yang pro karena pemerintah sendiri memberi jawaban yang labil soal isu ini, makanya tidak ada perwakilan dari pemerintah yang bisa. Apalagi ada narasumber yang baru menerima pre-interview sudah gugup lebih dulu, karena ia berpikir pre-interview saja pertanyaan-pertanayannya tajam, apalagi sudah masuk diwawancara lansung. Untuk wacana tersebut, saya sendiri merasa dilema antara pro dan kontra. Sebab, di satu sisi, anak-anak dan perempuan itu bisa saja terlantar di Suriah sana di kamp-kamp pengungsian. Dan banyak dari mereka, berdasarkan hasil riset saya, pergi ke Suriah hanya ikut suami dan tidak tahu kalau tujuan pergi ke sana untuk berperang, untuk jadi teroris.

Reporter ideal itu seperti apa sih bagi Cindy?

Bagi saya, reporter ideal itu yang vocal, berani, dan suka mencari tahu. Meskipun seperti yang saya bilang tadi, kalau saya tidak bisa berbuat banyak karena berada di bawah payung perusahaan. Kendatipun demikian, saya bisa memilih topik atau isu apapun selama itu bisa saya perjuangkan dengan argumen yang kuat di meja redaksi, sampai itu dianggap layak.

 Sebagai reporter, pasti punya reporter favorit terkenal, nah siapa, dan mengapa dia?

Untuk pertanyaan ini, kebanyakan jurnalis-jurnalis muda akan menjawab Najwa Shihab. Sebab, Najwa Shihab itu tegas, lugas, berani, dan vocal. Kita bisa melihat di setiap tayangannya, dia menjadi leader dan menguasai ruangan, dimana setiap narasumber hanya menjawab apa yang ia tanyakan. Ia memang tidak punya backround jurnalis, tapi ia menunjukkan the power of journalist. Ia memulai karirnya itu dari nol dan merupakan jurnalis Metro TV Nomor satu. Selain itu, saya juga suka dengan Aiman Witjaksono. Sosok yang inspiratif bagi saya. Saya biasa menyapanya Om Aim, sebab sama-sama juga di Kompas TV dan merupakan senior saya. Dia ok. Orangnya skeptis tapi tidak menyudutkan. Selain itu, sebagai senior saya di Kompas TV, pengalaman ngobrol dengan beliau, membuat saya melihatnya sebagai sosok yang dapat membentuk pola pikir jurnalis-jurnalis muda di bawahnya. Jadi, di kalangan perempuan ada Najwa Shihab, di kalangan laki-laki ada Aiman Witjaksono.

Apa saja hobi Cindy?

Sepertinya saya hobi memasak, ya. Selain karena bertahan hidup, juga karena anak kosan, anak perantauan. Di kantor banyak tekanan, jadi mencari aktivitas yang ringan di kos, ya, masak. Pokoknya saya hobi masak (tertawa).

Punya aktivitas lain selain reporter?

Karena WFH, jadi banyak ikut diskusi online, sih. Khusunya diskusi soal politik. Sebab, saya sendiri berada di bagian program politik. Bagi produser, saya mesti banyak mengikuti diskusi seperti itu untuk melihat perkembangan politik untuk kemudian di-report kembali. Tapi kebanyakan ketika diskusi online dengan salah satu politikus misalnya, jatuhnya malah interview ke politikus tersebut. Mungkin karena sudah terbiasa di dunia jurnalistik, ya. Selain itu, karana tidak bisa keluar-keluar kos, ya masak. Sambil cari-cari resep baru. Dan hasilnya, jualan deh.

Nah, apa pesan bagi mereka yang punya cita-cita terjun di dunia jurnalistik, atau yang sedang studi untuk menjadi jurnalis?

Pesan saya untuk teman-teman yang bercita-cita menjadi jurnalis atau yang sedang studi di bidang jurnalistik, tetap semangat. Bagi saya, profesi jurnalis adalah alternatif selain menjadi PNS. Kebanyakan mereka, apalagi kebiasaan di Kotamobagu, kuliah jauh-jauh namun balik lagi ke Kotamobagu demi jadi PNS. Menjadi jurnalis itu pilihan alternatif yang menguntungkan bagi saya. Sebab selain menjadi hobi yang dibayar, juga sebagai profesi yang menguntungkan. Artinya, bisa memungkinkan kita untuk belajar hal baru, bertemu orang baru, dan punya jaringan yang luas. Ini berlaku juga untuk profesi yang lain. Namun dalam hal ini, untuk putri asli Bolaang Mongondow, memilih menjadi jurnalis itu adalah pilihan alternatif yang berani, menjanjikan, dan menyenangkan. Jadi ada suatu kebanggaan tersendiri bagi saya dan orang tua, misalnya, ketika ditanya oleh orang-orang kerja di mana, dan saya menjawab di Kompas TV. Artinya kuliah jauh-jauh tidak selalu harus pulang jadi PNS, bukan. Jadi untuk teman-teman di bidang jurnalistik dan yang sedang bercita-cita menjadi jurnalis, tetap semangat. Semoga kelak mengahasilkan karya bermanfaat bagi banyak orang.

Terima kasih banyak, atas waktu dan kesempatannya, Cindy. Sukses terus dan sehat selalu.

Amin, Sama- sama Enda.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.