Menggali yang Purba, Menceritakan kepada yang Muda

0 757

Sejarah merentang di sekitar kita. Lihat ke luar jendela. Apa hal tertua yang bisa Anda lihat?

Untuk menjadi sejarawan, Anda harus bertindak sebagai detektif. Tugas sejarawan adalah menemukan dan memanfaatkan dokumen sejarah, catatan, surat kabar, foto, film, buku harian, buku, surat, dan artefak untuk mendeskripsikan dan menentukan perkembangan yang terjadi dalam periode studi sepanjang waktu.

Sejarawan pertama-tama harus mengumpulkan data dari berbagai sumber, membuat hipotesis tentang data yang dikumpulkan, dan mulai membuat kesimpulan tentang semua aspek kehidupan pada waktu dan tempat tertentu.

Berandakota kali ini mewawancarai sejarawan sekaligus budayawan Bolaang Mongondow (Bolmong), Uwin Mokodongan. Ia adalah satu di antara beberapa sejarawan muda yang dikenal saat ini di Bolmong. Namun demikian, ia menolak ketika Berandakota menyebutnya sejarawan. “Saya belum pada taraf ini. Apalagi latar belakang studi formal saya bukan di jurusan sejarah melainkan ilmu sosial dan politik,” katanya. “Kalau penikmat sejarah, ya.”

Berikut adalah bincang-bincang Berandakota bersama Uwin Mokodongan.

 

Halo, apa kabar Bung Uwin?

Baik, alhamdulillah.

Apa kesibukan sekarang?

Kepala rumah tangga.

Ya, saya tahu.

Sibuk membangun kembali budaya dan tradisi Bolaang Mongondow (Bolmong).

Apa saja yang Anda lakukan dalam membangun itu?

Lebih sering dengan aktivitas literasi. Selain itu ikut terlibat dengan komunitas-komunitas budaya yang ada di Bolmong. Kami mengkaji sejarah, menulis, dan berdiskusi.

Mengapa Anda tertarik dengan sejarah dan kebudayaan Bolmong?

Semuanya berawal sejak saya berumur tujuh tahun. Waktu itu ayah saya adalah Sangadi atau Kepala Desa Passi pada 1986, yang mendapat kewajiban membuat profil desa dalam bentuk buku, yang di dalamnya termasuk menceritakan asal-usul berdirinya sebuah desa. Ia kemudian melakukan riset demi memenuhi kewajiban itu–mencari narasumber dan data-data pendukung. Selama penelitian itu, ayah sering membawa saya.

Apakah ayah Anda adalah orang pertama yang menulis profil Desa Passi?

Bukan, awalnya sudah dibuat oleh Sangadi Muraji Mokodompit, sangadi sebelumnya. Itu bahan awalnya. Nanti disempurnakan di zaman ayah saya, termasuk memasukkan asal-usul atau sejarah desa. Ayah saya membuat tim waktu itu, yang mencakup lembaga adat dan guhanga-guhanga (tua-tua adat). Dan yang menarik, dalam masa penelitian, ayah saya bertemu orang tua kampung bernama Goguma Paputungan, atau dulunya biasa disapa Laki Nayu. Siapa dia? Dia adalah orang yang sewaktu remaja sering bermain di rumahnya Dunnebier, penulis yang sering dirujuk sebagai referensi penulisan sejarah Bolmong. Rumah penulis ini kan di Passi, dan salah satu narasumbernya adalah keluarganya Laki Nayu.

Jadi di situ awal mula Anda tertarik dengan wacana dan sejarah kebudayaan Bolmong?

Iya benar. Bahkan waktu kelas satu SMP, saya mulai mengasah kemampuan saya. Pada pelajaran bahasa Indonesia, kami mendapat tugas mengarang, yang lain mengarang aku pergi ke kebun, ke rumah nenek, ke awan saya malah menulis karangan dengan judul “Asal-usul Desa Passi” dan memakai referensi dari buku profil desa yang ditulis ayah saya bersama tim. Akhirnya saya juara satu membuat karangan. Guru saya senang. Saat SMA pun saya menulis karangan yang sama pada pelajaran bahasa Indonesia.

Bisa ceritakan sedikit kapan semangat menggali sejarah di Bolmong muncul?

Itu pascareformasi 1998, tepatnya awal 1999. Waktu itu saya diajak oleh salah seorang teman di Jakarta untuk hadir mewakili Bolmong pada deklarasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Bundaran HI. Namun tahu kan mahasiswa dulu, kesulitan dapat tiket. Akhirnya saya tak jadi berangkat. Setelah selesai deklarasi, saya tanya ke teman itu, apakah ada yang hadir dari perwakilan Bolmong. Katanya ada. Salah satunya Pak Lantong, ayahnya Jemi Lantong, dan beberapa ketua adat. Pulang dari deklarasi, beliau mendirikan AMAN Bolmong yang kini dikenal sebagai Aliansi Masyarakat Adat Bolaang Mongondow (AMABOM). Dalam setiap kegiatannya seperti diskusi, saya selalu ikut terlibat. Tokoh-tokoh adat dan budayawan aktif di dalamnya, juga para penulis sejarah. Salah satunya B. Ginupit.

Mengapa AMAN dideklarasikan sesudah reformasi?

Ya, karena setelah tumbangya Orde Baru, hak-hak masyarakat adat itu lebih ter-cover di bawah payung desentralisasi. Artinya, reformasi memungkinkan masyarakat adat kembali mendapatkan pengakuan. Dengan demikian, ini dilihat sebagai peluang untuk kebangkitan kebudayaan serta kearifan lokal yang ada di Indonesia. Bolmong mengambil juga peluang itu. Di fase itu juga, lahir penelitian para akademisi dari Bolmong seperti Prof. Hamdi Gogule, Ridwan Lasabuda, Prof. HT Usup dan lain-lain. Hasil penelitian ini kemudian diseminarkan pada 2000, yang kemudian memberi rekomendasi ke pemerintah daerah untuk membuat lembaga adat dari tingkat kabupaten, kecamatan, hingga desa. Sebenarnya di setiap desa sudah ada lembaga adatnya, hanya lebih diformalkan.

Mengapa tidak sekalian membentuk organisasi masyarakat (Ormas) yang melibatkan tidak hanya akademisi dan tokoh adat?

Ada. saya dan beberapa tokoh pemuda membentuk Ormas yang namanya Garda Totabuan pada 2000-an awal. Tapi sebelumnya itu dimulai di Kecamatan Passi, namanya Garda Bogani, sebuah organisasi adat yang berkecimpung dalam urusan-urusan adat dan budaya. Kami mengundang tokoh-tokoh pemuda waktu itu untuk membicarakan pembentukannya. Namun sayang, semua rencana itu batal. Dalam musyawarah, yang ada hanya perdebatan. Mengingat hampir semua yang hadir adalah pemikir. (Tertawa). Memasuki 2001, cikal bakal Garda Totabuan terbentuk. Sejak itu, kami sering nongkrong di Sekretariat Forum Pemuda Peduli Bolaang Mongondow (FPPBM) yang beralamat di Jl. Ade Irma. Roni Mokoginta ketuanya. Dari forum itu lahir Forum Peduli Konservasi Alam dan Lingkungan (FPKAL). Berjalannya waktu, akhirnya kami sepakat juga untuk membentuk Garda Totabuan. Dengan demikian, mekarlah ormas ini. Bahkan sempat suatu kali kami diminta bersama Brigade Manguni menjaga keamanan acara MTQ di Bitung waktu itu. Namun, keterlibatan itu merupakan awal dan akhir dari keberadaan Garda Totabuan.

Mengapa bisa berakhir?

Itu masalahnya. Kita kekurangan dukungan dari masyarakat Bolmong. Kita sampai kesulitan untuk pengadaan sekretariat, kostum, musyawarah besar dan lain-lain.

Apa yang Anda renungkan saat Garda Totabuan raib dengan semua semangatnya?

Galau juga. Siapa lagi yang menjaga budaya dan tradisi kalau bukan kita generasi baru yang peduli. Sayang kan kalau tradisi kita yang kaya diabaikan begitu saja. Namun kita tak perlu saling menyalahkan di sini. Kita sudah tahu bahwa identitas budaya itu sangat penting. Dan belum terlambat untuk melestarikannya.

Apa masalah utama yang Anda lihat sejauh ini di Bolmong terkait pelestarian tradisi dan kebudayaan?

Masalahnya kita di Bolmong masih bisa dihitung dengan jari orang yang menulis sejarah dan kebudayaan. Artinya masih sedikit. Tidak seperti misalnya Gorontalo dan Minahasa. Mereka mempunyai jejak literasi yang melimpah. Ada ratusan bahkan ribuan buku terkait sejarah dan kebudayaan mereka. Bagi saya, ini dapat mempengaruhi minat generasi muda untuk mengenal sejarah mereka. Jika kita punya buku yang banyak terkait sejarah, saya pikir sebagian besar masalah kita di Bolmong akan selesai.

Apa kira-kira yang bakal terjadi jika kita tak lagi mengenal sejarah dan tradisi kita?

Generasi kita bakal krisis identitas. Mereka tidak tahu dari mana mereka berasal hingga tercerabut dari akar budayanya–mengambang di tengah arus beragam identitas, yang pada akhirnya mereka kehilangan jati diri. Saya bersyukur karena beberapa tahun terakhir ini, semangat untuk mengkaji sejarah dan kebudayaan kembali mengemuka. Saat ini sedang aktif-aktifnya diskusi kebudayaan di Bolmong, dan buku-buku terkait juga sudah mulai banyak ditulis oleh generasi muda. Saya berharap ini bisa didukung oleh semua pihak masyarakat.

Apakah Anda sudah menulis buku?

Ya, judulnya Tudu In Passi, Sejarah Desa dan Kiprah Loloda Mokoagow. Buku itu adalah lanjutan dari profil desa yang saya ceritakan di awal tadi, dan beberapa narasumber Dunnebier yang tidak ia tulis. Orang mungkin akan bilang oh, cuma sejarah Desa Passi. Tidak, don’t judge a book by its cover. Saya juga menulis di dalamya soal peradaban Bolmong awal, seperti kisah Gumalangit, Tendeduata, Tumotoibokat, dan lain-lain. Selain itu, saya menceritakan soal komunitas-komunitas yang terbentuk setelah itu, hingga komunitas yang tiba di Tudu Passi.

Bagaimana pandangan Anda jika masalah identitas mengarah ke politik praktis? Mengingat ia sering dijadikan bahan jualan paling emosional di setiap perhelatan pemilu.

Saya kira ada yang harus diluruskan. Politik dan identitas budaya itu dua ranah yang berbeda. Yang satu dinarasikan oleh politisi, yang kedua oleh ilmuan, pelaku, dan budayawan. Sah-sah saja menyampaikan perbedaan identitas, namun jika itu demi kepentingan membenturkan antaridentitas itu baru salah. Orang berbudaya tidak seperti itu.

Terakhir, apa harapan Anda untuk Bolmong ke depan?

Pertama literasi. Orang Mongondow harus banyak menulis sejarahnya dan adat istiadatnya. Bisa pula menulis tentang makanan tradisional, obat-obatan, dan ritual-ritual pertanian. Ada banyak. Kedua, perbanyak lagi forum-forum diskusi. Ini juga penting untuk menjaga iklim ingatan atas sejarah. Ketiga, mendirikan dan mengaktifkan organisasi-organisasi yang berkecimpung dalam kebudayaan. Bagi saya, jika ini semua aktif, maka tradisi dan kebudyaaan kita bisa terjaga dan terselamatkan.

Terima kasih atas waktu dan kesempatan Anda hadir di Berandakota, Bung Uwin. Sehat dan sukses selalu dalam menjaga tradisi dan kebudayaan Bolmong.

Sama-sama. Sukses juga untuk kawan-kawan Berandakota.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.