Ngopi di Beranda Bersama Donald Qomaidiansyah Tungkagi

0 797

BERANDAKOTA- Jalan mencari pengetahuan dan kebenaran itu tak mudah, bahkan berisiko. Tak jarang seseorang harus berhadapan dengan penolakan serta polemik di sana-sini. Tapi demikianlah takdir ketika seseorang memilih jalan itu, ia tak hanya berurusan dengan dunia luar, ia bahkan sampai berurusan dengan dirinya sendiri.

Jalan itu telah dilalui oleh Donald Qomaidiansyah Tungkagi, salah seorang penulis dan intelektual muda asal Bolaang Mongondow. Ia menapaki tahap demi tahap untuk tiba pada idealitasnya meski diimpit keterbatasan. Ia nyaris hanya bermodalkan niatnya.

Dalam perjalanannya, ia bahkan pernah sampai pada kondisi kehilangan diri. Selama empat bulan, ia meringkuk di kamarnya yang dingin bersama buku dan nasib yang tak menentu. Ia semacam dibebani kesadaran dan pertanyaan yang mengusik: mengapa orang-orang tidak peduli dengan nasib dunia seperti dia. “Mengapa mereka seperti baik-baik saja?” pikirnya.

Hingga suatu kali ia menemukan dirinya raib, entah karena halusinasi atau terlalu kesepian. Ia tak lagi melihat dan memahami dirinya sendiri. 

Namun akhirnya ia bangkit, ia mekar. Ia kembali pada niat awalnya, pergi menambah pengetahuan dalam lingkaran Mazhab Ciputat. Penasaran? Berikut adalah bincang-bincang Berandakota bersama Donald Qomaidiansyah Tungkagi, penulis dan intelektual muda asal Bolaang Mongondow.

 

Halo, apa kabar Bung Donal?

Alhamdulilah, baik.

Apa kesibukan Anda sekarang?

Belum sibuk, cuma kelihatan sibuk. Soalnya baru terangkat CPNS, kan. Saat ini memang sedang menyelesaikan beberapa naskah tulisan saya tentang Bolaang Mongondow.

Anda terangkat CPNS di mana?

Di IAIN Gorontalo. Mengajar mata kuliah Perbandingan Agama. Tapi belum mengajar. Kemungkinan tahun depan.

Sebenarnya dulu Anda kuliah di kampus mana?

S1 saya di UNG, mengambil jurusan Matematika. S2 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengambil jurusan Islamic Studies.

Mengapa bisa melompat ke kampus agama, yang mana sebelumnya banyak berurusan dengan rumus Matematika?

Kalau ditanya mengapa, saya akan jawab bacaan saya. Saya membaca. Dan itu saya mulai saat saya masih SMA. Lagi pula, saya tidak membaca buku pelajaran biasa. Saya membaca buku-buku yang di mata kebanyakan orang berbahaya, buku-buku yang menantang iman. Anda tahu kan buku-buku seperti apa yang saya maksud? Kala itu saya sudah berani membaca buku-buku karangan Cak Nur, atau pemikiran-pemikiran dari Mazhab Ciputat.

Tapi mengapa Anda mengambil S1 di UNG, bukankah lebih ideal mengambil jurusan di salah satu kampus agama?

Sebenarnya begitu. Saya ingin lanjut di IAIN Gorontalo. Tapi saat berangkat dari kampung menuju Gorontalo, teman-teman semobil dengan saya semua bicara keunggulan kampus UNG. Sedikit banyak memang saya terpengaruh. Dan khususnya IAIN, awalnya saya coba-coba dan kemudian lulus, yang pada akhirnya saya lulus di dua kampus itu. Saya juga sempat bertanya ke orang tua. Terserah, kata orang tua saya. Dan saya pun memilih UNG sebagai tempat kuliah S1 dengan berbagai pertimbangan berdasarkan obrolan teman-teman di mobil itu.

Semacam ada keterputusan harapan. Tapi Anda tidak berhenti membaca buku wacana kritis Islam, kan?

Tidak berhenti. Malah lebih menggebu dan lebih luas bacaan saya. Ditambah juga saya aktif berorganisasi di PMII, maka kebutuhan membaca saya meningkat. Tokoh-tokoh pemikir yang kemudian saya kenal bertambah, seperti Ali Syariati, Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi dan lain-lain. Kalau di ranah pendidikan antara lain ada Ivan Illich dan Paulo Freire.

Luar biasa. Di tengah gandrungnya Anda melahap buku-buku seperti itu, masih sempatkah Anda membaca tentang atau belajar Matematika sebagai bidang utama di jurusan Anda?

Jujur, saya tidak pernah belajar Matematika selain kewajiban belajar di kampus. Lagi pula, saya saat itu kuliah sambil kerja sebagai wartawan pun berorganisasi, yang pada gilirannya membuat nilai saya berantakan. Ini kemudian sampai pada momen di mana saya menjadi gamang atas nasib kuliah saya. Saya nyaris pindah jurusan. Dan itu semester lima. Saya ini sudah salah jurusan, pikir saya. Tapi niat awal saya menghentikan kegamangan itu, yakni harus cepat selesai kuliah.

Cepat selesai kuliah untuk mengikuti ideal dan cita-cita Anda untuk bergabung dengan Mazhab Ciputat?

Ya, benar. Setelah selesai di UNG saya menabung untuk melanjutkan S2 di rimba keilmuan Mazhab Ciputat. Sejak itu, tepat 2014, sedang ramai-ramainya pengangkatan CPNS. Saya tidak ikut. Niat saya sudah final. Sehingga pada 2015 lalu saya berangkat ke Jakarta dan masuk UIN Syarif Hidayatullah.

Sebenarnya apa yang menarik dari UIN Syarif Hidayatullah, dan apa yang membuat ia berbeda dengan kampus lainnya?

Kultur lingkungan kampusnya, di mana UIN Syarif Hidayatullah, sama dengan UIN Sunan Kalijaga, sengat kental dengan kelompok-kelompok intelektual dengan latar ideologis yang berbeda-beda yang merambah tidak hanya dalam kampus. Apa yang dikenal dengan Mazhab Ciputat adalah nama yang memayungi beberapa kominitas diskusi yang di dalamnya ada HMI, PMII, Muhammadiyah dan lain-lain.

Luar biasa. Apakah saat ini anda merasa bahwa semua yang telah Anda cita-citakan terpenuhi?

Cita-cita dan semua harapan saya tentang Mazhab Ciputat, alhamdulillah terpenuhi. Meskipun jalan ke arah harapan itu cukup terjal dan menguras pikiran. Bayangkan, modal saya ke Jakarta cuma Rp 500 ribu. Saya lontang-lantung mencari biaya tambahan untuk kuliah. Jadi mau tidak mau saya harus kerja. Saya pernah kerja merawat orang sakit supaya bisa tinggal dan makan di rumah orang tersebut. Pernah juga kerja di lembaga Think Tank yang, di satu sisi cukup menghidupkan, tapi berpotensi mengganggu cita-cita–saya tinggalkan. Saat ini angan-angannya berbeda lagi, dan semakin terbuka lagi. Dan saya sedar, tujuan kuliah S2 di UIN Syarif Hidayatullah bukanlah tujuan utama. Makin ke sini, saya mulai melihat di mana peran saya di hadapan hamparan realitas.

Setelah sampai di posisi sekarang, pernahkah Anda terpikir untuk jadi politisi, atau terlibat dalam politik praktis?

Saya ingin mengutip salah satu ayat Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 122 yang berbunyi: “Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” Ayat ini pada dasarnya yang mempengaruhi saya perihal mengambil peran di masyarakat, yakni menjaga benteng lewat pengetahuan. Meskipun kita tahu, peran ini tidak seseksi peran mereka yang bertarung di medan perang. Saya juga sadar, saya tidak dimudahkan ketika mengambil peran sebagai prajurit atau sebagai petarung, dan bagi saya sesuatu yang tidak dimudahkan untuk kita lakukan bukanlah passion. Di wilayah pengetahuan, saya merasa dimudahkan dan saya memilihnya sebagai passion.

Berarti dua golongan dalam ayat yang Anda kutip itu sama-sama terhitung berjihad?

Iya. Keduanya termasuk melakukan jihad dalam pengertian kontemporer. Kalau semua ingin jadi petarung siapa lagi yang bisa jaga benteng, iya kan? 

Benar. Nah, seperti apa ideal politik kepemimpinan menurut Anda?

Kemarin saya diundang untuk bicara dalam suatu forum yang membahas tentang pendidikan politik lokal. Di situ, saya membawa peran saya sebagai penjaga benteng. Saya bicara perihal sejarah Bogani dalam tafsir saat ini. Saya bilang, dulu Bogani dipilih oleh rakyat mensyaratkan tiga matra: kebijaksanaan, kekuatan, dan kekayaan. Pertama, untuk bisa diikuti, seorang pemimpin harus bijaksana dan berpengetahuan. Ia harus berwibawa. Kedua, harus kuat. Dahulu kala, setiap suku harus ada pemimpin kuat untuk mempertahankan kelompoknya dari bahaya eksternal. Dan terakhir harus kaya. Coba lihat kuburan Bogani, panjang dan lebar. Jika dirasionalisasi, sebenarnya bukan badan mereka yang tinggi-besar, tapi karena mereka dikubur dengan harta benda mereka, dalam istilah Mongondow (kapunya’an). Di zaman itu sebelum masuknya agama-agama besar, orang dikubur dengan barang-barang kesukaan mereka. Sehingga dibutuhkan ukuran kuburan yang lebar dan panjang untuk ruang barang-barang tersebut. Untuk perbandingan, hal ini bisa kita temukan di Toraja. Dengan demikian, Bogani modern harus pula menyaratkan tigal itu sebagai dasar untuk menjadi pemimpin. Kurang elok kalau jadi pemimpin dan tidak berpengetahuan sehingga kesulitan bicara di depan umum. Selain itu harus kuat, artinya punya jaringan yang bisa menopang saat bertarung dalam kancah politik. Minimal saat ditilang polisi, Anda bisa menghubungi seseorang yang dapat menolong Anda (Tertawa). Dan yang terkahir adalah kaya. Kalau yang terjadi sekarang, dua yang sebelumnya hilang, kebanyakan hanya mengandalkan kekayaan. Apa yang terjadi? Banyak dari mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena memang tidak tahu harus berbuat apa. Apa yang hendak saya maksudkan di sini adalah bagaimana sejarah atau masa lalu dijadikan ranah untuk mengambil pelajaran. Seperti kata Cak Nur, masa lalu, sekarang, dan akan datang itu adalah kontinuitas. Bedanya masa lalu dan sekarang itu garis lurus, sedangkan untuk masa depan adalah garis putus-putus. Kalau Daoed Joesoef bilang, jika jangkauan kita terhadap masa lalu itu panjang, maka jangkauan kita terhadap masa depan juga panjang. Artinya, jika kita dapat menjangkau lima tahun ke belakang, kita dapat menjangkau lima tahun ke depan.

Mencerahkan. Kalau bisa tahu, sejauh apa Anda menangani idealitas dan kenyataan yang Anda hadapi sehari-hari? Anda ini kan kelihatan sangat idealis dan dingin.

Kalau idealis, iya, tapi kalau dingin tidak lagi, itu dulu. Dingin-dingin berbahaya (Tertawa). Begini, idealitas itu adalah tujuan saya, namun saya tetap fleksibel dalam kenyataan. Untuk hal ini saya mengikuti cara Gus Dur, katakanlah bahwa saya seorang Gusdurian. Bayangkan, Gus Dur itu menentang paham Ahmadiyah namun ia membela hak mereka secara politik.

Sepakat. Pernahkah Anda berpolemik dengan idealitas Anda?

Pernah. Momen itu sejak saya masih kuliah S1. Saya merasa hidup saya tak lagi berarti selama empat bulan, semacam tragedi hidup yang saya sendiri tak bisa memahaminya. Saya tidak tahu lagi harus berjalan ke arah mana dan untuk apa. Entahlah, itu mungkin suatu kondisi antara waham kebesaran dan depresi. Di satu sisi, saya punya kesadaran yang cukup mengganggu mengenai mengapa saya tahu sesuatu dan orang lain tidak. Dunia ini seperti ini, loh, pikir saya. Mengapa kalian baik-baik saja? Dan seolah saya punya tanggung jawab menyelamatkan umat manusia. 

Mungkin Anda sudah Kasyaf.

Entahlah (Tertawa). Anda tahu tidak, waktu itu saya jarang ke luar kamar. Suatu kali, saya memotret diri bersama buku-buku dengan wajah penuh bedak, entah untuk apa. Badan saya sudah sangat kurus. Ada juga satu momen yang sulit saya lupakan di mana itu merupakan titik kulminasi dari keadaan saya waktu itu: badan saya hilang. Tapi entahlah, itu mungkin halusinasi saya.

Kasihan. Namun, hidup yang lurus-lurus juga tidak menarik. Tak ada yang kelak diceritakan di masa depan.

Sepakat. Hal yang menyedihkan yang pernah saya alami jadi menarik diceritakan saat ini. Ya, seperti obrolan kita ini.

Nah, sebagai seorang akademisi dan intelektual yang menulis soal Bolaang Mongondow (Bolmong), apa problem utama yang Anda lihat di Bolmong saat ini?

Bolaang Mongondow itu sangat kuat secara identitas, tapi masih lemah sumber daya manusianya. Memang ijazah itu tidak begitu penting jika tidak sesuai pengetahuan, tapi ia penting secara statistika. Bolmong itu hampir semuanya berada pada tingkat yang rendah. Hanya Kotamobagu yang berada di posisi ketujuh dari indeks pembangunan manusia di Sulawesi Utara. Hitung saja berapa doktor dan profesor di Bolmong, cuma sedikit. Artinya apa, dengan pendidikan, kita juga menyumbang poin di daerah kita sendiri. Saya juga demikian, setidaknya pendidikan yang saya peroleh dapat menyumbangkan poin di daerah. Di satu sisi, untuk membangun kesadaran identitas, perlu adanya pendidikan. Sehingga para pengambil kebijakan juga akan tersadarkan bahwa pendidikan adalah hal yang penting untuk memperkuat identitas. Intinya, kalau ditanya apa masalah kita saat ini, sebenarnya ada banyak. Tapi cara menyelesaikan dan memperbaiki itu semua cuma satu: pendidikan. Pendidikan baik, segalanya akan menjadi baik.

Sejauh ini, hal penting apa yang sudah Anda sumbangkan untuk Bolaang Mongondow, selain gelar pendidikan dalam statistik?

Hal kecil, sih. Masih berupa gagasan lewat buku. Saya menulis beberapa buku tentang Bolaang Mongondow, dan itu cara saya menyumbangkan hal yang bernilai untuk daerah saya.

Luar biasa. Ada berapa buku yang sudah Anda tulis?

Sudah menulis empat buku. Membaca Bolaang Mongondow, Indonesia Mini di Lembah Dumoga, Dinamika Islamisasi di Bolaang Mongondow, Meretas Tabir Identitas (Serpihan Sejarah dan Budaya Bolaang Mongondow), dan saat ini saya sedang menggarap naskah yang judulnya Menyigi Memori Terpendam dan Islam Tanpa Kesultanan. Tiga yang terkhir masuk dalam kumpulan tulisan atau bunga rampai bersama kawan-kawan. 

Terakhir, apa harapan Anda bagi diri Anda sendiri dan Bolaang Mongondow ke depan?

Untuk diri saya sendiri semoga diberi kesehatan, umur panjang, dan pastinya bermanfaat. Dan harapan saya untuk Bolmong adalah semoga ia tetap ada.

Tunggu, kalau Bolmong cuma ada, ia bisa ada dan maju dan bisa pula ada tapi mundur (?)

Begini, jati diri Bolaang Mongondow itu hanya bisa diwujudkan dengan identitasnya yang paling konkret: budayanya. Dalam beberapa tulisan saya, budaya itu saya tunjukkan sebagai entitas yang terpenting melampaui nama identitas itu sendiri. Tak penting sebenarnya nama itu jika identitas dan jati diri kita tidak jelas bahkan tidak ada. Oleh sebab itu, harapan saya adalah perkuat identitas dan jati diri. Tanpa itu, kita hanya sekadar nama.

Sangat masuk akal. Mungkin sekian obrolan kita Bung Donal, terima kasih sudah meluangkan waktu dan kesempatan memenuhi undangan Ngopi di Beranda. Semoga sukses selalu dan bermanfaat bagi banyak orang.

Amin. Sukses dan jaya juga untuk Berandakota.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.